Chapter 13
Aku sudah terbiasa dengan hidup baruku sebulan terakhir ini, terutama dengan berkurangnya jam tidurku karena Shura memaksaku terus berlatih setelah sesi latihan Tim. Menurutnya kekuatan fisikku benar-benar payah, jadi dia menyusun latihan khusus untukku agar bisa mengimbangi kemampuan teman satu Timku. Tiap pagi aku sudah harus berlari di jalan setapak taman hingga setengah jam sebelum pelajaran dimulai, yang membuatku selalu hanya mendapat sarapan roti isi selai nanas yang dibawakan Mera. Dan malamnya setelah latihan Tim, dia akan menyuruhku push-up, shit-up, dan semua up yang dia tahu bahkan angkat beban hingga aku tak dapat merasakan tubuhku saking semua ototku nyeri.
Dia bersikukuh membuatku menjadi wanita berotot dan kekar, itu yang terlintas di otakku tiap kali bertemu dengannya saat sesi latihan. Dan sialnya, semua latihan itu seakan tak banyak membantuku. Tiap kali aku mengikuti kelas praktik bertarung aku masih selalu babak belur, meski aku akui sekarang aku dapat membalas pukulan partnerku hingga mereka tumbang dan setelahnya mereka akan serius menghajarku. sejauh ini satu-satunya orang yang berhasil aku kalahkan adalah Gizelle Allison dari Tim 5 yang memiliki tubuh kecil nan ramping dan sangat payah mengelak. Bukan sesuatu yang pantas aku banggakan.
"Semua boleh kembali! Kecuali Nyx!" ucap Shura. Aku mendesah pasrah dan menerima tatapan prihatin dari tiga temanku yang tak bisa melakukan apapun untuk menolongku.
"Apa harus lagi? Besok hari Sabtu, biarkan aku libur satu malam ini," ucapku memohon.
"Tidak bisa! Latihannya mulai menunjukkan hasil, kudengar kau berhasil mengalahkan partner bertarungmu tadi." Dia tak mengacuhkanku dan malah sibuk mengeluarkan barbel dari dalam peti kayu, mulai dari batang besinya hingga plat bebannya.
"Kau berniat menambah bebannya?" Aku mengernyit saat plat beban yang ia keluarkan lebih lebar dan tebal.
"Yang kemarin sudah berhasil, sekarang kita tambah bebannya menjadi 30 kg," balasnya.
Apa dia bercanda?
Total yang harus kuangkat berarti 50 kg. 20 kg dari batang besi dan 30 kg dari plat bebannya.
Dia benar-benar ingin menyiksaku.
"Mulai seperti biasa, phus-up, shit-up, dan nanti baru kita mulai angkat bebannya!" Aku berdiri dalam diam dan menyilangkan tanganku di dada. "Kenapa diam?"
"Aku tidak mau! Ini tak banyak membantu!" desahku.
Dia mengamatiku. "Ini jelas membantu. Nyatanya sekarang kau berhasil mengalahkan partnermu."
"Itu karena partnerku Gizelle yang memiliki tubuh lebih kecil dariku!" bantahku keras kepala.
"Menurutmu begitu?" Dia menelengkan kepalanya.
"Tentu saja iya!"
"Tapi menurut Senior lain yang mengawasi latihan bilang kau mengalami banyak peningkatan, mereka juga bilang kau dapat membalas pukulan partnermu hingga jatuh. Apa itu semua bohong?"
Aku mengerutkan dahiku.
Jadi selama ini dia memantau latihanku?
Kukira dia tak pernah tahu, karena dia satu-satunya Mentor Tim yang tak pernah mengawasi saat latihan.
"Benar! Tapi akhirnya aku tetap babak belur!"
"Bagaimana kalau kuberi tawaran?" Dia menaikkan sebelah alisnya.
"Tawaran apa?" tanyaku malas.
"Kita latihan seperti biasa malam ini dan jika kau berhasil mengangkat beban dalam satu kali percobaan kau boleh libur satu minggu dari latihan khususmu, bagaimana?" ucapnya menantang.
"Hanya satu minggu? Itu bukan tawaran yang menarik."
"Oke. Libur satu minggu dan besok aku akan mengajakmu ke pantai. Bagaimana?"
Pergi ke pantai dengan Shura? Itu jelas menarik tapi apa yang kupertaruhkan di sini?
"Kalau aku gagal?"
Dia tersenyum miring. "Kita tambah jam latihanmu selama seminggu. Tidak sulitkan?"
Aku menggigit pipi bagian dalamku dan berpikir keras. Kemungkinan aku berhasil sangat kecil tapi tawaran pergi ke pantai bersamanya, jelas tak bisa kuabaikan.
"Oke, sepakat!" jawabku. Dia menyeringai.
Aku baru saja menyelesaikan shit-up dan sekarang sedang mengatur napas sambil menenggak air mineral dari botol dengan rakus tapi Shura sudah menggerecokiku.
"Siap?" tanyanya. Aku menggangguk dan mengambil posisi untuk mengangkat beban. "Ayo mulai!"
Aku melingkarkarkan jemariku ke batang besi yang terasa dingin dan mulai mengambil ancang-ancang untuk mengangkatnya. Aku mulai menariknya dan berhasil mengangkatnya hingga sejajar dengan dadaku tapi napasku sudah milai memburu. Aku menggigit bibirku, berusaha keras menahan beban itu agar tidak kembali jatuh ke tanah. Aku mengangkatnya lebih tinggi dengan meluruskan lenganku hingga barbel itu berada di atas kepalaku dan Shura mulai menghitung.
"Satu, dua, tiga ...."
Sepuluh detik. Hanya sepuluh detik. Tahan Nyx! Kau bisa!
"Enam, tujuh ...."
Aku mulai merasakan rasa karat mengalir dari bibirku yang kugigit dengan keras.
"Sembilan, sepuluh."
Aku langsung menjatuhkan beban itu hingga terdengar bunyi debum yang cukup keras. Menjatukan tubuhku ke lantai dengan terlentang, napasku terengah, tapi bibirku membentuk senyum kemenangan.
"Aku terlalu meremehkanmu," ucap Shura. Dia duduk di sebelahku.
Aku membalik tubuhku menjadi tengkurap untuk melihatnya. "Apa yang akan kita lakukan besok?"
"Membuang abu jantung Wendigo yang waktu itu kau bunuh."
Aku langsung duduk dengan tegak. "Apa? Kau belum membuangnya? Bagaimana kalau makhluk itu bangkit lagi?" tanyaku histeris. "Oh Astaga, aku bisa mati!"
"Jangan panik begitu! Kalau pun mereka bangkit, aku yakin kau bisa membunuh mereka lagi," jawabnya sambil cekikikan.
Aku memukul tengkuknya. "Itu tidak lucu!"
"Maaf. Besok jam sembilan, jangan bangun kesiangan!" balasnya.
Aku berdiri dan menepuk pakaianku untuk menghilangkan debu yang menempel. "Tak akan!"
***
"Ada apa ini? Kau terlihat sangat senang?" tanya EVe dengan menaik turunkan alisnya.
"Em ... kenapa ya?" balasku.
"Biar kutebak! Kau baru saja mendapatkan sekarung steroid untuk membesarkan ototmu!" ujar Brant, kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
"Yah, katakan apapun yang kau suka Brant! Tapi hari ini akan tetap menyenangkan untukku!"
Mera yang sedari tadi masih rebahan di ranjang langsung turun untuk menghampiriku. "Ceritakan! Apa yang membuatmu sesenang ini?"
"Aku menang taruhan dari Senior Aleks," jawabku. Aku mengoleskan lipgloss pink pucat ke bibirku.
"Kau? Menang taruhan dari Senior Aleks?" balas EVe tak percaya. Aku hanya mengangguk sekali.
"Aku yakin kau hanya membual!" ujar Brant.
"Tidak percaya, ya sudah," balasku.
"Kau menang taruhan apa?" tanya Mera penasaran.
"Angkat beban, dan aku tidak perlu ikut latihan khusus selama seminggu plus hari ini aku akan ke pantai dengannya!"
Mera memelukku dan membisiki telingaku, "Ini kesempatan besar! Semangat dan semoga berhasil!"
Pipiku memerah mendengarnya.
"Hanya itu?" tanya EVe.
"Kau pasti juga akan senang jika tahu latihanku! Libur satu minggu itu sangat berharga!" balasku dan pergi.
Baru aku akan membuka pintu keluar asrama pintu itu sudah mengayun terbuka.
"Ah, kebetulan aku bertemu denganmu di sini," ujar Ken dengan senyum lebar, lalu ia mengamati penampilanku dan mengernyit.
Aku cukup mengerti kenapa. Karena saat ini aku mengenakan celana hotpans 25 senti di atas lutut dan tanktop polos berwarna putih yang kupadukan dengan cardigan lengan panjang berwarna biru gelap. Selain itu aku juga memakai make-up yang biasanya tidak pernah.
"Kau akan pergi?"
"Aku akan ke pantai dengan Aleks," jawabku. Wajahnya berubah kecewa, senyumnya langaung surut digantikan muka lesu.
"Begitu ya?"
"Kenapa?" tanyaku tak enak.
Aku sungguh benci saat melihatnya seperti ini. Ini membuatku terkesan jadi gadis yang jahat.
"Tadinya aku mau menagih janji kencanmu. Tapi sudahlah tidak apa-apa," balasnya. Dia berusaha untuk membuat seulas senyum yang jadinya malah terlihat seperti seringai.
"Maaf Ken, mungkin lain kali," balasku.
Kenapa harus hari ini?
Ini benar-benar menjengkelkan.
Aku tak ingin melukai Ken tapi aku juga ingin pergi dengan Shura.
Oh Tuhan, tolong aku!
"Ya. Semoga harimu menyenangkan!" balasnya setengah hati.
***
"Semalam kau terlihat bersemangat, kenapa sekarang jadi murung?" tanya Shura yang sedang mengemudikan minivan hijau norak yang telah ia perbaiki.
"Ken tadi menemuiku. Dia ingin mengajakku keluar hari ini tapi aku menolak. Aku jadi merasa tidak enak," Aku melirik wajahnya yang sempat terlihat terkejut.
"Dia akan mengerti," jawabnya tulus.
"Aku tahu, diakan orang yang baik, dan karena itulah aku jadi merasa makin tidak enak."
Hening yang panjang.
"Aneh rasanya kalau kau duduk di sebelahku dan hanya diam," gumam Shura.
Aku menoleh melihatnya. "Benarkah?"
"Kaukan biasanya tak pernah bisa diam." Aku tersenyum tipis.
Benar juga. Aku biasanya selalu mengoceh saat bersama Shura, hanya untuk membuatnya memperhatikanku.
"Hari Senin ada ujian tanding satu lawan satukan?" tanyanya.
"Benar!"
Kenapa dia membahas ini?
Aku sudah cukup pusing memikirkannya dan akhirnya menyerah untuk mencari jalan keluar agar aku tidak babak belur atau mungkin lebih buruk lagi? Sekarat karena lawanku.
"Siapa lawanmu?"
"Calista Campbell. Dia membenciku. Dia akan menghajarku habis-habisan."
Memikirkannya saja membuatku ngeri.
"Tidak jika kau bisa menjatuhkannya sebum dia menghajarmu!" Shura melihatku dengan yakin tapi aku menggeleng.
"Mustahil! Dia bahkan bisa mengalahkan Ceta yang dulu menghajarku."
"Susun strategi! Analisis kelebihan dan kelemahannya! Aku yakin kau bisa!"
Kelebihan Calista sangat banyak, dia ramping sepertiku karena itu dia gesit. Pukulannya oke, tapi aku juga pernah menghindari pukulannya. Sebenarnya tidak terlalu buruk, sebenarnya aku dan dia cukup seimbang selama aku bisa menghindari pukulannya.
Kelemahannya hanya satu. Emosinya.
Mungkin jika aku bisa memancing emosinya dan membuatnya tidak fokus, aku akan punya kesempatan untuk menyarangkan beberapa pukulan.
"Mungkin kau benar," ucapku akhirnya.
Aku berdiri di bibir pantai, membiarkan ombak berbuih putih membasuh kakiku yang telanjang. Shura berjalan semakin jauh ke tengah laut untuk menaburkan abu jantung Wndigo yang dalam sekejap hilang terseret gelombang ke tengah samudra. Aku berjalan dengan mengendap-endap mendekati Shura untuk mendorongnya. Tapi saat aku tiba di belakangnya dia berbalik lebih dulu dan menarikku hingga terjerembap ke dalam air.
"Sial Shura!" teriakku sambil memuntahkan air laut dari mulutku.
Dia malah mentertawakanku?
Aku menariknya hingga ia ikut tercebur ke dalam air. "Ini baru adil!"
Aku menyeringai saat kepalanya muncul ke permukaan dan dia langsung mendorongku, menindihku hingga kepalaku terbenam ke dalam air. Aku mencoba memberontak untuk lepas dari cengkramannya, berusaha keras agar dapat kuar dari dalam air laut dan menghirup udara. Tapi Shura jelas lebih kuat dariku.
Paru-paruku tak dapat bertahan lebih lama lagi, ia berteriak membutuhkan oksigen. Otakku sudah mulai tak bisa berpikir.
Apa Shura ingin membunuhku?
Dorongan kuat untuk bertahan hidup membuat hormon adrenalin berpacu dengan cepat di nadiku. Dan aku menendang perut Shura dengan lututku, membuatnya melonggarkan cengkramannya dan aku mengambil kesempatan itu dengan mengayunkan tinjuku ke wajahnya. Ia terhuyung ke belakang melepaskanku.
Aku muncul ke permukaan dengan ngos-ngosan dan memincingkan mata ke arahnya tapi ia malah tersenyum puas dengan sudut bibir yang berdarah berkat pukulanku tadi.
"KAU PSIKOPAT?" Teriakku murka dan dia tertawa.
"Aku tak percaya kau bisa memukul sekuat itu!" balasnya riang.
"Kau hampir membunuhku dan kau tertawa?" teriakku lagi.
"Aku tak akan membunuhmu! Jika tadi kau tak bisa melawan aku pasti akan melepaskanmu. Tapi di saat-saat terakhir," ucapnya di sela-sela tawanya.
"Apa maksudmu melakukan semua itu, hah?"
"Untuk mengujimu jika berada dalam pilihan hidup atau mati," jawabnya. "Dan ternyata kau jadi lebih instingtif saat terdesak."
Oke. Dia tak ingin membunuhku. Tapi caranya sungguh menyebalkan.
"Jangan harap aku akan memaafkanmu dengan mudah!" ucapku dengan berapi-api.
Dia tak menggubrisku dan malah berjalan ke pantai meninggalkanku.
"Hei!" teriakku jengkel.
Apa ini? Dia mau mengabaikanku begitu saja setelah memperlakukannku seperti tadi?
Oke. Aku akan membalasnya!
Aku berlari mengejarnya kemudian Aku pura-pura terjatuh Dan gelagapan tenggelam di dalam air.
"Kakiku kram!" teriakku.
Dia berbalik, aku tersenyum dalam hati dan kembali menenggelamkan kepalaku ke dalam air. Aku mendengar kecipak air yang terbelah olehnya dan tangannya sudah ada di bahuku untuk menarikku ke permukaan. Saat itu juga aku menjegal kaki kokohnya hingga ia jatuh ke dalam air. Aku menahan tubuhnya dengan lututku, sementara tanganku memegangi kepalanya agar tetap di bawah air. Tapi itu tak bertahan lama, karena dalam sekejap dia sudah mencengkram tanganku dan membebaskan diri dari tahananku.
"Aku benar-benar sudah meremehkanmu," ucapnya begitu berada di permukaan.
"Aku senang kau menyadarinya," balasku. Aku ingin menyeringai mengejeknya tapi melihat tubuhnya yang basah dengan kaos yang menempel ketat ke ototnya dari jarak sedekat ini membuat bibirku kering.
Aku sedang melihat Dewa!
Dan semua makin bertambah parah saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mengamatiku.
"Apa yang kau lakukan?" desisku.
"Kau terlihat seperti Dewi!" gumamnya. Bibirnya hampir menyentuh bibirku.
Oh My!
Aku sudah menahan napas. Jatungku sudah mulai berdetak tak menentu. Ia menyapukan bibirnya ke bibirku. Dan detik berikutnya dia menjegal kakiku membuatku kembali jatuh lalu berlari sambil tertawa keras.
"Sialan! Aku akan membalasmu!" teriakku.
***
Aku menggigit bibir bawahku saat Mera mendapatkan satu pukulan keras di wajahnya, tapi ia masih berdiri dan mulai mengambil langkah mundur sambil mengatur ancang-ancang untuk menyerang balik. Sementara itu Tristan yang menjadi lawan tandingnya, sekarang berada dalam mode bertahan siap menerima serangan kapan pun.
Aku menyilangkan jariku, berharap keberuntungan untuk Mera. Tubuh Mera jelas jauh lebih kecil dari Tristan dan kudengar, dua tahun lalu Tristan menjuarai pertandingan gulat nasional. Rasanya mustahil Mera dapat mengalahkannya.
Mera masih terus menghindar dan tak membalas serangan Tristan. Hingga akhirnya aku mengerti apa yang ditunggu Mera. Saat pertarungan sudah memasuki menit ke dua puluh, Tristan mulai menganggap remeh Mera. Dia tak lagi terlalu memikirkan pertahanan dan fokus menyerang. Dan di saat itulah aku melihatnya, kesempatan yang ternyata juga dilihat oleh Mera. Rahang Tristan tak terlindung sama sekali dan Mera langsung memukulnya, membuatnya terhuyung kehilangan keseimbangan dan Mera menjegal kakinya hingga terjatuh diikuti pukulan terakhir di hidungnya hingga berdarah.
Lalu Mera berdiri dan wasit mulai menghitung satu sampai sepuluh. Tak ada tepuk tangan, semua ternganga melihat hasil akhir dari pertandingan itu. Mera turun dari atas panggung arena dan duduk di sampingku. Menyeringai bangga meski wajahnya lebam kebiruan.
"Sial! Aku kalah taruhan!" gerutu Brant sambil mengeluarkan uang dua puluh dolar dari dompetnya dan menyerahkannya pada EVe yang tersenyum girang.
"Aku akan mentraktir kalian berdua!" ujar EVe pada aku dan Mera. Sementara aku dan Mera hanya beradu tatapan tak percaya.
Yah, Brant dan EVe sudah bertarung tadi dan hebatnya mereka memenangkan pertandingan dalam waktu kurang dari sepuluh menit dan tanpa luka yang serius. Sekarang tinggal aku yang belum bertanding.
Telapak tanganku berkeringat karena gugup, jantungku berdetak lebih cepat dan mungkin Sekarang mukaku terlihat pucat pasi karena saat Mera menoleh melihat wajahku, dia mengernyitkan dahi hingga alisnya bertautan.
"Jangan gugup Nyx! Kau harus tenang atau rencanamu akan berantakan!" ucapnya.
"Ya. Aku tahu," balasku. Aku memperhatikan pertandingan antara Ace dan Darius. Setelah ini aku.
Ace menang. Mereka turun dan Senior Daren Mentor Tim 5 yang menjadi wasit pertandingan ini memanggil namaku dan Calista. Detak jantungku yang sudah berpacu dengan cepat sedari tadi makin bertambah cepat. Aku mengelap keringat di dahiku dan berdiri, berjalan ke arah panggung.
Kau bisa Nyx!
Aku menarik napas mencoba menghilangkan rasa gugupku.
Calista berdiri di depanku dengan sudut bibir tertarik ke atas membentuk seringai. "Memohonlah! Mungkin aku akan melakukannya dengan cepat dan mudah!"
Aku balas menyeringai meski dalam hati aku menjerit panik. "Jangan begitu! Aku malah ingin bersenang-senang denganmu, jadi ayo buat ini menarik!"
"Terserah kau!" balasnya dengan nada jengkel termakan ucapanku.
Senior Daren sudah mundur ke tepi dan Calista langsung memulai serangannya. Aku berusaha menghindari tiap pukulan dan tendangannya, sambil sesekali menyeringai dan mendesiskan kata-kata yang merendahkannya.
"Payah! Kukira ini akan jadi pertarungan yang menarik!" ujarku.
Dia menggertakkan giginya dan mulai menyerangku dengan brutal tanpa peduli dengan titik fokus yang dia serang. Itu membuatku dapat dengan mudah menghindarinya.
"Kau bahkan tak berhasil menyentuhku. Mungkin sekarang aku harus menanggilmu Calista si Pecundang!"
Satu detik setelah mendengar ucapanku, mukanya langsung berubah merah menahan amarah, tubuhnya bergetar dan tatapannya menyala tajam. Aku berhasil memancingnya.
Telapak tangannya terkepal dan dia maju siap menghantamku. Aku sudah bersiap untuk menangkis pukulannya tapi dia tidak memukul. Dia menerjangku hingga aku terjengkang ke belakang. Kepalaku menghantam lantai semen dan membuat pandanganku kabur. Dan saat pandanganku sudah kembali fokus, Calista sudah berada di atasku siap menghantamkan pukulan mautnya.
"Benar! Ayo buat ini menarik!" desisnya. Memamerkan deretan giginya lalu mengayunkan pukulannya.
Aku berguling ke samping membuat pukulannya menghantam lantai semen. Dia meringis kesakitan dan mengibaskan jarinya yang mungkin patah karena tadi aku sempat mendengar bunyi krak yang memilukan saat hantaman itu terjadi. Tanpa membuang waktu, aku bangkit berdiri dan memukul perutnya. Dia membungkuk ke depan menahan rasa nyeri di perutnya. Aku melompat dan memukul tengkuknya dengan sikuku. Kali ini dia benar-benar ambruk tepat di bawah kakiku.
Senior Daren mulai menghitung satu sampai sepuluh. Calista masih berusaha bangkit tapi pada akhir hitungan dia kembali rubuh dan Senior Daren meneriakkan namaku sebagai pemenang. Aku mencoba membantunya berdiri tapi ia menepis tanganku.
"Aku bukan perempuan lemah sepertimu!" desisnya. Berusaha bangkit sendiri. Dan aku hanya dapat termenung.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top