[1] Jantung Gagak

"Jikalau Tuhan betulan ada, yang mana pun itu,

maka aku akan diberkahi dalam misi ini."

VERHOFSTADT sama sekali bukan tempat sembarangan untuk setengah nyx¹ seperti Cor. Bukan tanpa alasan tentunya, meski sebenarnya harus ia akui kota suci ini cukup nyaman untuk berwisata. Jikalau bukan karena darahnya, ia pasti sudah menghirup kuat-kuat aura dewa yang melindungi kota ini. Mereka para nyx tidak hanya berbeda pandang dengan para dewa, tetapi memang tubuh mereka tidak tahan dengan 'kesucian'. Sebab itulah Cor tak henti-hentinya mengusap pucuk hidungnya, membiarkan leleran cair terhisap di sapu tangannya.

"Untuk kota yang diberkahi Dewa Api, tempat ini lebih membeku dari dugaanku!" ocehnya pada supir mobil yang ditumpanginya. Pengemudi berkumis itu hanya tertawa, tapi Cor sudah menggigil lebih dari seharusnya.

Mobil pembawa sayur yang ditumpanginya mulai memantul tidak nyaman tatkala ban bersinggungan dengan jalan berkonblok. Cor melirik dari sisi tepi bak tempatnya duduk, menyadari bahwa jalan lurus yang menuju ke pusat kota adalah jalan berkonblok yang panjang. Ia tidak akan tahan duduk melonjak terus menerus dan akhirnya memutuskan, untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.

"Oh, Paman. Turunkan di sini saja!"

Mobil lantas melambatkan lajunya, dan pemuda itu lantas melompat sebelum mobil terhenti sempurna. Ia melambaikan terima kasih yang dibalas oleh lambaian dari jendela pengemudi.

Ini pertama kali bagi Cor menginjakkan kaki di Verhofstadt. Bahkan sampai detik ini, pemuda bermata kelabu itu masih tidak percaya melalui segala kerepotan ini hanya untuk menolak masa depan. Dan keputusan yang ia ambil ini, ia akui, tidak seperti dirinya.

Niat awal pertemuan kubu McLancy Minggu lalu dimaksudkan untuk membahas bencana Tenggar yang diprediksi akan terjadi di Verhofstadt. Prediksi itu datang dari salah satu gadis beraura kegelapan yang dapat membaca masa depan, sehingga tidak perlu dipungkiri lagi keasliannya. Tenggar terakhir terjadi sekitar dua tahun lalu di Goldhal, menewaskan sedikitnya dua ribu warga yang terlelap tanpa sadar tidak akan bangun kembali. Pun, apabila kejadian itu terjadi siang pun tidak akan ada yang bisa menolaknya. Ketika Tenggar terjadi maka portal kegelapan dewi Maya terbuka, menumpahkan aura kentalnya yang tidak dapat diatasi manusia sembarangan.

Terjadinya Tenggar memang sudah final, tetapi banyaknya korban yang jatuh masih dapat dicegah. Namun, bukan niat kemanusiaan itu yang membawanya ke tempat ini. Cor bahkan bukanlah manusia!

Dia hanya ingin tahu, siapa oknum kurang ajar yang seenaknya membuka segel yangvdengan susah payah kaumnya buat beratus tahun yang lalu.

Keputusannya untuk melanjutkan dengan kaki sama sekali tidak disesalinya. Pemandangan pohon Acadia berbunga merah yang berjejer rapih mengiringinya sepanjang jalan. Warna kemerahan tersebut begitu mencolok di tengah hawa dingin penghujung tahun di sebuah kota tepi tebing. Kebanyakan orang luar mungkin tidak menyadarinya, tetapi bunga tersebut aslinya berwarna putih. Berubah demikian karena terpapar aura api yang terkandung bebas di udara kota.

Tidak butuh waktu lama bagi Cor untuk mencapai pusat kota, ia juga kaget dengan betapa cepatnya ia berjalan. Tempat itu merupakan lapangan terbuka, dengan sosok patung perunggu berada di tengah-tengah area tersebut. Penasaran, ia putuskan untuk mendekati patung dari pria berambut panjang dengan burung merak bertengger di pundaknya. Cor tidak sendiri mengaguminya. Seorang wanita tua yang nampaknya adalah penduduk juga ikut memandang dari kursi di sekitar patung tersebut.

"Gianluca dari Araceli ...."

"Beliau ada Araceli yang pertama." wanita tua itu menjelaskan seakan sudah menunggu momen tersebut. "Beliau adalah manusia pertama yang diberkahi aura api dari dewa api pertama, Alias. Dia sangat diberkahi sampai 20 tahun pertama hanya beliaulah yang membuat Kubah api ini."

Cor mengangguk sebagai respon. Sebenarnya ia sudah tahu mengenai ini, tetapi ada pancaran dari wanita tua itu yang ingin menjelaskan lebih lanjut. Dan sebagai orang yang baik, ia melakukannya.

"Araceli ...?"

"Ah. Mereka Penyihir Agung dari Verhofstadt. Jika kau berasal dari Barat, maka posisinya sama seperti Duke di tempat ini. Mereka mendapat berkah tambahan dari si Api dalam menjalankan tugas menjaga Kubah Api ini."

Cor mengangguk kecil. Seperti itu caranya si Api melibatkan mortal untuk memperkuat Kubah rupanya. Api yang sekarang tidak sama dengan Api Alias yang pertama. Entah sudah jatuh ke putra keberapa Api kali ini, yang pasti pemegang tahta dewa api yang asli sudah turun. Seharusnya Cor mencari tahu lebih awal soal yang satu ini, tapi sejujurnya dewa dewi sungguh bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dipelajari orang sepertinya.

Aneh-aneh saja, pikirnya. Bagaimana bisa tahta ketuhanan bisa turun?

"Si Api yang sekarang ... namanya?"

"Latius, kami memanggilnya Lata."

Lata, baiklah. Jika ia cukup beruntung maka akan ada cukup waktu untuk bisa melihat wujud mortalnya di tempat ini. Bisa saja Dia sedang menyamar, menonton kota yang ia berkati dalam diam. Terakhir kali ia bertemu dengan Dewi Bumi, wanita itu menjajahkan suvernir mencurigakan di pinggir jalan.

Sekarang ia jadi penasaran. Semua orang dengan aura pada hakikatnya memang diberkahi oleh dewa atau dewi yang bersangkutan. Lantas apa yang membedakan para penyihir agung dengan orang beraura api di luar sana?

"Kau datang kebetulan sekali. Penobatan dua Araceli selanjutnya akan diadakan dua minggu dari sekarang! Akan ada pesta meriah dan pelepasan kertas doa menjelang hari tersebut."

Cor menyunggingkan senyum "Wah. Bukankah aku memilih hari yang sangat hebat untuk berwisata?"

Tidak ada kebetulan tentunya. Dia datang ke tempat ini dengan pertimbangan matang, dan bukan sebagai wisatawan.

"Terima kasih, Nyonya. Aku izin melanjutkan jalanku."

Cor menghadiahi wanita tua itu dengan senyuman ramah, sebelum akhirnya ia melanjutkan perjalanan ke manapun instingnya berkata. Sebenarnya bukan insting lebih tepatnya. Tempat ini terlalu terbuka sampai-sampai ia tidak akan berbasa basi untuk menanyakan arah. Akademi yang menjadi tujuannya jelas berada di utara, terletak paling tinggi di kota. 

Ia sudah mendengar soal akademi sebelumnya, dan beruntungnya, 'teman' lamanya Su Chandio punya posisi besar di tempat tersebut. Jika saja misi ini benar-benar diambil si sepupu bersaudara Pasha dan Crescendo McLancy, mungkin mereka tidak akan mendapat kesempatan bertamu pada orang setinggi itu di akademi. Ah, tapi tidak juga. Mengenal Cres, orang itu bisa saja membuat skenario seakan mereka adalah tamu yang telah dinanti. Kemampuan mengendalikan pikirannya memang mengesankan, tapi Cor sejujurnya tidak begitu menyukainya. Jika terkuak, maka kemampuan mengendalikan pikiran Crescendo dapat membuat kesan teramat buruk pada Earldom McLancy. Itulah mengapa dia jarang sekali dikirim untuk misi sendiri. Pasha yang tenang selalu ada di sisinya, menjaga supaya si sumbu pendek itu tidak mengacau dan menjatuhkan martabat keluarga.

Cor memang sudah mengabari kedatangannya pada tuan Su Chandio, tetapi alasan jelasnya yang tidak pernah ia katakan. Tidak mungkin sekali ia mengabarkan suatu bencana akan terjadi di akademi suci kalian dan kalian akan mati. Sehingga ia rasa, tuan Chandio masih menganggap kedatangannya sebagai kunjungan wisata. Semoga.

Takdir seakan berpapasan dengannya, berwujud tiga anak berseragam navy yang berdiri di ambang pintu sebuah toko. Baru saja hendak mendekat, mendadak saja langkahnya tertahan. Ketiga anak itu menoleh bersamaan ke arahnya, masing-masing dari mereka meradiasikan aura yang tebal yang mengancam.

'Kenapa dengan reaksi itu? Apa aura nyx ku terasa jelas? Jarak kami hampir 20 meter!'

Cor mencoba terlihat seramah mungkin dengan melambai ke arah mereka. Lambaian tangan tersebut menutup aura nyx, selagi memunculkan aura bumi yang mendominasi. Untuk mengurangi kewaspadaan, ia pun mengurangi jarak,

"Halo. Kulihat dari seragam kalian sepertinya kalian murid akademi. Peduli jika aku mengganggu sedikit waktu kalian?"

Tiga anak itu masih menatap Cor curiga, tetapi dengan level lebih rendah dari sebelumnya. Yang membalas senyuman duluan adalah siswa laki-laki berkacamata bulat dengan kening kosong. Auranya hijau, khas ketenangan sang Angin.

"Selamat sore. Ada yang bisa kami bantu?"

Cor merogoh sesuatu dari balik jaketnya, dan mengambil sebuah selembar kertas transparan yang dikirim Su Chandio sebagai 'tiket masuk'. "Aku teman lama Tuan Chandio. Bisakah kalian tunjukkan kantornya?

"Tuan Chandio punya teman?" celetuk gadis kecil berambut merah, yang dibalas oleh semburan dari gadis lain di balik mereka. Gadis kecil ini punya kesempatan lebih besar menjadi Araceli, auranya api.

"Oh, mungkin kau tamu Eksekutif yang pernah dibicarakannya! Tapi Tuan Bertudung, Anda sama sekali tidak terlihat seperti Eksekutif."

Cor menghela dengan gelengan, "Andai aku punya pekerjaan sestabil itu, aku tidak perlu kebingungan harus tidur di mana," jawabnya secara fisik, sementara batinnya: "Aku lebih baik menggelandang ketimbang jadi mereka."

Cor telat menyadarinya, keberadaan gadis di belakang yang menyebutnya Tuan Bertudung. Sepertinya ucapannya sedikit membuatnya simpati sampai-sampai si pirang cantik ini menoleh padanya, kedua mata membulat. Terlepas dari penampilannya yang anggun dan bersahaja, dia justru adalah yang paling tidak mungkin menjadi Araceli.

Bahkan, kenapa gadis beraura kegelapan sepertinya bisa bersekolah di tempat sesuci ini?

"Oh. Apa kau pengelana?"

"Bisa dibilang begitu," jawabnya, lalu segera mengalihkan topik. "Aku Cor. Aku dari Glaive."

"Glaive? Hei, Zen! Ada orang Glaive juga!" si kecil berambut merah memanggil siapapun di dalam toko. Matanya kembali melirik Cor, "Curtis."

"Hamal Rakesh." si kacamata mengenalkan diri, "Aku dari Goldhal."

"Aurelia Hirsch, aku dari Malradia." Cor sudah menduga si pirang berasal dari pusat. Auranya, bukan yang sisi kegelapan itu, memancarkan wajah gadis kaya dari perkotaan.

"Tunggu sebentar. Si Zen itu! Hei, kita masih ada kelas! Nanti kehabisan sup kentang!"

Sosok anak bermasalah satu ini yang membuang waktu. Dari etalase, ia baru menyadari bahwa toko ini merupakan penjual batu channeler³. Kenapa anak-anak ini perlu channeler?

"Oh, maaf! Terima kasih ya, Bibi Celine! Semoga yang ini pas untukku!"

Anak bernama Zen itu melangkah ke luar dengan tawaan lebar. Sosoknya, seketika membuat Cor terpana dan merasa dibodohi sekaligus.

Rambut silver itu ... mata ungu itu.

"Crescendo?"

Anak itu menoleh.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

1. Nyx : sebutan kaum iblis di Lesitera

2. Aura: substansi yang normalnya tidak terlihat yang dapat mengimbuh terjadinya sihir. Ada delapan elemen, dan Cor, bisa melihat radiasi aura seseorang.

3. Channeler: batu untuk membantu mengendalikan aura


Jangan lupa untuk meninggalkan jejak sebagai pembaca di sini. Apresiasi dan dukungan bisa melalui kolom komentar, tapi kalau gak mau ribet bisa banget cukup meninggalkan ⭐. Saya juga sangat terbuka dengan kritik dan saran, terima kasih. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top