Dua | Puri Van Houten

Gadis itu duduk di ujung perahu dan mendayuhnya. Sedangkan aku duduk di sisi ujung perahu lainnya menghadap kepadanya. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Aku sungguh merasa tidak mengenal dirinya. Atau apakah aku tidak ingat?

Cahaya silau matahari siang itu membuat kulitnya yang pucat semakin pucat namun kilau keperakan dari air danau yang jernih entah bagaimana menjadi sangat indah ketika bersentuhan dengan warna kulitnya. Seperti kerlap kerlip berlian. Aku terpesona dengan pemandangan itu.

“Indah bukan?” Dia tersenyum padaku. “Danau ini adalah tempat bermain kita, Amelia!” ujarnya.

Aku memalingkan wajahku, memandang danau yang sangat indah dengan kilau-kilau yang menakjubkan itu lalu memejamkan mata kemudian menghirup udara dalam-dalam.

Angin yang sangat sejuk mengembuskan aroma pepohonan dari hutan dan suara indah dari gemericik air danaunya membuatku tak merasakan teriknya matahari siang hari itu. Aku menikmatinya!

“Apa kau melupakanku, Amelia?” Kubuka mataku, lalu memandangnya dengan wajah kebingungan. Dia tertawa kecil. “Kenapa wajahmu seperti itu?”

“Ah, tidak.” Aku salah tingkah. “Aku hanya penasaran, kamu berbicara bahasa Indonesia?”

“Astaga, Amelia!” Dia mendecak. Sesaat dia menghentikan aktivitasnya mendayuh sebelum akhirnya melanjutkan kembali. “Aku mungkin lahir di Netherlands, tapi aku dibesarkan di sini.”

“Kamu, tinggal di sini?”

Dia mengangguk. lalu menghentikan lagi aktivitasnya mendayuh. Kemudian dia memutar tubuhnya, tangan kanannya menunjuk sebuah bangunan di seberang danau. Rumah yang tidak terurus yang terlihat angker dari kejauhan yang sempat menarik perhatianku dan membuatku penasaran. “Di sana! Tempat tinggalku! Dan aku akan mengajakmu ke sana!”

Aku tersenyum. Rasanya senang sekali bertemu dengan pemilik rumah itu dan bahkan bisa mengunjunginya.

“Apa kau senang? Aku akan mengajakmu ke sana?”

Aku mengangguk. “Tapi... siapa namamu? Dan aku harus memanggilmu apa?”

Gadis itu mendesah lalu wajahnya berubah sendu setelah mendengar pertanyaanku. “Ternyata, kau benar-benar melupakanku.”

“Tidak, bukan itu maksudku.”

“Tidak apa-apa.” Dia tersenyum. “Lagipula siapa yang akan mengingatku?”

Aku jadi merasa bersalah. “Maaf ….”

Dia menggeleng. “Kau tak perlu meminta maaf,” ucapnya. “Namaku, Arabella van Houten dan kau biasa memanggilku, Ara.”

“Ara…” Aku tersenyum dengan perasaan yang sulit kuartikan.

Perahu yang kami naiki kini sudah berada di tengah danau dan sedikit lagi kami akan sampai di seberangnya karena rumah Ara mulai terlihat jelas.
Lalu tiba-tiba, awan hitam menutupi matahari dan siang yang terik itu seketika menjadi gelap gulita.

“Ara, sepertinya akan turun hujan,” kataku.

“Tidak, awan hitam itu hanya menghalangi sinar matahari,” ujarnya.

Kemudian entah dari mana datangnya, kabut putih sudah mengelilingi kami. Sangat cepat hingga aku sendiri tak menyadarinya. Aku menjadi ketakutan karena tidak bisa melihat apapun di sekitarku bahkan Ara yang ada di hadapanku pun tidak terlihat.

“Ara! Ara!” panggilku. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

Kabut putihnya semakin pekat tapi aku sadar aku masih duduk di atas perahu yang sedang berjalan. Aku juga bisa mendengar suara gemericik kayuh menyentuh air danau. Itu berarti Ara sedang mendayuhnya!

“Ara! Ara! Kamu di mana? Aku tidak bisa melihat apapun!” Masih tidak ada jawaban dan aku mulai panik.

Dengan sedikit frustasi, aku mencoba untuk merangkak di atas perahu kecil itu menuju ke tempat Ara berada. Di ujung perahu lainnya. Tapi, kabut pekatnya perlahan mulai menghilang. Awan hitam yang menghalangi matahari pun sudah tidak terlihat. Cuacanya kembali terik kembali.

Pelan-pelan, akhirnya aku bisa melihat Ara masih duduk di tempatnya, tersenyum manis dan mendayuh dengan santai.

Aku sungguh dibuat terkejut olehnya! Apa-apaan dia masih bisa tersenyum seperti itu padahal aku sudah ketakutan!

“Ara? Apa kau tidak takut tadi? Apa kau tidak melihat kabutnya?”

“Kabut apa?”

“Aku memanggilmu dengan ketakutan! Apa kau tidak mendengarnya?”

“Tidak.” Ara menggeleng. “Malah kau sempat tertidur sebentar.”

“Tertidur?” Aku mengernyitkan dahiku. Jelas-jelas aku tidak tertidur! Baru saja aku hendak bersuara, tapi tidak sempat karena teriakannya.

“Akhirnya sampai!” Ara menepikan perahunya. “Amelia, tunggu sebentar. Aku akan mengikat perahunya dulu.”

Aku menurutinya. Lalu setelah dia mengikat perahunya di dermaga, tangannya terulur membantuku keluar dari perahu kecil itu.

Di tempatku berdiri kini—ujung dermaga—aku bisa melihat sebuah gapura seperti pintu masuk ke dalam sebuah benteng. Dan ada sebuah kata-kata yang aku rasa berbahasa Netherlands dan aku tidak mengerti, tapi aku bisa membaca dengan jelas tulisan ‘Puri Van Houten’.

“Selamat datang di Puri Van Houten!” Ara seperti sedang menerjemahkannya kepadaku. “Ayo, ikuti aku!” Dia menggamit lenganku, lalu pelan-pelan kami melewati pintu masuk itu kemudian menaiki tangga batu. Tepat di ujung tangga, kami tiba di sebuah kebun yang sangat luas dengan beranekaragam bunga mawar tumbuh. Aroma mawar yang harum sekali menguar melewati indera penciumanku.

Aneh! Tidak terlihat seperti tidak pernah terurus!

Kami berjalan pelan melewati kebun lalu sampai di sebuah teras yang besar dengan beberapa kursi dan meja bergaya klasik. Ara dengan cepat membuka pintu teras yang terbuat dari kaca dan kayu. Pintu itu sangat besar dengan lengkungan khas di atasnya.

“Masuklah!” ajak Ara kepadaku.

Aku mengikutinya masuk. Sempat aku terkesima dengan dekorasi di dalam rumahnya yang sangat klasik dan bergaya eropa. Langit-langit rumah itu sangat tinggi sekali dengan lampu gantung kristal yang sangat besar.

“Ini ruang keluargaku.” Ara menjelaskan.

Kuperhatikan ruangan yang kumasuki. Ada beberapa sofa besar yang sangat antik berwarna cokelat pekat dan sebuah televisi tua. Apa televisi itu masih bisa menyala?

Lalu kualihkan pandanganku ke seisi ruangan itu. Tepat di pojok dekat pintu yang kumasuki tadi, ada piano antik yang sangat besar. Kemudian kujelajahi mataku ke sisi lain piano tua itu dan aku terpaku pada sebuah pigura besar yang menampilkan sebuah foto keluarga berwarna hitam putih. Terlihat sangat tua.

“Itu adalah ayahku, Adrian van Houten.” Ara menunjuk laki-laki tua yang sedang berdiri tegak dengan rahang yang tegas penuh dengan bulu tipis dan tekstur wajah yang agak keriput. Tapi aku bisa melihat pria itu pasti sangat tampan saat mudanya dulu.

“Yang itu adalah ibuku, Adrielle van Houten.” Aku melihat gambar wanita yang sangat cantik. Berambut pirang dan masih terlihat muda. Bisa aku katakan, kecantikan Ara pasti dari ibunya.

“Yang berdiri di samping ibuku, anak laki-laki itu adalah kakakku, Arnout van Houten.” Kuperhatikan kakaknya Ara, laki-laki muda yang kemungkinan usianya lebih tua beberapa tahun dariku dan Ara. Sangat tampan sekali!

“Dan yang terakhir, adalah aku!” serunya. “Aku tak perlu menyebutkan dua kali namaku bukan? Karena tadi aku sudah menyebutkannya!”

Aku terkekeh mendengarnya. “Ara, kau cantik seperti ibumu.”

“Kau salah, Amelia. Sebenarnya aku cantik karena ketampanan ayahku.” Lagi-lagi aku terkekeh. “Sini, duduklah!” Ara menggiringku duduk di sebuah sofa besar yang ada di ruang keluarga itu. “Aku ingin mempersembahkanmu sebuah lagu.”

“Lagu?”

“Hmm.” Ara memutari piano lalu duduk di bangkunya. “Aku pandai bermain piano. Dulu aku pernah mengajarimu bermain piano.”

“Entahlah, aku tidak ingat,” gumamku hampir tidak bersuara. Berharap Ara tak mendengarnya agar dia tidak sedih. Bayangan wajah Ara yang berubah sendu membuatku merasa bersalah saat aku menanyakan namanya.

Ara sungguh pandai bermain piano. Lantunan nada dari tuts tuts piano yang dimainkannya sangat indah kudengar hingga tanpa sadar aku terhanyut ke dalamnya.

Praaanggg!

Aku kaget bukan main! Suara apa itu?

Ara menghentikan permainan pianonya dan kulihat kini dia sedang berdiri menghadap jendela, memandang keluar.

“Ara? Apa yang terjadi? Suara apa itu?”

Dia bergeming dan tak menjawab pertanyaanku.

“Ara? Arabella?” Aku was-was sekali, cukup sudah aku ketakutan dengan apa yang terjadi di danau tadi.

“Jangan khawatir, Amelia.” Ara berbalik lalu tersenyum kepadaku. “Itu anak-anak penduduk desa.”

“Anak-anak penduduk desa?”

Ara mengangguk. Dia lalu menghampiriku kemudian duduk di sampingku. “Mereka… takut kepadaku.” Kulihat wajahnya kembali sendu. “Aku ingin sekali bermain bersama mereka, tapi tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa?”

“Entahlah.” Ara mengendikkan bahunya. “Setiap kali mereka kemari, kusambut dengan permainan pianoku. Tapi kemudian, mereka langsung pergi ketakutan. Apa permainan pianoku sangat buruk?”

“Tidak, tentu saja tidak! Permainan pianomu sangat indah!”

“Terkadang mereka melempariku dengan batu. Hingga kaca jendela rumahku pecah.” Ara menunduk. “Aku sedih sekali, padahal aku hanya ingin menyapa dan berteman dengan mereka.”

“Jahat sekali! Kenapa mereka seperti itu, ya?”

“Aku tidak tahu.” Ara kembali mengendikkan bahunya. “Tapi aku senang akhirnya kau kembali, Amelia! Aku tahu kau pasti akan kembali! Kau satu-satunya sahabatku!”

Aku hanya bisa tersenyum kepadanya, tidak tahu harus berkata apa.

“Kau mau kan tetap jadi sahabatku?” Aku mendesah, tapi kemudian mengangguk perlahan. “Berjanjilah satu hal padaku! Berjanjilah, kau akan menjaga rumah ini, merawat kebun mawarnya, membuatnya tetap indah, selama kita menjadi sahabat?”

Dahiku berkerut. Kenapa Ara memintaku berjanji hal semacam itu? Memangnya dia tidak bisa melakukan semua itu? Dan belum sempat aku bertanya atau Ara menjelaskannya. Jam antik di dinding terbuka dan dari dalamnya keluar seekor burung kayu yang mengeluarkan suara berisik.

Sudah pukul lima sore! Astaga! Kenapa waktu sangat cepat sekali?

“Sudah waktunya kau pulang, Amelia! Mari, kuantar kau kembali ke seberang danau dan semoga besok kita masih bisa bertemu lagi.”

- to be continued -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top