Prolog
Raven mendatangi papanya di suatu kamar yang sebagian gelap gulita dan hanya tersedia lampu tidur yang menerangi sekitar. Mencoba untuk mencium tangannya namun tindakan tersebut sia-sia, tangan papanya sama sekali tidak menyambut. Mengetahui itu Raven kembali ke posisi semula.
“Ada perlu apa kau kemari?”
“A ... anu.”
“Apakah untuk mencari informasi? Terkait kakak tirimu?”
“Ah! i-iya Papa! La-lalu ba-bagaimana keadaannya sekarang? Aku dengar dia telah mengalami sebuah insiden!?”
“Semua itu tidak ada urusannya denganmu.”
“Ta-tapi, Papa. Walau bagaimanapun juga dia tetap kakakku!”
“Dia bukan kakakmu, Raven. Dilihat dari segi talentanya saja antara kau dengannya itu tidaklah seimbang. Kau jauh berada di bawahnya. Jadi jangan berpikiran bahwa kau memiliki hak untuk mengenali dirinya dengan sesuka hatimu.”
“Aku tahu Papa. Aku memang sangatlah berbeda dengan kakak, tapi aku dan kakak berada di family circle yang sama. Apa perlu ada batasan antara aku dan kakakku sendiri!? dipisahkan dan layaknya seperti orang asing!?”
“Itu memang perlu dilakukan. Kakakmu bukanlah orang biasa, dia adalah komputer! Komputer yang tengah rusak harus segera diperbaiki!”
“Cukup Papa! Sudah cukup untuk menganggapnya seperti sebuah barang teknologi! Dia memiliki hati! Dia memiliki perasaan! Dia bukanlah komputer!”
PLAKKK!
Sejenak suasana hening setelah Raven mendapatkan sebuah tamparan yang membuat bagian pipi kirinya sedikit membengkak. Tidak bergeming, tatapannya yang sedari tadi menatap wajah ayahnya penuh dengan amarah seketika kini berubah, sorot matanya yang tajam berganti melototi jas papanya. Tepatnya pada pin perusahaan yang bergambar payung dan bertuliskan RH di bawahnya.
“Sekali lagi ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Seseorang yang menurutku berbakat dan bertalenta aku anggap sebagai komputer. Sedangkan yang lainnya, yang katakanlah sama sekali tidak mendekatinya, aku anggap sebagai sampah yang tidak berguna dan harus dilemparkan ke recycle bin untuk dihapus permanen.”
Kini tangan kanan papanya meraih pundak Raven, sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pipinya yang bengkak kemerahan. Raven yang terus melototi pin perusahaan hanya dapat menahan nyeri.
“Kau beruntung terlahir di keluarga yang sangat disegani. Walaupun tidak berguna, kau sudah cukup baik dalam menjabat peranan posisi sebagai direktur. Sekali lagi kau mengikutcampuri tentangnya, kau harus siap akan nasib apa yang akan diterima oleh ibumu.”
Raven sama sekali tidak berkutik. Di dalam benaknya dia ingin sekali memberikan perlawanan meskipun sedikit, tapi kekuasaan papanya yang jauh lebih besar mampu membungkam nyalinya yang sangat kuat sekalipun.
Raven yang sudah gagal dalam mencari tahu akan informasi mengenai saudaranya terpaksa untuk mengurung niatnya dalam misi penyelidikan. Tidak ada hal lain yang dilakukan selain menutup kembali pintu kamar papanya.
Cklek!
“Sekuat apapun sebuah power, asalkan ada bidak yang menjadi sandera maka perlawanan itu hanya akan melemah dan berakhir dengan sia-sia,” tuturnya sembari membalikkan tubuh dan berjalan menemui seseorang yang bersembunyi di balik sofa kamar.
“Apa keadaanmu sudah membaik?”
“....”
“Mmm ... sepertinya kau membutuhkan seorang dokter psikiater.”
Seseorang pria tersebut sama sekali tidak menghiraukan apa yang diucapkan olehnya. Dia hanya duduk bersandar di balik sofa sembari menatap kedua telapak tangannya dengan raut wajah yang penuh kekosongan selama berjam-jam.
Memandangi kedua telapaknya yang bersimbah penuh dengan darah tanpa mengedipkan mata. Dirinya masih merasakan kehangatan dari darah tersebut, setiap kali darahnya menetes ke lantai dia selalu mengucapkan nama seseorang.
Sejenak pria yang dipanggil papa oleh Raven tersebut kian merogoh saku dan mengangkat sebuah smatrphone, menghubungi seseorang ajudannya.
“Marko. Dalam waktu 24 jam ke depan, aku mau komputerku yang telah rusak ini segera cepat diperbaiki. Aku tidak peduli berapa biayanya agar dia kembali seperti semula, aku mau kau cepat larikan dia ke orang yang tepat, karena aku sudah tidak memiliki waktu lagi untuk menunggu.”
Sekitar 15 menit berbicara dalam telepon, akhirnya ia kembali menutup panggilan dan memerhatikan pria yang duduk bersandar di balik sofa. Kini dirinya melihat sesuatu reaksi yang tidak biasa pada pria tersebut. Darah yang ada di telapak tangannya mengalir dengan sangat deras ke lantai.
“Mariposa ...,” panggil pria yang duduk di balik sofa dengan tatapan yang kosong.
“Oh tidak, dia mulai bertindak semakin ekstrim. Aku harus cepat membawanya ke orang yang tepat untuk diperbaiki. Virus cinta harus sesegera mungkin discanner dan dicleaner! Aku tidak mau komputerku satu-satunya rusak hanya karena seorang wanita jalang! Aku harus segera mengurus surat-surat beserta arsip dan dokumen untuk persiapannya seperti apa yang diarahkan oleh Marko.”
Setelah beberapa jam ke depan, segala persiapan telah dipersiapkan, akhirnya Marko beserta dengan ajudan yang lainnya datang dan mengamankan serta menuntun seorang pria dengan kedua telapak tangan yang berdarah tersebut ke lift. Sesampai di rooftop gedung pencakar langit, pria tersebut dibawa dan dimasukan ke dalam helikopter. Entah akan dibawa ke mana pria misterius tersebut, yang pasti ia akan tertuju ke tempat klinik, di mana dia akan diberikan sebuah penanganan medis seperti rehabilitasi psikiatri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top