Bab 5
“Apa kau siap untuk masuk, Agnes?” bisik Emily yang masih dalam perasaan panas dingin.
“Tenang saja, kalian berdua tetap berada di belakangku,” sahut Agnes.
“Aku tidak menyangka kalau situasi ini sangat mencekam, jatuhnya jadi lebih ketar-ketir dari pada acara yang digelar oleh BEM beberapa bulan yang lalu, LKMM, Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa,” ujar Hans yang keberaniannya sedikit goyang karena pengaruh Emily.
Agnes pun mulai mencengkeram kuat tuas pintu dan mendorongnya secara perlahan-lahan. Kini hawa dingin yang dihasilkan oleh AC pun mulai dirasakan oleh kakinya. Hawa dingin yang dipadukan dengan perasaan takut mulai menjalar ke seluruh tubuh Agnes. Hingga pintu mulai sedikit terbuka dengan lebar, sebagian mahasiswa-mahasiswi yang berada di dalam mulai memerhatikan Agnes, kini Agnes menjadi pusat perhatian.
Tapi tiba-tiba saja, pintunya terdorong dengan sangat cepat hingga membuatnya tertarik masuk. Ternyata Ibu Eliza tengah berdiri menarik tuas pintu dari dalam, Agnes yang sudah kehilangan keseimbangan itu benar-benar akan terjerembap ke arah beliau, tapi dengan kekuatan penuh, akhirnya Agnes berhasil menyeimbangkan kembali tubuhnya agar tidak menabrak dosennya sendiri.
“Agnes!” seru Eliza terkejut.
“I-Ibu, ughhh!”
“Apa yang sedang kamu lakukan di balik pintu?”
“A-Agnes, mi-minta maaf, Bu.”
Sejenak Eliza pun melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul 13.50. “Jam segini baru masuk? Kamu niat kuliah atau hanya sekedar main-main saja?”
“Sekali lagi, Agnes minta maaf, Bu. Ada suatu kendala sewaktu di jalan yang di mana membuat Agnes terlambat masuk perkuliahan Ibu,” ucap Agnes sembari menundukkan kepala dengan kedua tangannya yang memohon maaf.
Hans dan Emily yang sedari tadi ada di belakangnya pun mulai bergerak dan mengikuti apa yang Agnes lakukan. Menundukkan kepala dan meminta maaf kepada Eliza. Eliza yang pada awalnya akan naik emosi tapi setelah melihat hal tersebut, tiba-tiba kini emosinya mendadak mulai tenang dan sesekali menghembuskan napasnya dalam-dalam. Karena Eliza berpikir, tidak ada alasan untuk memarahi mahasiswa-mahasiswinya sendiri yang sudah memohon maaf akan kesalahannya.
Sejenak Eliza pun memperhatikan outfit yang dipakai oleh Agnes. Menilai penampilannya mulai dari rambut kepala sampai ujung mata kaki.
“Walaupun Agnes terlambat, saya tetap memaklumi atas apa yang membuat dirinya tidak mengikuti mata perkuliahan saya karena suatu kendala, tapi tidak menutup kemungkinan untuk Agnes ikut ke ruangan saya.”
Agnes yang mendengar hal tersebut sontak membuat dirinya berbinar dan langsung mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya pada Eliza.
“Kalian lihat? Ada poin plus dari Agnes meskipun dirinya terlambat,” tutur Eliza sembari melihat ke mahasiswa-mahasiswinya yang masih duduk dengan rapih, “Agnes masih memiliki rasa akan kepatuhan pada tata tertib kampus ini. Dari sekian banyaknya mahasiswa, hanya dirinyalah yang mengenakan seragam yang dibagikan oleh pihak kampus. Itu artinya dia masih menghargai dan menghormati segala bentuk peraturan di Asclepianford University, hanya saja poin minusnya kurang disiplin waktu, tapi karena tadi sudah menjelaskan bahwa dirinya mengalami kendala sewaktu di jalan, saya memakluminya. Semoga ke depannya Agnes tidak terlambat lagi, ya. Dan memberikan contoh pada semua teman-teman Agnes yang ada di kelas ini untuk selalu mematuhi tata tertib terkait perseragaman.”
Mendengar hal tersebut Agnes hanya menganggukkan kepalanya.
Sejenak Eliza pun melihat dua orang asing yang sejak tadi berdiri di depan pintu kelas. “Ah? Mohon maaf, Pak, apakah Bapak adalah orang yang mengantarkan mahasiswa pindahan seperti laporan yang kami terima kemarin?”
“Ya, benar, Ibu Eliza. Saya Marko Cooper selaku pengantar Tuan Muda.”
“Ouh, ya, baik. Sesuai dengan data arsip dan dokumen yang telah kami terima, bahwa ia masuk Asclepianford University bertujuan untuk melanjutkan studinya yang sebelumnya pernah terputus di bidang kedokteran.”
“Benar sekali, Ibu Eliza.”
“Kebetulan sekali kelas sedang kosong jadi saya persilahkan untuk mahasiswa pindahan memperkenalkan diri pada teman-teman barunya.”
“Tentu saja, Ibu Eliza. Ayo Tuan, silahkan Anda masuk kelas untuk perkenalan awal.”
Sedari tadi mahasiswa pindahan tersebut tidak bergeming, pandangannya hanya terfokus pada Agnes. Agnes yang merasa diperhatikan hanya tersenyum kecil dan mencoba untuk memalingkan pandangannya.
Segeralah mahasiswa pindahan tersebut berjalan memasuki kelas. Sontak semua mahasiswa-mahasiswi di dalam pun tiba-tiba heboh dan tercengang karena kedatangan mahasiswa pindahan yang tidak biasa. Memiliki perawakan tinggi dan bentuk tubuh yang sangat ideal, begitupun dengan penampilan outfitnya yang terkesan elegan dan mewah, rupawan dan hairstyle yang tertata rapih mengikuti trend sekarang, sudah nampak mahasiswa pindahan tersebut seperti orang yang paling sempurna di dunia ini saja.
“Silahkan untuk memperkenalkan diri, ya. Dan saya harap kepada teman-teman yang lain untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan kegaduhan.”
“Baik, Ibu,” sahut semuanya terutama mahasiswi yang mayoritas sangat berantusias. Sedangkan kaum pria sama sekali tidak ada satupun suara yang menyahut kecuali Hans selaku Ketua Mahasiswa.
“Selamat siang.”
“Siaaang,” sambut para mahasiwi dengan bola mata yang membentuk hati dengan warna kepink-pinkan.
“Perkenalkan nama saya adalah Aquila Griffiths. Saya biasa dipanggil Aquila. Apa ada yang mau ditanyakan?”
“Ada yang mau bertanya pada Aquila?” tanya Eliza.
Tiba-tiba semua mahasiswi mengangkat tangannya semua.
“Saya, Bu! Saya, Bu!” seru para mahasiswi yang sangat heboh.
“Saya mohon ketenangannya, ya. Kalian boleh bertanya, tapi satu-satu, ya, jangan rebutan.”
“Aku mau nanya dong, Aquila ganteng, kamu udah punya pacar belum???” tanya Sean dengan logat manjanya.
“Huuu!!!” Nampak para kaum laki-laki meraungi Sean. “Dasar modus!”
“Harap kepada yang laki-laki untuk tetap tenang dan bersabar, ya,” sahut Eliza yang sedikit agak dibuat ketawa oleh pertanyaan Sean. “Baik, silahkan Aquila jawab pertanyaan Sean.”
“Privasi,” jawab Aquila.
“Hah!?” seru Sean yang terkejut.
Hanya itu yang keluar dari mulut Aquila.
Mendengar jawaban Aquila, sontak kaum pria mendadak berantusias dan puas. “Mampus! Makan tuh lipstik!” Seketika ruangan kelas pun kembali dibuat heboh.
“Apa ada yang mau bertanya pada Aquila lagi?”
"Saya, Bu. Saya mau nanya, melihat dari segi fisik Aquila yang terlihat atletik dan sepertinya salah rajin berolahraga, ngomong-ngomong apa hobi Aquila? Apakah lari? Renang? Atau mungkin bersepeda?" tanya Bella.
"Hobiku ... menggores kulit."
"Me-menggores kulit?"
"Ya, menggores kulit, menggores kulit pasien yang berada di ruangan bedah."
"Oalah! Uh! Saya kira menggores kulit sendiri, hihihi!"
"Ya, benar, aku suka menggores kulit sendiri, tapi ada hal yang lebih aku sukai, kau mau dengar? Aku sangat menyukai momen dalam menggores kulit orang lain."
"Uhhh! Hahaha! Kau sangat menarik! Kau memiliki selera humor yang sangat gelap!"
"Ya, aku suka darkjokes!"
"Baik, apa ada yang mau bertanya pada Aquila lagi?" tanya Eliza.
“Saya, Bu. Perkenalkan nama saya Amanda, kalau boleh tahu, Aquila tinggal di mana? Dan sebelum pindah, Aquila pernah duduk di universitas mana?”
“Privasi.”
“Lah? Kok privasi? Bukankah itu pertanyaan yang umum?” celetuk Agnes yang masih berdiri bersama dengan Hans, Emily dan Dosen Eliza.
Sejenak Aquila mengerlingkan wajahnya dan menatap Agnes. “Privasi.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Hanya nama lengkap dan hobi yang cukup saya beritahukan, selain itu privasi,” sahut Aquila dingin seperti menyiratkan Agnes untuk tidak menanyakannya lagi.
“Ya, baik, tidak apa-apa, mungkin Aquila kurang nyaman jika apa yang menjadi privasi bagi dirinya dijelaskan di sini, diketahui oleh banyak teman-teman, apalagi Aquila adalah mahasiswa pindahan, jadi dia masih baru, masih belum mengenal dan beradaptasi di kampus ini. Untuk itu saya mohon kepada kalian untuk berteman baik terhadapnya, dan selalu jaga sikap kalian.”
“Baik, Ibu.”
“Baik, mungkin cukup sekian sesi perkenalannya, jadi sebelum kita akhiri apakah ada yang mau Aquila tanyakan kepada teman-teman yang lain?”
“Kurasa cukup, dan tidak ada basa-basi yang perlu dibicarakan. Tapi ada satu hal yang saya mau tahu.”
“Baik, apa itu Aquila?”
“Saya mau tahu ... siapa namamu?” tanya Aquila yang mengarahkan pandangannya kepada Agnes dengan raut wajah yang sangat serius.
“A-aku?”
“Ya, kamu.”
“Lah, kok bisa tiba-tiba sih?” batin Agnes yang merasa terkejut dengan Aquila yang menanyakan nama pada dirinya.
“Mmm ... namaku, Agnes Phoenix.”
Setelah mendapatkan dan mengetahui namanya, kini Aquila berjalan dan keluar untuk menemui pengantarnya, Marko. “Marko, apakah perkenalanku tadi lebih dari dua menit?”
“Tidak, Tuan? Setelah saya cek stopwatch mulai dari Anda masuk dan keluar ruangan kelas, tidak lebih dari 1 menit dan waktu yang tersisa adalah 48 detik,” sahut Marko.
“Harusnya 40 detik. 8 detik lebihannya terjadi karena wanita tadi sangat lambat dalam menjawab pertanyaanku, dia terlalu banyak berpikir,” ucap Aquila yang merasa tidak puas dengan lebihan angka 8 detik.
“Lalu, sekarang apa, Tuan?”
“Kita pergi.”
“Tunggu!” seru Agnes.
Sejenak Aquila pun terdiam dan beberapa selang waktu mulai membalikan tubuhnya ke arah Agnes.
“Apa cuma begitu saja? Setelah perkenalan kau langsung cabut tanpa permisi pada Ibu Eliza!?”
“Itu tidak perlu.” Seketika Aquila pun langsung cabut pergi bersama dengan Marko.
“Sudah, biarkan saja, Agnes,” kata Eliza.
“Tapi, Ibu ....”
“Ini bisa menjadi bahan pelajaran untuk kita semua. Bahwa tidak semua orang memiliki attitude yang baik, seperti yang sudah saya bahas beberapa waktu lalu. Baik, mungkin itu saja, saya izin pamit undur diri, dan jangan lupa untuk Agnes, kamu masih punya urusan dengan saya, setelah ini ikut saya, ada sesuatu yang mau saya bicarakan di kantor.”
“Baik, dimengerti, Ibu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top