Bab 3
Pukul 13.15 di ruangan kampus
Semua mahasiswa duduk dengan rapi di kursinya masing-masing. Dari raut wajah yang lainnya tampak penuh dengan bercucuran air keringat yang membasahi setiap kening dari kepala mereka. Entah apa yang tengah terjadi pada suasana di dalam kelas perkuliahan. 10 mahasiswa dan 9 mahasiswi terduduk dengan ekspresi yang tidak biasa, seperti sedang menerima sebuah tekanan. Jelas di dalam kelas perkuliahan tersebut tengah terjadi sesuatu yang tidak baik-baik saja.
Di kelas tersebut telah mendisiplinkan suatu batasan wilayah, di mana sisi kiri untuk para mahasiswi sedangkan sisi kanannya diperuntukkan untuk para mahasiswa. Hanya ada satu kursi kosong yang terletak di sisi kiri barisan paling depan. Kursi kosong tersebutlah yang menjadi pusat insiden dari heningnya kelas. Sedangkan meja dan kursi paling terdepan, di mana tempat tersebut adalah kawasan milik dosen. Terlihat Dr. Eliza Elizabeth, dr., M. Kes. Duduk tak bergeming dengan kedua tangannya yang menyangga dagunya.
Sudah sekitar 20 menit sejak kedatangan Ibu Eliza ke ruang kelas kuliah, sama sekali tidak ada satupun suara yang terdengar, semuanya diam membisu. Belum ada tanda dimulainya kelas perkuliahan. Seluruh mahasiswa maupun mahasiswi tidak ada satupun yang membuka mulut mereka untuk menanyakan atau mempersilahkan dosen untuk membuka mata kuliah.
Benar-benar suasana kelas yang suram dan sangat mencekam. Tapi ada suatu ketika di mana salah satu dari 10 mahasiswa angkat bicara. Mahasiswa tersebut bernama Hans William alias sang ketua mahasiswa pada jurusan Program Studi Ilmu Kedokteran.
“Mohon maaf, Ibu. Saya Hans, saya mewakili mahasiswa dan mahasiswi di sini untuk mempersilahkan Ibu membuka mata kuliah,” ucap Hans yang memecahkan keheningan dalam ruangan kelas.
Seluruh mahasiswa-mahasiswi yang terpaku di atas kursi hanya menghela napas dan mulai tenang saat ketua mahasiswa angkat berbicara setelah 20 menit lamanya. Sejenak Ibu Eliza hanya menutup kedua mata dan mulai menunduk menghadap alas permukaan meja sembari kembali menyangga, kali ini menyangga dahi.
“Keluar.”
Sontak perintah tersebut membuat seluruh mahasiswa maupun mahasiswi kembali tegang dan warna pucat pada setiap bibir mereka mulai terlihat. Hans yang tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi, dirinya segera bangun dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar.
Suasana ruangan kelas pun terasa seperti berada di dalam kamar pendingin. Semuanya membeku, tatapan mata yang mulai sayu dikuatkan untuk tetap siaga, deras air keringat mulai menjadi-jadi. Entah apa yang terjadi pada suasana kelas pada siang hari itu.
Tiba-tiba salah satu mahasiswi mengacungkan tangannya ke atas dengan getaran yang sangat hebat. Tapi semua mata sama sekali tidak ada satupun yang teralihkan oleh acungan tersebut. Masing-masing semuanya sibuk untuk mengamankan dirinya sendiri agar tidak terlihat mencolok.
“Mo-mo-mohon ma-maaf, Ibu. Saya Emily izin ... pergi ke be-belakang.”
“Keluar.”
Dengan detakan jantung yang berdentum keras, Emily langsung berusaha meloloskan perutnya yang buncit dari sempitnya kursi kuliah. Sibuknya Emily yang berjuang melawan getaran tubuhnya yang sulit terkontrol, membuatnya terus terikat dan semakin terperangkap walaupun dirinya berusaha untuk tetap melepaskan diri dari kursinya. Decitan suara kursi yang tak terkendali, Emily heboh sendiri di atas kursi seperti layaknya tikus yang mencoba untuk keluar dari jebakannya.
Brak!
Setelah Ibu Eliza menggebrak meja, akhirnya Emily berhasil meloloskan diri terutama perutnya dari kursi yang menyiksa. Emily segera merapihkan bajunya yang teracak-acak karena masalah barusan dan mulai bersikap tenang. Setelah napas terkontrol akhirnya Emily segera berjalan menuju pintu keluar.
“Ada lagi yang mau keluar?”
Semua hanya terbeku, dan hanya beberapa orang yang menjawab itu pun dengan suara yang sangat kecil. Suara tersebut biasanya berasal dari barisan mahasiswi. Sedangkan barisan mahasiswa sama sekali tidak ada suara yang terdengar, mereka terlihat layaknya patung, mungkin bisa dikatakan sangat mirip. Mereka hampir seperti tidak bernapas, mereka sangat ahli dalam mengatur pernapasan.
Di luar ruangan perkuliahan
Terlihat Hans tengah terduduk nganggur bersandar di dinding luar ruangan. Emily yang selesai dari kamar toilet datang menghampiri Hans.
“Yang sabat, ya, Hans.”
“Bagaimana kau bisa keluar?”
“Aku keluar dengan alasan izin pergi ke belakang.”
“Apa yang terjadi pada baju di bagian sekitar pinggangmu? Seperti lecet.”
“Ah, ini. aku mengalami sebuah masalah pada kursiku.”
Sejenak dari arah tangga, datanglah Agnes yang berjalan dengan tempo tergesa-gesa. Sesekali suara napasnya terdengar tersengkal-sengkal dan itu didengar oleh telinga Hans dan Emily.
“Eh, kalian? Kenapa kalian berdua bersantai-santai di sini? Kenapa kalian masih ada di luar? Apakah kelasnya belum dimulai? Ibunya belum datang?” tanya Agnes dengan raut wajah yang polos dan masih ngos-ngosan.
“Ibu Eliza sudah duduk 5 menit lebih awal sebelum pukul 13.00.”
“Lah, terus kenapa kalian berdua masih ada di luar kelas?” sejenak Agnes pun melihat jam tangannya, dan jarumnya menunjukkan pukul 13.30. “Wah, ini sudah setengah jam! Ayo buru, kita harus segera masuk!”
“Agnes, Ibu Eliza kini sedang marah,” ujar Hans.
“Marah? Kenapa?”
“Apa waktu Senin lalu kamu tidak mendengarkan peraturan dari beliau?”
“Peraturan?”
“Ya, peraturan. Peraturan di mana setiap jumlah mahasiswa dan mahasiswi yang bila tidak lengkap maka Ibu Eliza enggan membuka mata kuliah.”
“Itu artinya sudah 30 menit berlangsung dong Ibu Eliza bersama dengan yang lainnya di dalam ruangan tanpa mata kuliah!?”
“Benar, itu semua karena mereka tengah menunggumu, baik Ibu Eliza ataupun teman-teman yang lain.”
“Oh, tidak, mati aku! Aduh! La-lalu, aku harus bagaimana!?”
“Tidak ada cara lain selain kita bertiga masuk dan terutama kau Agnes, kau harus segera meminta maaf karena keterlambatanmu yang melebihi batas kewajaran.”
“Aduh! Gimana, ya! Soalnya aku terlambat bukan berarti tanpa alasan. Aku mengalami masalah saat di jalan.”
“Kamu bisa jelaskan itu pada Ibu Eliza, Agnes. Sesuatu hal yang sekarang harus kamu lakukan adalah menyelamatkan teman-teman yang lain, yang kini tengah dilanda ketegangan di hadapan Ibu Eliza.”
“Aduh! Aku juga takut nih, ya. Gimana dong!?”
“Agnes, padahal kan kamu tahu sendiri Ibu Eliza orangnya yang seperti gimana, yang apa-apa harus serba disiplin, kurang satu saja mahasiwa atau mahasiswi pasti mata kuliah tidak akan berjalan,” tutur Emily yang masih ketar-ketir dan kesulitan mengontrol kedua kakinya yang terus bergoyang.
“Iya, Emily, aku minta maaf, aku juga tidak mau ini terjadi. Keterlambatanku disebabkan karena suatu masalah saat di jalan, dan itu tidak bisa dihindari.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita cepat masuk ruangan sebelum mereka yang lain benar-benar tenggelam dalam keringat mereka sendiri,” sergah Hans yang langsung memegang tuas pintu.
“Tunggu, Hans. Aku belum siap, ih. Aku takut!” bisik Emily sembari menarik belakang kemejanya Hans.
“Sebenarnya peraturan yang dibuat Ibu Eliza itu sangatlah mutlak. Setiap apa yang diucapkannya itu layaknya perintah yang harus dilaksanakan oleh seluruh mahasiswa ataupun mahasiswi di universitas ini. Jadi mohon maaf untuk saat ini, aku sebagai Ketua Mahasiswa tidak dapat membelamu, Agnes. Karena setiap apapun kata yang aku ucapkan, Ibu Eliza akan tetap memerintahku untuk tetap diam, bahkan beliau bisa menghentikanku sebelum aku menyelesaikan kalimatku,” ucap Hans yang terus menatap mata Agnes dengan serius.
“Itu benar, Agnes. Dan jika Hans terus-terusan untuk melakukan pembelaan itu maka tindakan yang akan diambil oleh Ibu Eliza akan berdampak lebih ekstrim, bisa-bisa dia memasukan nilai D pada IPK-nya,” seru Emily meyakinkan Agnes.
Agnes yang tidak mau teman-temannya menanggung kesalahannya pun segera memberanikan diri untuk menghadap Ibu Eliza. “Baiklah kalau begitu, kita harus segera masuk.”
Aku akan menjelaskannya mengenai keterlambatanku. Aku harus memperbaiki semua ini agar mereka yang lain baik-baik saja dan tidak terkena imbasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top