24

FanArt

***

Segala sesuatu akan menjadi menakutkan,
Hanya bila kau tidak bisa memprediksikan hal yang akan terjadi setelahnya,
Dan kau tahu taruhannya adalah kehilangan.

***AQUA WORLD***

Keadaan Dillon yang kembali dalam keadaan terkapar, menyisakan perasaan lega sekaligus cemas bagi para penduduk Waterfloatt.

Melihat 'unggulan' mereka kembali dalam keadaan sekarat seperti itu, pasti sesuatu yang cukup mengejutkan. Nael dan yang lainnya juga cukup terkejut dengan hal itu. Aku bisa melihat bagaimana tatapan bersalah yang diperlihatkan oleh mereka. 

Aroma obat tidak sedap menguasai seluruh isi tenda. Meskipun tenda tidak ditutup sepenuhnya karena banyaknya orang yang ingin menjenguk Dillon, bau obat itu tetap saja tidak hilang. 

Aku tidak mendapat kesempatan untuk melihat Dillon dari dekat, karena orang-orang di Kota Apung lebih khawatir dan lebih penasaran dengan apa yang terjadi dengan pemuda itu. Sebenarnya aku ingin menawarkan diri untuk memeriksa keadaan Dillon, tetapi tampaknya masyarakat di sini lebih mempercayai pengobatan yang agak tradisional itu (tapi aku tidak akan menyangkal, obat tradisional itu juga berefek denganku). 

Dari yang kudengar, suhu tubuh Dillon meningkat dengan cepat. Aku hanya memegang bagian tangannya tadi dan rasanya sangat dingin. Jika saat ini suhu tubuhnya menjadi panas, itu bisa jadi pertanda baik, atau malah sebaliknya. 

Kami berempat hanya bisa memandangi dari luar tenda. 

"Dillon kembali dengan keadaan seperti itu. Bagaimana dengan Ath?" tanya Yyil dengan tatapan cemas, menatap ke arah samudera yang gelap, seolah bisa menemukan titik temu.

"Kupikir kau bilang kita akan langsung pergi kalau sampannya sudah ketemu?" Zuo menyambung dengan kerutan dalam di keningnya.

Aku tidak ingat dimana mereka membicarakan itu, tetapi sepertinya itu memang berasal dari obrolan berdua saat aku dan Nael tidak mendengarkan. Buktinya, Nael juga ikut mengerutkan keningnya bingung. 

"Kupikir tidak etis jika kita pergi tanpa meminta izin kepada Dillon. Bagaimana pun juga, kita adalah tamunya," ucap Nael. Dia menatap ke tenda agak cemas, lalu menghela napasnya, "Dan meninggalkan kaum kita saat dia membutuhkan kita? Itu sangat bertolak belakang dengan slogan pendaki. Kuharap Ath baik-baik saja."

Nael memang baik hati, tetapi kali ini dia tidak perlu tahu bahwa dia mengkhawatirkan makhluk air dan dia juga tidak perlu tahu bahwa Ath bukanlah kaumnya. Namun aku setuju dengan Nael, kami tidak perlu pergi dengan buru-buru, karena aku harus memeriksa apa saja yang dilakukan oleh Ath di bawah sana dan juga penjelasan dari Dillon tentang aku yang berada dalam bahaya. 

Dan juga, aku tidak tahu harus mendiskusikan soal makhluk air itu kepada siapa selain kepada Dillon. Warga-warga yang membantuku membawa Dillon naik, tampaknya tidak terlalu memperhatikan apa yang menarik Dillon, sebab mereka tidak mereferensikan soal makhluk air yang ternyata adalah perempuan. Oh, atau mungkin mereka memang menganggap semua makhluk air sama saja, tidak peduli dengan gender. 

Sejujurnya, itu adalah pertama kalinya aku berbicara dengan makhluk air yang lain selain dengan Ath. Ath mungkin tidak bersahabat, tetapi suara perempuan yang mengancamku itu jelas lebih tidak bersahabat. Nada suaranya terdengar penuh kebencian dan intimidasi yang tinggi. 

Mungkin aku bisa membicarakan ini dengan masyarakat di Kota Apung, tetapi masalahnya aku menemukan fakta baru ketika Dillon menemukan sampan tipe U kami. Tali sampan itu dipotong oleh pisau yang mana halnya tidak mungkin dimiliki oleh Ath. Pelakunya bisa jadi adalah warga Kota Apung, tetapi aku tidak bisa menebak siapapun. 

Memotong tali itu sama artinya dengan menahan kepergian kami, menghilangkan satu-satunya akses transportasi. Itu artinya, ada satu di antara banyaknya orang di sini yang tidak menginginkan kepergian kami.

"Ath seharusnya baik-baik saja, karena dia memiliki tabung oksigen," ucapku berusaha untuk menenangkan mereka. 

"Ya, kuharap juga begitu," sahut Yyil sambil menghela napas. "Seharusnya tadi kita membiarkan Dillon yang mencarinya sendiri, lagipula dia bisa menemukannya walau sendirian." 

Aku berusaha untuk menahan perasaan jengkel yang teraduk-aduk dalam pikiranku. Kucoba mengabaikan perkataan Yyil yang sebenarnya terkesan sangat sinis kepada Dillon. Aku tidak yakin Dillon adalah pelaku dari segala hal yang terjadi sekebetulan ini, karena untuk apa Dillon memotong talinya dan mencarikannya kembali untuk kami? Sebenarnya ada lebih banyak hal janggal lain yang harus ditelusuri lebih lanjut. 

Pelakunya memiliki pisau ... mungkin hampir semua orang di Waterfloatt memiliki pisau pribadi di saku mereka. Aku tidak akan pernah tahu, tetapi mungkin aku bisa mencoba menyelidikinya. 

"Ini sudah malam, sebaiknya kalian berdua tidur," ujar Nael yang ditujukan kepadaku dan Yyil. "Kami akan menunggu Ath kembali, sekaligus ikut patroli untuk malam ini." 

"Ya, harus ada di antara kita yang berpatroli. Kita semua tentu tidak ingin ada insiden sampan hilang lagi," ucap Zuo dengan sinis, entah kepada siapa. 

Kurasa aku harus merasa sedikit beruntung karena tidak ada satu pun warga Waterfloatt yang mendengarkan. Sampan sudah dikempiskan agar mempermudah penyimpan dan juga karena beberapa alasan. Zuo juga tampaknya sangat gelisah, dia tidak pernah berhenti memeriksa keberadaan sampan itu setiap lima menit sekali. 

"Jangan memperlakukanku seperti anak kecil," ucap Yyil tidak senang, yang tentu saja ikut membuatku tidak senang. 

Secara tidak langsung, dia juga memperlakukanku seperti anak kecil. Baiklah, aku mungkin adalah orang yang paling belia di sini, tetapi itu bukan berarti aku tidak mengerti keadaan dan situasi yang terjadi. Yyil mungkin tidak sadar bahwa terkadang dia meletakan posisiku sebagai seorang petualang tangguh yang tidak takut apapun, dan hari ini dia mungkin lupa lagi soal itu. 

Zuo merespons, "Nael meminta kalian kembali, karena kalian harus beristirahat, bukan karena dia menganggap kalian anak kecil. Kau jangan kekanakan seperti ini."

"Setidaknya, kalian bisa bertanya kepada kami dulu," sahut Yyil, tidak mau kalah. 

Aneh, padahal dia yang menganggapku anak kecil barusan.  

"Aku akan kembali ke tenda," ucapku, akhirnya mengalah. 

Setidaknya itu yang harus kukatakan agar perdebatan ini segera berlalu. Namun, tentu saja tidak. Aku tidak akan langsung beristirahat dengan tenang sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan sampan kami pagi tadi. 

Aku akan mencoba mencari pelakunya. 

"Kau tidak mau ikut menunggu Dillon bangun?" Tiba-tiba saja Bryon keluar dari tenda Dillon yang ramai itu dan langsung menghampiriku. "Aku yakin kalau Dillon ingin berbicara denganmu ketika dia bangun nanti." 

Zuo mengangkat sebelah alisnya, "Belum tentu Dillon akan bangun."

Tanpa kuduga, Bryon melemparkan tatapan tajam ke arah Zuo. Itu pertama kalinya aku melihat Bryon dengan wajah khas paman-paman itu menatap penuh kebencian seperti itu. 

"M-maksud Zuo, belum tentu Dillon akan bangun malam ini." Nael mengoreksi dengan buru-buru ketika berhasil membaca situasi. 

"Jadi, bagaimana Skye?" tanya Bryon, mengabaikan perkataan Zuo dan Nael terang-terangan. 

Aku melirik tenda sejenak, lalu mengendikan bahu. "Mungkin besok? Lagipula tamu Dillon masih ramai." 

"Aku bisa meminta mereka semua kembali, kalau kau memang mau menjenguk Dillon," sahut Bryon sungguh-sungguh. 

"Ah, tidak perlu repot-repot," elakku cepat. "Aku kembali ke tenda dulu. Selamat malam."

Aku tidak mengerti mengapa Bryon bersikeras mempertemukanku dengan Dillon, tapi saat ini Dillon yang tertidur dan Ath yang belum kembali ... kurasa aku tidak boleh berdiam diri seperti ini.

Pelaku yang memotong tali sampan kami, aku harus menemukannya. 

"Tunggu." Bryon menahan kepergianku, lalu melanjutkan, "Kau akan menemui Dillon, kan? Atau kau akan segera meninggalkan Kota Apung? Ingat, kau adalah salah satu manusia yang sudah ditandai oleh makhluk air. Ada banyak pertanyaan yang akan menghantuimu, kalau kau pergi dari Kota Apung tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sini." 

Aku membalikkan setengah badan dan menatapnya serius, "Aku tahu itu." 

Bryon pasti mendengarkan perbincangan kami barusan, tentang rencana untuk meninggalkan Kota Apung.

"Kau dengar kan tadi? Kami tidak pergi tanpa Ath dan tanpa pamit kepada Dillon. Dan apa hakmu mengurung kami di kota terapung seperti ini?" tanya Zuo dengan nada menantang. 

"Tidak ada yang berbicara denganmu. Lagipula, kalau Ath bisa kembali hidup-hidup, dia sudah pasti--"

"Aku akan menemui Dillon besok pagi," potongku, untuk mengakhiri perdebatan mereka. "Yyil, aku tidak apa-apa kembali sendiri, kalau kau ingin ikut berpatroli." 

Mereka berempat diam, aku pun melangkahkan kakiku ke arah tenda. Namun setelah aku agak menjauh, aku bisa samar-samar mendengar suara Nael mengatakan, "Lihat. Skye bahkan lebih dewasa dibandingkan kalian semua."

Kalau aku tidak dalam situasi seperti ini, aku pasti sedang tersenyum karena mendapatkan pujian dari orang yang lebih tua dibandingkanku. Namun keadaan saat ini tidak seperti itu. Aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan. 

Saat sudah dekat dengan tenda biasa kami beristirahat, aku langsung mematikan senter. Kuintip ke arah rombongan Nael yang sudah menjauh, sementara Bryon tampaknya kembali masuk ke tenda Dillon untuk menjaganya. Aku bersumpah, jika aku tidak tahu usia Bryon hanya 19 tahun, aku akan menganggapnya Ayah Dillon alih-alih sahabat baiknya. 

Setelah yakin bahwa keberadaanku tidak akan terdeteksi dari kejauhan, aku berjalan ke ujung kota. Sesekali aku menyalakan senter agar tidak salah menginjak papan angin, tapi aku akan mematikan senternya lagi, karena seperti yang sudah pernah kureferensikan sebelumnya; setitik cahaya akan sangat mendominasi kegelapan. 

Ketika sudah sampai di ujung, hal yang pertama kali kulakukan adalah menatap ke permukaan air. Misiku adalah mencari sisa tambang yang terpotong. Tadi pagi, aku hanya mengobservasi bentuk tali yang putus. Bentuknya menunjukan bahwa tali itu terpotong. 

Aku menyalakan senter lagi untuk memeriksa bahwa tali tambang itu memang masih di sana. Sayangnya, cahaya yang ada tidak terlalu memperlihatkan itu. Karena tidak ingin menarik perhatian, aku segera mematikan senterku kembali.

Sempat terpikir olehku untuk mencoba menurunkan tangan dan merabanya langsung. Namun ada perasaan ngeri dan bayangan bahwa aku akan bersentuhan dengan hal lain yang jauh lebih mengerikan daripada batu karang di bawah papan angin. 

Tiba-tiba, aku ingat bahwa kegelapan tidak menjamin keamanan, sebab Ath mampu menghilangkan cahaya di matanya. Aku tidak mau mengambil risiko jika seandainya tiba-tiba ada makhluk air yang muncul ketika tanganku sedang di permukaan air. 

Dan juga, aku ingat pesan terakhir yang Ath sampaikan kepadaku sebelum dia menyelam pagi tadi. 

Aku serius, lho. Jangan sampai jatuh, ya

Bulu kudukku tiba-tiba merinding ngeri. Aku langsung buru-buru menjauhi pinggiran, menyalahkan kebodohanku karena mendekati pinggir kota tanpa berpikir panjang. 

Maksudku, terakhir aku mendatangi pinggir kota, aku berakhir ketinggalan pesawat dan nyaris kehilangan segalanya. Pengalaman yang menyedihkan.

Aku benar-benar bodoh. 

"Wah, hebat. Kau menyadari keberadaanku? Padahal aku sudah berenang pelan-pelan." 

Suara perempuan tiba-tiba terdengar dari depanku. Aku yang tadinya mematikan senter, buru-buru menyalakan senter di tangan. Entah sudah berapa kali aku membuka-tutup senter seenaknya. Tahu bahwa ini akan menjadi hal yang mengerikan, aku langsung melangkah mundur beberapa langkah.

Dan aku menemukan seorang gadis yang sedang mengapung di air. Gadis bermata biru, berambut hitam ... makhluk air ... dan mampu bernapas. Pasti golongan yang kuat. 

Aku mundur beberapa langkah dan tetap menyorot senterku ke arahnya, memastikan dia memang masih berada di sana dan tidak akan mengejutkanku dari belakang. 

"S-siapa kau?!" tanyaku. 

Gadis bermata biru itu menatapku datar, sebelum akhirnya melempar senyum tipis yang mencurigakan, "Masih pertanyaan yang tadi? Membosankan sekali."

Aku mengetatkan rahangku kuat-kuat. Dalam hati kecilku memberi sugesti untuk berlari menjauhi makhluk air itu dan mencari tahu lewat Dillon saja, tetapi aku sudah memperhitungkan jarakku yang memang sudah jauh dari pinggir dan gadis yang jelas-jelas masih mengapung di dalam air. 

Setidaknya aku akan tetap aman jika berpijak pada papan angin yang rapat. Untungnya, aku memang sudah menginjak papan angin yang rapat. Kalau makhluk air ini naik ke permukaan, aku hanya perlu lari secepat mungkin. Lagipula, tidak ada celah di bawah yang memungkinkan makhluk air untuk menarikku dari bawah. 

Kuperhatikan gadis itu dengan seksama. Matanya berwarna biru toska, bibirnya merah muda--jelas tidak kelihatan seperti sedang kedinginan--kulitnya putih pucat dan ujung rambut hitam panjangnya terombang-ambing di air.  

"Kau cukup tenang untuk ukuran seorang gadis manusia yang sudah ditandai," ujarnya. 

Jika sedaritadi aku berharap tidak ada yang menyadari keberadaan cahaya senterku, saat ini aku berharap setidaknya ada satu orang yang melihatku dan memberitahu warga lain untuk memeriksa keadaan di ujung ini. 

Aku hanya bisa diam, tidak mampu merespons perkataan gadis itu sama sekali. 

"Atau ... kau diam karena takut?"

Makhluk air itu tersenyum menyeringai, lalu berenang mendekat, yang membuatku langsung melangkah mundur secepatnya.

Jantungku berdegup kencang, sampai-sampai senter di tanganku bergetar pelan. Aku bisa melihat bagaimana cahaya itu ikut bergerak janggal memantul di air.

"Jangan mendekat!" seruku. 

"Kalau kau takut, tidak seharusnya kau berada di sini," sahut gadis itu, masih dengan senyuman jahatnya. "Kembali ke tendamu, tidur nyenyak dan berharap saja semoga tempat ini tidak ditenggelamkan ketika kau sedang bermimpi indah." 

Perkataan makhluk air itu membuatku terdiam selama beberapa saat. "Huh?"

Mata gadis itu membulat, membuat lensa biru toska itu semakin jelas aja. "Eh? Jangan bilang kalau kau tidak tahu?" tanya makhluk air itu, pura-pura terkejut--terlihat jelas dari senyuman senangnya yang semakin melebar. 

Aku kembali terdiam dalam keheningan, mencoba mencerna perkataan makhluk air itu dalam arti lain. 

Namun aku hanya mampu menangkap satu arti; Kota Apung akan ditenggelamkan dengan sengaja.

"Oh? Jadi Dillon belum memberitahu kalian?" tanya makhluk air itu dengan sarkastik. 

"Dillon masih--" 

Aku menahan kata-kataku untuk tidak membocorkan soal Dillon yang belum sadarkan diri. Di tengah kebingunganku, aku tersadarkan oleh kenyataan bahwa gadis itu mengenalnya. 

"Kau ... yang menandai Dillon?"

Makhluk air itu menyapu air dengan telapak tangannya, "Hmm ... Salah. Dillon yang memintaku menandainya," jawab gadis itu dengan angkuh. 

Mataku membulat tidak percaya.

Dillon yang memintanya? Apakah aku bisa mempercayainya? 

Tapi ..., jika benar, mengapa?

Kukerutkan keningku lantaran kebingungan. Mataku tetap fokus untuk memastikan bahwa makhluk air itu masih berada di depanku dan tidak berpindah tempat. Tanganku juga masih mengarahkan senter ke arahnya. 

"Kau mungkin tidak percaya padaku, tapi kau juga tidak bisa mempercayai Dillon," ucap makhluk air itu. 

"Mengapa aku harus mendengarkanmu?" tanyaku balik. 

Satu-satunya sumber penerangan di sini adalah cahaya senter yang menyorot ke arah makhluk air itu. Namun entah mengapa aku merasa bahwa semua ombak-ombak di sekitar gadis itu seolah menyorotkan cahaya kembali. Saat kuperhatikan sejeli mungkin, itu hanyalah pantulan cahaya senterku, bukan titik-titik cahaya biru yang sedang mengintai keberadaanku. 

Aku tahu, aku sangat paranoid. 

Gadis itu menjawab tanpa beban, "Karena Dillon sudah lama tahu tentang rencana penenggelaman ini dan dia justru memilih merahasiakannya dari kalian." 

***

"Skye, kau belum tidur?" 

Kutolehkan kepalaku saat menyadari suara Yyil terdengar dari jalan masuk. Kuluruskan tidurku yang sebelumnya memunggunginya, kali ini aku bisa melihat bagian atas tenda. Ada penerang tepat di atas keningku, aku hanya menatapnya selama beberapa saat, lalu kembali menoleh ke arah Yyil yang kini sudah berbaring di sampingku. 

"Sudah selesai patrol?" tanyaku kepada Yyil yang baru menyelimuti dirinya sendiri. 

"Belum selesai, sih. Nael memintaku kembali agar kau tidak sendirian di sini. Sepertinya dia sangat mengkhawatirkanmu." 

Aku hanya menganggukan kepalaku termanggut. Memang, Nael selalu saja seperti itu.

Jantungku masih berdebar kencang karena kejadian tadi--bertemu dengan makhluk air lain yang bisa bertahan di atas permukaan air--bukan hanya karena dia memberitahu tentang Kota Apung yang sebenarnya dalam keadaan sangat berbahaya, tetapi juga kenyataan bahwa Dillon tidak memberitahu siapapun soal ini. 

Padahal kupikir, Dillon adalah orang yang sangat royal dan akan melakukan apapun untuk kemajuan Kota Waterfloatt. Namun aku tidak ingin menilai Dillon dari tindakannya, aku memerlukan penjelasan.  

"Kurasa Nael teringat dengan keluarganya. Kalau tidak salah, dia punya adik perempuan yang seumuran denganmu." Yyil membuka pembicaraan lagi setelah keheningan yang berlangsung selama beberapa menit. 

"Oh, kebetulan. Aku punya kakak laki-laki kembar yang seumuran kalian." 

Yyil langsung bangkit dari posisi tidurannya menjadi terduduk, tampak jelas sekali bahwa dia sangat antusias. "Oh ya? Apakah mereka tampan?" 

Aku hanya bisa tertawa hambar, "Entahlah, mereka sudah ke Mars bersama ayahku ketika usia mereka masih empat tahun dan aku bahkan belum dilahirkan." 

Wajah Yyil yang tadinya berseri langsung berubah menjadi murung, "Maafkan aku."

"Kau tidak salah," jawabku sambil menggelengkan kepala. 

Kak Razle dan Kak Thycle, mungkin hanya dua orang di galaksi ini yang kupanggil sebagai Kakak. Bukannya ingin membuat pernyataan itu menjadi berlebihan, tetapi aku memang tidak pernah memanggil orang lain dengan sebutan itu di Bumi. 

"Ngomong-ngomong, aku minta maaf karena meninggalkanmu tadi. Aku hanya ingin memastikan sesuatu," ucap Yyil sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya. 

Aku ikut memperbaiki posisiku menjadi duduk, lalu menurunkan penerang yang ada di atasku, agar bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya ingin ditunjukan oleh Yyil. 

"Ini...?"

Yyil menyerahkan benda itu padaku, itu tambang yang panjangnya sejengkal. Ada beberapa serat tali lambang yang sudah terpisah dari posisi aslinya, tetapi aku mengerti apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Yyil. 

"Tali untuk ikatan kita masih panjang, jadi aku potong sedikit untuk mencari tahu." 

Yyil juga memiliki keinginan yang sama denganku; menangkap pelaku yang memotong tali itu. Tentu saja orang-orang di klub mendaki langsung bisa melihat bahwa tali itu dipotong dengan pisau dan pemotongan itu memang hal yang disengaja. 

"Sudah kupastikan dari posisi tali dari sampan kita. Dari arah pemotongannya, itu dipotong dari atas," ucap Yyil. "Berarti, pelakunya adalah manusia." 

Ya, pemotongannya memang miring, sama seperti yang kulihat sejak awal. Aku tidak tahu bagian mana yang di atas dan di bawah, tetapi aku yakin bahwa Yyil pasti memprediksikannya dengan benar.

"Kalau kau lihat bentuk potongannya, apa yang kau pikirkan?" tanya Yyil. 

Aku mengobservasinya sejenak, "Uh, ini dipotong dengan pisau yang tumpul? Potongannya tidak rapi dan mengacaukan anyamannya." 

Yyil mengangguk, "Aku sudah memeriksa pisau Nael dan Zuo. Pisau mereka tajam, jadi mari singkirkan mereka berdua dari daftar pelaku." 

Mataku mengerjap beberapa kali ketika mendengar Yyil berkata demikian. 

"Apa? Semua orang di sini adalah tersangka, tidak terkecuali. Bukannya aku tidak mempercayai mereka, tetapi mereka akan dituduh karena mereka juga memiliki pisau. Aku mendiskusikan ini denganmu karena kau tidak masuk dalam daftar ini. Kau tidak punya pisau," jelas Yyil panjang lebar. "Intinya aku hanya membuktikan kalau Nael dan Zuo bukan pelakunya." 

"Uhm, oke," jawabku agak canggung. 

"Oh ya, aku tidak punya pisau, kecuali yang ada di pakaian selam," tambah Yyil dengan buru-buru. 

Entah berapa lama Yyil mendiskusikan tentang pelaku pemotongan sampan yang sebenarnya tidak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Kami mengakhiri pembicaraan kami setelah aku melihat Yyil mulai terkantuk-kantuk. Malam juga sudah semakin larberut dan tidak ada lagi suara-suara yang terdengar dari luar tenda selain suara ombak. 

Biasanya, aku dan Yyil tidak hanya tidur berdua, tetapi banyak sekali yang memutuskan untuk merawat Dillon sampai pemuda itu siuman. 

Warga Kota Waterfloatt pasti sangat mengandalkan dan mempercayai Dillon, tanpa tahu bahwa Dillon memiliki rahasia besar yang tidak dia ceritakan kepada siapapun. Aku seperti dalam posisi si Serba Tahu dalam sebuah cerita: mengetahui penyelidikan Yyil, hal yang didengar Nael dari pembicaraan diam-diam warga Waterfloatt, identitas Ath yang sebenarnya, dan juga rahasia Dillon. 

Padahal nyatanya, aku tidak mengerti alasan yang ada di balik semua kejadian ini. 

Aku tidak bisa terlelap seberapa keras pun usahaku. Tentu saja, tidak mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang setelah adanya informasi bahwa kota ini akan tenggelam. Juga, soal makhluk air yang belum kembali itu. Manusia normal tidak akan baik-baik saja di dalam air lebih dari 12 jam dengan suhu seekstrem ini. 

Ketika keluar dari tenda, aku tidak terlalu berharap bisa langsung mendengar kabar tentang Ath yang telah kembali. Atau Ath yang tiba-tiba sudah berdiri menunggu di depan tenda. Aku tidak berharap sama sekali.

Masih pagi buta, masih sangat dingin. Keputusanku untuk membawa selimut bersamaku adalah hal yang tepat. 

Kakiku melangkah secara otomatis ke tenda Dillon. Dari luar saja, terlihat bahwa tenda itu kepenuhan dan memenuhi kapasitas. Kusibak tenda pelan-pelan. Yang benar saja, tenda itu benar-benar ramai. 

Banyak yang duduk mengelilingi Dillon yang masih terbaring. Pemandangan itu membuatku teringat dengan hari duka, sebelum insiden kenaikan air. 

Semuanya akan duduk mengelilingi tubuh, berdoa untuk ketenangan roh, kemudian membakarnya. Abu jenazah bisa disimpan apabila memiliki keturunan dan akan disebar di laut apabila belum memiliki keturunan. Namun banyak yang berpendapat bahwa peraturan itu sangat kuno dan tetap menyimpan abu keluarganya.

Kuremas pelan tanganku ketika menyadari pemikiran burukku di saat seperti ini. 

"Uh, anak kota. Teman kalian belum kembali," lapor seseorang tanpa kuminta. 

Kuabaikan pertanyaan itu, "Dillon belum bangun?" 

"Bel--"

"Sudah." Suara Dillon terdengar pelan, tetapi mampu membuatku dan orang itu langsung menoleh ke arahnya. 

Belum sempat mengatakan apa-apa, orang yang barusan berbicara denganku itu langsung berseru heboh, "DILLON SUDAH BANGUN!" dan itu berhasil membuat orang-orang satu tenda terbangun. 

"Wah! Dillon sudah bangun! Bagaimana keadaanmu?" 

"Kau ke tenda obat, campurkan semua obat di satu wadah," pinta seseorang yang membuat perutku secara refleks terasa panas. 

Kugeleng-gelengkan kapalaku, mencoba melupakan bayangan tentang rasa obat-obatan itu. Ada hal yang lebih penting untuk dibahas saat ini. 

Dillon yang saat ini sedang meminta orang-orang di tenda agar lebih tenang. Sekarang, aku merasa Dillon sangat hebat. Licik. Dia masih bisa tertawa seolah dia tidak melakukan dosa besar kepada para penduduk di Kota Apung, merahasiakan hal besar yang akan berefek pada kelangsungan Kota Apung. 

Saat orang-orang di tenda mulai tenang, kami tidak sengaja saling bersitatap mata. 

Dillon langsung menyapa, "Oh, pagi, Skye. Maaf membuatmu kha--"

"Pagi. Aku ingin bicara denganmu," potongku sambil menatapnya dalam-dalam. "Penting."

Semula, Dillon menatapku dengan tatapan bingung, sampai akhirnya dia melemparkan senyuman tipis, "Mau membicarakan apa?"

Kuperhatikan orang-orang yang menatapku seolah aku adalah orang yang aneh, kucoba abaikan mereka dan kembali beralih menatap Dillon.

"Pokoknya penting," jawabku apa adanya.

Tanpa kuduga, tiba-tiba Dillon mengangkat tangannya dan membuat beberapa gerakan yang familier.

"Oke. Kalau memang sepenting itu, ayo saling merahasiakan ini."

Mataku membulat ketika dia menyampaikan pesan itu kepadaku.

"Aku akan menemuimu nanti." Begitu katanya.

"Baiklah." Dengan sangat berat hati, aku membalasnya.

Topik kami hanya bisa membuat warga Kota Apung mengerutkan kening mereka heran.

Bahasa sandi.

Dillon mengerti bahasa sandi.

Dillon ... Siapa dia sebenarnya?

***TBC***

23 Agustus 2019, Jumat.

[A/N]

Ini 3300 kata dan mungkin satu-satunya chapter di Aqua World yang bikin aku bingung setengah mati. WOI CIN, ini kamu mau TBC-in dimana?

Ya, mungkin itulah penyebab dan alasan mengapa TBC hari ini tidak seganteng biasanya. Eh, maksudku segantung biasanya. 

Tadinya ingin kuTBC-in di scene saat si gadis air bilang soal Dillon yang merahasiakan penenggelaman Waterfloatt, tapi kubatalkan karena itu jahat banget. Gantung ga ketolong.

Kalau kamu jadi Skye, siapa yang akan kamu percayai?

Aku nyicil ngetik ini pelan-pelan dan walaupun sudah ngetik sampai sini, aku tetap merasa bahwa chapter ini masih sangat cacat dan perlu melakukan banyak perubahan.

Dan yeay, kalian menebaknya dengan benar, bahwa gadis air itu yang nandain Dillon, walaupun katanya Dillon yang minta ditandain sih.

Kalian suka cowok misterius kan? Sekarang Dillon juga fix jadi misterius //toel pipi Dill// Hahahaha, gadeng, gadeng, Dillon memang punya peran tersendiri dalam Aqua World.

Semua orang punya peran masing-masing <3

LAPORAN CHAPTERAN:
Iris = 690k
Stella = 94.2k

Wiih sebentar lagi 100k bintang. Pembaca Aqua World ini memang super sugoi!

Cindyana H / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top