⊹ NIRWANA ASMARA .⭒

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

💭 ; MIYA ATSUMU X READERS
R-EVERIE

haikyuu is not
mine, they're belongs to
HARUICHI FURUDATE.

plot changes are mine, if
there any similiarites
with any other book, it was
purely coincidence.

all medias here isn't mine,
they're orbtained from
Pinterest, Google, and other
platform.

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

Lembayung fajar menelan bumi, menyemibutakan pandangan manusia yang telah terbangun dengan kontras gradasi warna pada kanvas cakrawala. Secercah sinar dengan laju menyelinap, menerobos pada sela-sela kain selambu jendela yang sedikit terbuka. Sinarnya menyorot jelas padanya, yang kini terduduk lemas di atas tempat tidur, menapaki gawai yang sejak tadi menyala entah berapa lama.

Sejenak sosoknya menggosokkan mata, nampak menahan lelah dari mata selama memperhatikan gawainya. Sejenak pula ia menghela napas berat, sekali dua kali hingga atmosfer ruangan terasa tak lagi menenangkan baginya.

Kini dia menggerutu, mengutarakan puluhan caci maki dalam benak.

Kemudian untuk kesekian kalinya, hela napas berat keluar dari rongga mulutnya.

"Lelaki kardus." Ucapnya seraya beranjak dari singgasananya, ia berjalan meninggalkan kamar dengan tujuan untuk melaksanakan tugas di dapur.

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

"Aku lihat sejak tadi wajahmu tampak masam. Apa ada yang terjadi, [Name]?"

Pemilik nama mengadahkan atensi penuh pada eksistensi manusia dekatnya, yang bersurai merah dengan paras terkantuk terpampang diwajahnya. Yukie telah berdiri di sampingnya, memasang mimik penasaran pada gadis belia bernama [Name].

"Tentang si Miya lagi?" Sambung Yukie bertanya.

[Name] menghela napas berat, alisnya berkerut setelahnya, "iya, sudah empaf hari ini dia tak membalas pesanku."

"Dia sibuk?"

"Dia sudah membaca pesanku, Yukie."

Alis lawan bicara ikut berkerut, "lagi? Astaga, apa ada yang salah dengan lelaki itu?"

[Name] tak membalas, kembali lagi ia menghela napas dari rongga mulut.

"Empat hari ini pun dia tak menemuiku, bahkan hari-hari sebelumnya dia tidak mengatakan kalau dia akan terlibat suatu kesibukan."

Ramainya kelas semakin membuat [Name] sakit kepala. Panas terik baskara yang menembus jendela pun terasa membakar ubun-ubunnya. Gadis ini sudah berada di puncak kesabaran, namun alih-alih mengamuk, [Name] lebih memilih untuk ke luar dari kelas dan pergi menenangkan diri di tempat yang sunyi.

Kakinya sudah lurus, menjejak pada alas bernuansa putih yang menjadi tumpuan berdiri. Sebelumnya gadis itu telah berpamitan pada Yukie, hendak pergi ke tempat yang selalu ia kunjungi setiap pergi ke kampus. Yukie mengiyakan dan [Name] berjalan menerobos sekian banyaknya manusia yang berkonversasi pada sudut kampus.

Sekian anak tangga telah dia jejaki, hingga hadir eksistensinya pada ruangan dengan pendingin serta hawa sunyi. Tentu saja perpustakaan, di sini tempat di mana [Name] selalu menenangkan dirinya. Untuk saat ini, gadis ini hanya ingin duduk diam dalam perpustakaan, tidak membaca buku, hanya diam.

Memang relung hatinya masih terasa sakit dan panas bila mengingat nama kekasihnya itu. Namun sang puan memutuskan untuk melihat gawainya dengan harapan, Atsumu akan membalas pesannya.

Layar gawai menerangi pandangannya. Dan seketika itu pula manik sang puan membelalak penuh. Notifikasi ponselnya memaparkan telah menerima sebuah pesan dari sang lelaki yang ditunggu. Belum sempat matanya membaca rentetan huruf yang tereja, jemari mungil sang puan langsung membuka pesan yang terkirim.

Jantung sang gadis berdebar tak karuan, seutas kurva terlukis pada paras eloknya. Bahkan dibuat memerah pula pipinya. Amarah yang tumpah ruah telah diusir, berganti dengan suka cita yang menjalar hingga sekujur raga.

"Ah, kurang ajar."

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

Malam dan angin yang meraung marah, kombinasi kacau. Kondisi alam sedang tidak baik, ia sedang marah. Sama dengan keadaan sang gadis, kacau total. Dan kini dia berdiri tepat di bawah naungan angin yang memukul jendela bangunan di sekitar.

Kepala tertunduk mengarah pada bumi, gejola rasa kecewa merenggut penuh perasaannya. [Name] bersandar pada pagar bibir Jembatan Namidabashi dengan pikiran kosong.

Dalam diam lamunannya, dapat ia dengar samar-samar hiruk-pikuk kendaraan yang melintas. Bahkan suara langkah kaki yang terdengar mendekatinya, semakin dekat dan dekat.

"Hai, [Name]."

Lantunan familiar itu mengalihkan atensinya. Mata yang semula menghadap ke bawah telah menghadap pada sumber suara. Visual yang selama ini membuat sang puan khawatir tak karuan, telah berdiri di hadapannya.

Entahlah apa yang gadis itu rasakan begitu melihat kekasih saat ini, rasanya tercampur aduk. Ada rasa kecewa yang merundung hati, di sisi lain pula ada kupu-kupu yang berhamburan dalam perutnya. Ada pula rasa marah, namun ada pula rasa senang dan lega melihat sosoknya menghadap langsung ke arahnya.

Alih-alih menjawab sapaan sang kekasih, [Name] tak menggubris maupun mengucapkan sepatah kata selepasnya. Bergeming seraya memandang lelaki bertitel atlet voli terkemuka di Jepang dengan intens.

"Sepertinya kamu sudah membaca pesanku, ya? Baguslah kalau begitu."

Masih bergeming, namun nampak jelas alis sang empu berkerut. Bukan berkerut khas layaknya hendak mengeluarkan amarah, alisnya berkerut menggambarkan ekspresi sendu.

Dalam beberapa waktu, tak ada konversasi yang mengisi pertemuan pasang kekasih ini. Momentum diisi dengan deru bunyi kendaraan yang melintas, hanya itu.

Kemudian selang beberapa detik, [Name] memutuskan membuka mulut, "Miya Atsumu, sebenarnya kamu anggap aku ini apa?"

Lantas sang pemilik nama dengan lantang menjawab, "Tentu aku anggap kamu sebagai [Name], apa lagi?"

"Kalau begitu, dari [Name] yang kamu sebut itu, kamu anggap dia sebagai apa?"

Atsumu hendak membuka mulut, namun mulut [Name] lebih cepat mengucapkan apa yang ada di pikirannya, "kau anggap dia sebagai boneka figuran usang yang hanya kau mainkan saat kau mau? Atau kamu anggap dia sebagai pasanganmu, yang berupa manusia dan memiliki hati serta perasaan murni?"

Di sana lawan bicara tak dapat menjawab, sedangkan di hadapannya pula sang gadis telah berderai air mata. Bahkan isak tangis ikut menghampiri, pada akhirnya rasa kecewalah yang menang.

"Aku pun tak mengerti apa maksudmu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu padaku, semua ini berat di kepalaku, Atsumu.."

Masih bergeming, Atsumu di sana masih berdiri menatap [Name] yang meraut sedih di tengah lembayung malam.

"Kau bilang kau akan pindah ke tim lain di luar negeri, kemudian kamu akan pindah negara, benar, 'kan? Lalu kamu memintaku datang ke mari untuk memutuskan hubungan ini supaya kelak di sana semua ini tidak memberatkanmu. Katakan kalau firasatku ini hanya apriori belaka, Atsumu!"

Jeritan itu mewakilkan lara dalam sanubari sang puan. Kembali pula kepalanya menghadap tanah, tangan kecilnya mengadah lalu menutup parasnya yang berantakan karena derai deras air mata sehingga pandangannya menggelap. Ia tak melihat lagi bayangan maupun sosok kekasih di hadapan, namun dapat dia rasakan kehangatan menjalar di raganya. Serasa diri tengah didekap, dan dari aroma itu, [Name] sadar kalau ia berada dalam dekapan sang kekasih, Miya Atsumu.

Elusan halus terasa pada pundak sang gadis, karenanya tangisan [Name] menjadi-jadi.

"Ke mana rasa malumu, Atsumu? Setelah sekian lama kita tidak berkomunikasi, inikah hal yang harus aku terima? Sebelumnya bahkan kau tak mengucapkan selamat pagi atau selamat malan padaku, dan sekarang kau memberiku pesan seperti ini. Ke mana rasa malu dan sadar dirimu?"

Selepas [Name] meneriakkan kesah, tangisnya perlahan mereda. Namun lara yang bertengger dalam dada belum menghilang karena ia mencintai Atsumu. Jika semua firasat yang ada pada pikiran [Name] ialah suata kebenaran, [Name] tak akan bisa menjalankan kehidupannya dengan normal seperti biasa.

Ia takut menginjak fase kehilangan, takut semua memori yang teruntai bersama benar-benar menjadi memori yang tak berkelanjutan. Itu bentuk distopia untuk sang gadis.

"Semua ini berlebihan untuk gadisku, ya? Maafkan aku, [Name]." Kini Atsumu menjawab dengan lantunan halus seraya mengelus bahu sang gadis lembut.

"Untuk apa permintaan maaf itu?"

"Karena hari ini adalah tanggal 1 April."

Dunia yang semula terasa berhenti karena dilahap sembilu kini terasa kembali berputar selepas Atsumu mengatakan perihal tanggal 1 April. Semua hal berenang dalam kepalanya, tapi tak ada satu pun gagasan maupun jawaban yang tepat untuk menambal patri pertanyaannya.

"Besok ulang tahunku?" Tanya [Name] masih terisak.

Seutas senyum terlukis pada garis mulut Atsumu, dia terkekeh kemudian, "benar, tapi apa kau benar-benar tidak ingat ada apa dengan tanggal 1 April?"

Manik [Name] dibuatnya membelalak, dalam sejenak wajahnya memerah padam. Malu. Pada saat itu pula sebuah pukulan mendarat pada perut sang kekasih.

"Aduh!" Dia merintih kesakitan.

"Atsumu kurang ajar! Jadi semua ini bohongan belaka?!"

Sang kekasih tertawa puas dan sang gadis di sana sudah menyiapkan segala caci maki untuk ditelan mentah-mentah oleh kekasih.

Tepat pada jam dua belas malam, dua manusia yang dibutakan asmara menghabiskan momen bersama. Berlari-lari mengejar satu sama lain dalam payung malam.

"Selamat ulang tahun, [Name]!"

"Kau baru boleh mengucapkannya setelah pukulan ini berhasil mendarat tepat di wajah menyebalkanmu itu, Miya Atsumu!"

·   ·   · ・ •  𓆩♡𓆪  • ・ ·   ·   ·

29.03.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top