[d r a b b l e] Why, Evan? (Evan x Ryne)
Ryne tak tahu sudah berapa malam Evan pulang terlambat, pertanyaannya selalu diabaikan tanpa jawaban pasti. Desas-desus tetangga mulai ramai bersliweran, bergosip tentang kehidupan rumah tangga Evan Campbell dan istrinya Phryne Campbell. Semula kehidupan mereka tak seperti ini, namun entah mengapa Evan kembali menjadi sosok tertutup dimasa lampau.
Evan selalu pulang ketika Ryne tertidur di sofa yang menantinya penuh kesabaran. Jika sudah begitu, Evan akan menggendong tubuh Ryne menuju kamar mereka, menyelimutinya dan meninggalkan wanita itu tertidur sendirian, sedangkan ia akan berjalan kembali menuju sofa dengan selimut dan bantal di tangan.
Seharusnya keadaan mereka baik-baik saja, mengingat minimnya pertengkaran di antara keduanya. Ryne mungkin adalah gadis penuntut afeksi namun ia pun pengalah, sedangkan Evan adalah pria pemberi afeksi namun tak diperlihatkan secara gamblang.
Malam itu, Ryne memaksakan dirinya tetap terjaga, menunggu Evan di depan teras tanpa selimut hangat, padahal musim gugur telah tiba. Raut wajah Evan ketika pulang dan mendapati Ryne menunggunya di depan teras dengan gaun tidur yang tipis adalah marah.
Jubah disampirkan pada tubuh Ryne. "Kenapa kau menungguku di sini dengan pakaian seperti itu? Kau berniat mengundang pria untuk menidurimu?"
Bukan pelukan hangat atau kecupan terima kasih yang Ryne peroleh, melainkan ucapan tajam dan blak-blakan Evan.
Ryne menggeleng pelan, senyumnya miris dengan dahi berkerut menahan emosi. "Aku menantimu yang selalu pulang larut malam dan yang kuperoleh adalah ucapan seperti itu?"
Sirat mata Evan dingin, sesungguhnya ia sedang lelah dan hanya ingin beristirahat, bukan berdebat dengan Ryne. Lengan Ryne ditarik paksa hingga masuk ke dalam kediaman mereka.
"Bisakah kau untuk tetap menungguku di dalam rumah? Aku memperistrimu bukan untuk dijadikan pajangan hiburan pada lelaki lewat, aku tak ingat pernah memintamu untuk menungguku pulang, Ryne." Evan berjalan menuju kamar mereka tanpa menoleh kembali.
Langkah Evan berhenti di ujung anak tangga. "Aku baru saja pulang dan lelah, jangan mendebatku lagi, selamat malam."
Lagi, balasan dingin seperti ini bukanlah harapan Ryne. Bukan sekali maupun dua kali ia menghadapi sifat Evan, namun untuknya sendiri masih sulit agar terbiasa. Dengan wajah dipenuhi stress dan jejak-jejak air mata, Ryne berniat untuk tidur di sofa demi menenangkan dirinya.
Keesokan harinya kejadian pun berulang, lagi-lagi Evan pulang larut malam, bahkan terhitung lebih malam ketimbang kemarin-kemarin. Ryne menantinya di sofa ruang tamu, mengenakan kimono tidur berwarna putih, ia bangkit dari duduk ketika mendengar suara pintu terbuka.
Di sana, Evan baru kembali, penampilannya acak-acakan, beban di wajahnya kentara. Ryne berniat membicarakan masalah mereka baik-baik.
Belum sempat mengatakan apapun, Evan menyela terlebih dahulu. "Aku akan beristirahat duluan, selamat malam."
Ryne mengepalkan tangannya di samping tubuh, menggigit bibir bawah dengan mata berkaca-kaca. Sesaat Evan melewatinya, Ryne menahan bahu Evan, pupil matanya melebar disertai tatapan kosong.
Bahunya dicengkram kuat oleh Ryne, Evan sebisa mungkin balik menatap Ryne dan menyadari istrinya mulai menangis namun masih memandangnya.
"Bunuh saja aku, Evan. Perlakuanmu yang tidak adil ini menyakitiku!" pekik Ryne frustrasi.
Ekspresi Evan kelewat terkejut mendengar ucapan Ryne. "Hei, Ryne. Apa yang terjadi?"
Wanita yang telah menyandang nama Campbell pun menangis di pelukan Evan. "Aku juga berhak tahu apa yang kau lakukan hingga pulang larut malam seperti ini, Evan! Aku istrimu! Jangan lupakan statusku dalam hidupmu."
Awalnya telapak tangan Evan meragu untuk sekadar mengusap pucuk kepala Ryne, tangannya berhenti saat mendengar ucapan Ryne.
"Aku hamil, Evan," ucapnya disela-sela tangis yang sesegukan.
"… Apa?" tanya Evan berusaha untuk membuktikan bahwa pendengarannya tak salah.
"Awalnya aku ingin membuat kejutan, namun hubungan kita memburuk, komunikasi kita tak sejalan, aku kehabisan ide untuk memperbaiki segalanya!" Dada Evan basah oleh air mata Ryne.
"Berulang kali aku hendak menyampaikan kabar ini, namun waktu tak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu pergi sebelum aku bangun dan kembali ketika aku terlelap, sebenarnya kau ini kenapa!?" Jeritan putus asa Ryne terdengar menyedihkan.
Evan yang mendengar segala keluh kesah Ryne mulai menyadari kesalahannya. Ia disadarkan dengan kondisi Ryne yang tengah mengandung buah hati mereka, bahwa ia salah karna berusaha menutupi semuanya.
Salah karna membuat Ryne terbebani dengan banyak pertanyaan dalam kepalanya.
Tubuh Ryne dirangkul erat, Evan menenggelamkan kepala pada bahu istrinya, mengusap helaian coklat itu dengan lembut.
"Maafkan aku, Ryne. Ada banyak hal yang tidak bisa kuberitahukan padamu, terlalu banyak dan rumit untuk kujelaskan. Bukan berarti aku sengaja menyembunyikan semua ini darimu, maafkan aku pula karna telah berkata kasar kemarin padamu," bisik Evan pelan.
Sesungguhnya Ryne muak mendengar hal itu, tentang bagaimana Evan memperlakukannya dengan menyembunyikan banyak hal dari dirinya padahal sudah terikat pada titel suami istri. Tubuh Evan didorong hingga pelukan terlepas.
Evan memandang sang istri dengan penuh sesal, ia bahkan baru menyadari wajah pucat istrinya yang mengiris hatinya. Kemana saja Evan selama ini?
"Bahkan setelah kita menikah pun, kau masih saja menyembunyikan sesuatu dariku. Kenapa kau selalu bertingkah egois, Evan!? Kau pikir aku bisa selamanya terus menerima sikapmu yang seperti ini? Tidak! Bahkan aku sudah putus asa dengan keadaan kita," Teriakan Ryne terdengar parau. "apa perlu aku mati terlebih dahulu agar kau bisa mengerti selelah apa diriku yang selalu kau perlakukan seperti ini, Evan?"
Bagi Ryne ini tak adil, Evan bisa melakukan semua hal sesukanya dan ia tak memiliki keberanian untuk menentang. Bukan, Ryne bukannya tak memiliki keberanian, ia hanya terlalu sering mengalah agar sama-sama tak terbakar, ia berpikir bahwa perannya adalah air yang memadamkan Evan.
"Kalau kau sesungguhnya muak denganku, silakan ceraikan dan tinggalkan aku. Aku takkan berkata banyak dan seperti biasanya, hanya selalu menerima, Evan."
Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Evan, hanya ada tatapan penuh komplikasi. Rasa bersalah semakin memenuhi Evan, lengan Ryne ditarik, mempertemukan bibir mereka. Kecupan Evan lembut namun terasa menuntut, kebanyakan perasaan yang tersirat rumit layaknya buntalan benang gimbal.
Bukan—Evan tak mencium Ryne untuk membuktikan cintanya, melainkan cara ia membela diri.
.
.
.
.
{ e n d }
a/n: Natsu_Roku Sesuai permintaan lu, gw beneran publish neh, btw ini Evan ooc ga sih? :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top