Untukmu
TENG ... TONG ... TENG
"Bel masuk sudah berbunyi. Harap para murid segera memasuki kelas masing-masing. Sekian, Terima kasih,".
Suara yang menuntunku memasuki ruang idamanku. Di kelas inilah aku merasa bahagia.
"Hina, boleh aku lihat catatanmu?"
"Kebiasaan,"
"Terima kasih Hina," ucap Momo sambil memelukku.
Sebenarnya aku tidak suka jika Momo terus mengerjakan PR di sekolah. Seharusnya dia mengerjakan PR di rumah bukan di sekolah.
Sudahlah, ini juga bukan pertama kali dia seperti itu. Selagi dia masih ada niat untuk mengerjakan, bagiku tidak masalah.
"Kau ngerjain PR di sekolah lagi?" Tanya Putri yang baru tiba di kelas.
"Iya," sahut Momo dengan senyum tanpa dosanya.
"Dasar!" ucap Putri yang mencubit pipi Momo.
"Semua tenang!! kita mulai pelajarannya," ucap pak Sugeng yang langsung menghentikan kebisingan di kelas.
Pelajaran yang paling aku suka dan tidak akan pernah aku lewatkan. Cara mengajar pak Sugengpun tidak membosankan, itulah kenapa aku slalu senang saat belajar matematika.
Momo dan Putri adalah sahabatku. Kami slalu bersama, bahkan dari kelas satu SMA.
Momo anak yang sangat populer. Dia bahkan memiliki tiga pacar, ketiganya bersekolah di tempat yang berbeda.
Putri anak baik dan cukup dewasa menurutku. Bisa dibilang dia seperti kaka kami. Dan dia jomblo.
Aku sendiri adalah tokoh utama di cerita ini. Namaku Hina, aku anak rajin dan juara satu di kelas. Maaf jika pamer, tapi aku bertekad untuk menjadi murid terbaik saat lulus nanti. Tentu aku punya alasan tersendiri.
Sedikit perkenalannya aku akan melanjutkan cerita hidupku.
Bel istirahat berbunyi dan aku pergi makan bersama dua sahabatku.
Seperti biasa, kami slalu makan bersama di bawah pohon besar yang berada dekat lapangan sekolah.
"Hey Putri, boleh aku minta sosisnya?" tanya Momo yang melihat sosis Putri dengan tatapan nafsu.
"Nih satu aja,".
"Asik!".
Momo terlihat senang dan sangat menikmati sosis pemberian Putri.
"Aku ingin ke perpustakaan," ucapku setelah merapikan bekal makanku.
"Selamat berjuang maniak peringkat satu," sahut Putri sambil mengacungkan jempolnya.
"Yey! Berjuang berjuang!" seruan semangat dari Momo.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku mereka, "Sampai jumpa di kelas," ucapku sambil melambaikan tangan.
"Buku buku buku," gumamku sambil mencari buku yang aku inginkan.
"Hay Hina, mencari buku lagi?" tanya bu Sulis yang membawa dua box berisi buku.
"Baru lagi?".
"Seperti biasa,".
"Biarku bantu," ucapku sambil mengambil satu box.
"Terima kasih cantik," kata bu Sulis sambil tersenyum.
Bu Sulis adalah penjaga perpustakaan. Sebulan sekali perpustakaan slalu mendapatkan pasokan buku baru dari kepala sekolah.
"Di sini saja," ucap bu Sulis sambil menaruh box di atas meja.
"Baik,".
"Kamu mencari buku apa?".
"Boleh aku lihat?" tanyaku sambil memperhatikan beberapa buku di dalam box.
"Aku diabaikan,". ucap bu Sulis dengan ekspresi datar.
"Aku mencari buku sejarah," sahutku seraya menjawab pertanyaannya tadi.
"Seja-".
"Boleh aku pinjam buku ini?" Ucapku sambil memegang satu buku.
"Itukan bukan buku sejarah,".
"Tapi aku tertarik,".
Dengan senyum manisnya bu Sulis mengijinkan aku membawa buku yang aku mau.
Aku terus memperhatikan buku yang aku bawa sambil berjalan di koridor. Entah kenapa aku sangat tertarik untuk membacanya.
Duak!!!
"Kamu ngga apa apa?" Tanya pak Bagas sambil mengulurkan tangannya untuk membangunkanku.
"Maaf pak," ucapku sambil meraih tangannya.
"Lain kali hati-hati,".
"Iya,".
"Saran bapak, sebaiknya kamu perbaiki cara bicaramu," ucapnya sambil menepuk pundakku.
"Kenapa?".
"Apa kamu tidak masalah dengan cara bicaramu sendiri?" tanyanya sambil menggaruk kepala.
"Tidak masalah," jawab singkatku.
"Bagaimana jika ada yang salah faham dan tidak mau mendekatimu?".
"Itu urusan mereka,".
"Bapa harus ke kelas," ucapnya sembari berjalan menjauh.
Mungkin benar ucapan pak Bagas, tapi aku tidak bisa merubah sifatku. Memang sudah dari kecil sifatku seperti ini. Beruntungnya ada dua orang yang mau berteman denganku.
lagipula aku tidak masalah dengan sifat ini, slama aku bisa menjadi murid terpintar di sekolah.
Semester kedua adalah semester penentuan untuk masa depanku nanti. Banyak tugas dan ujian di semester ini.
Sepulang sekolah aku berkunjung ke rumah sakit untuk menemui seseorang, dialah Alasanku mengejar penghargaan murid terbaik di sekolah.
"Aku pulang," ucapku seraya memasuki kamar pasien.
Senyum hangat yang slalu menyambut kedatanganku dengan bahagia, "Selamat datang,".
Dia adalah ibuku, satu-satunya orang tua yang aku miliki sekarang. Ayahku pergi meninggalkan kami demi wanita lain. Itu kenangan buruk yang tidak ingin aku ingat lagi.
Hampir setahun Ibuku dirawat, dia mengidap penyakit tumor otak. Dokter mengatakan umurnya tidak akan lama lagi.
Pamanku yang membiayai semua pengobatan ibu.
"Bagaimana sekolahnya?" Tanya ibu sambil mengusap kepalaku.
"Seperti biasa bu, tidak ada yang berbeda,".
"Kamu mau apel?" Tanyanya sambil tersenyum dengan apel di tangannya.
Sambil ibu memotong apel, aku menceritakan semua kegiatanku hari ini. Aku slalu berbagi cerita setiap kali bertemu ibu.
Aku senang bisa melihatnya tertawa dan tersenyum bahagia. Saat aku sedang asik bercerita, pamanku datang berkunjung.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya paman yang baru sampai bersama bibi.
"Semakin membaik setiap aku melihat wajah Hina," ucap ibu sambil tersenyum kepadaku.
"Hari ini bibi yang akan menjaga ibumu, jadi kamu bisa pulang bersama paman,".
"Iya bi,".
Setelah beberapa saat aku dan paman pamit kepada ibu, "Hati-hati yaa," ucap ibu sambil tersenyum kepada kami.
Mungkin ibu terlihat slalu tersenyum dan baik-baik saja. Tapi aku tahu, dia tidaklah baik-baik saja.
Tujuanku mendapatkan penghargaan murid terbaik adalah untuk memberikan hadiah terakhir kepada ibuku. Hadiah sebelum dia pergi untuk slamanya.
"Apa!!! Kau serius Momo!"
"Ada apa?" Tanyaku kepada Putri yang berteriak.
"Momo, dia memberikan kehormatannya kepada Ray," ucap Putri sambil menunduk.
Aku terkejut mendengar ucapan Putri, dan melihat kondisi Momo membuatku tidak bisa menahan air mataku.
"Maafka-"
Aku langsung memeluk Momo, "Maafkan aku!!!" Teriaknya diringi tangisan dari kami bertiga.
Aku kesal dan sedih. Kenapa Momo bisa sebodoh itu, dan Ray pergi setelah mengambil kehormatan Momo. Dengan kejadian ini, membuat pandanganku terhadap laki-laki semakin buruk.
Aku membawa Momo ke ruang UKS agar dia bisa istirahat dengan baik.
"Kamu bisa kembali ke kelas, biar ibu yang menjaganya,"
"Iya bu,"
Masalah Momo terus terpikir di otakku, bahkan Putri tidak memperhatikan pelajaran sama sekali. Begitupun aku yang tidak fokus belajar.
Jam istirahat kami menemani Momo di UKS dan pulang sekolah kami menemaninya sampai rumah.
Momo terlihat begitu depresi, bahkan dia tidak masuk slama 2 minggu.
Aku bercerita masalah yang dialami Momo kepada ibu. Setelah mendengar ceritaku, ibu langsung memelukku.
"Jaga diri kamu yaa," ucapnya yang masih memelukku dengan erat.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa membalas pelukan ibuku dan menahan air mata.
Setelah dua minggu Momo tidak masuk sekolah, beberapa guru mengatakan bahwa dia pindah rumah dan juga sekolahnya.
Hal itu membuat aku dan Putri terkejut. Maksudku, kenapa Momo tidak mengatakan apapun dan pergi begitu saja.
Putri mencoba menghubungi Momo saat jam istirahat.
"Kenapa kamu pergi diam-diam!!!" teriak Putri yang menelpon Momo.
"Maafkan aku,".
"Kenapa kamu tidak bilang kepada kami?" Tanyaku dengan pelan sambil menahan air mata.
"Terima kasih, jaga diri kalian baik-baik," ucapnya yang kemudian memutuskan panggilan.
Kami coba hubungin lagi namun dia slalu menolak panggilan kami. Saat itulah aku dan Putri merasa kehilangan sahabat terbaik kami.
Ujian akhir semester semakin dekat, dan aku belum bisa fokus belajar karena memikirkan Momo.
Aku hanya bisa bengong di meja belajar sambil memandangi buku-buku pelajaran.
Dengan mehela napas aku memandangi langit-langit kamarku, "Aku mau minum susu,".
"Belum tidur?" Tanya paman yang masih menonton TV di ruang tamu.
"Aku sedang belajar,".
"Terus,".
"Aku butuh susu hangat," ucapku sambil menyeduh segelas susu.
Aku kembali ke kamar sambil membawa susu hangat dan beberapa cemilan yang aku temukan di kulkas.
Pada akhirnya aku hanya menghabiskan cemilan dan susuku. Aku bahkan tidak menyentuh buku sama sekali.
Seperti biasa kelas slalu diawali dengan kegaduhan dan obrolan para murid.
"Pagi Hina, sepulang sekolah kau akan berkunjung?" Tanya Putri sambil memeluk ku dari belakang.
"Mau ikut?".
"Tentu saja,".
Waktu kami lewatkan tanpa Momo di sekolah. Sepi memang, tapi kami coba untuk bersikap biasa. Walau sulit.
Sepulang sekolah aku dan Putri menuju rumah sakit untuk mengunjungi ibuku, "Kita beli buah dulu," ucap Putri.
"Tidak usah,".
"Aku sudah lama ngga ketemu ibu, sesekali aku ingin membawa sesuatu," ucapnya dengan tersenyum.
Ibu adalah panggilan dari Putri dan Momo, mereka sudah menggunakan panggilan itu sejak pertama mereka kenal ibuku. Mereka sudah menganggap ibuku seperti ibu mereka sendiri.
"Halo ibu! Aku rindu!" Ucap Putri yang langsung memeluk ibuku.
"Aku pulang,".
"Selamat datang," ucap ibu dengan tersenyum, "Ibu juga rindu kamu Inces," sambungnya sambil mengusap rambut Putri.
"Ibu sudah baikan?" Tanya Putri sambil menaruh buah yang dia bawa di meja.
"Baik dong. Kan ibu sudah bisa tersenyum,".
"Wah! Syukur deh,".
Terlihat dari ekspresi Putri kalau dia sangat senang ngobrol dan bercanda dengan ibu. Aku senang melihatnya. Melihat mereka tertawa bersama hatiku terasa sangat bahagia.
"Jadi aku sudah dilupakan!".
"Kamu mah slalu cemburu," ucap Putri.
"Sini sayang," ucap ibu sambil mengulurkan tangannya.
"Dasar tukang cemburu," ucap Putri sambil menjulurkan lidah.
"Kamu yang bikin aku cemburu!" Ucapku sambil mencubit pipinya.
"Kemarilah, peluk ibu," ucap ibu sambil membentangkan tangannya.
"Ibu!!!" Teriak kami secara bersamaan dan langsung menangis dipelukan ibu.
"Jika ada kesedihan keluarkan saja, jangan dipendam. Ngga baik,".
Ibu hanya tersenyum sambil mengelus kepala kita. Cukup lama kami menangis sampai paman dan bibi tiba untuk berkunjung.
Bibi slalu tinggal untuk menjaga ibuku. Matahari hampir menyembunyikan sinarnya, aku dan Putri pamit pulang kepada ibu.
Paman dan aku mengantar Putri sampai rumah.
Seminggu sebelum ujian, aku mulai belajar dengan semangat demi mendapatkan peringkat terbaik di sekolah.
"Siapkan mental kalian karena ini ujian pertama di akhir semester," ucap pak Fajar yang mengawasi ujian pertama.
Tibalah hari di mana aku harus berjuang demi ibuku.
Seminggu berlalu ujianpun telah selesai. Cukup sulit memang, tapi aku sudah berusaha.
Liburan akhir semester adalah liburan yang dinantikan oleh semua murid. Kalau aku, tidak ada yang spesial sih, hanya berkunjung dan menginap di rumah sakit. Sesekali aku pergi keluar bersama Putri.
liburanpun berakhir dan hari inilah yang aku tunggu-tunggu. Hari kelulusan dan pengumuman murid terbaik di sekolah.
Singkat pesan yang disampaikan kepala sekolah, akhirnya akan diumumkan siapa murid terbaik tahun ini.
"Setiap tahun akan dipilih satu murid terbaik di sekolah, bapa langsung saja. Yang mendapatkan penghargaan murid terbaik tahun ini adalah Hina," ucap kepala sekolah yang diiringi dengan tepuk tangan semua guru dan murid.
"Selamat Hina, kau berhasil," ucap Putri yang memelukku sambil menangis.
"Terima kasih,".
Aku berjalan menuju kepala sekolah untuk mengambil penghargaanku, tentu diiringi tepuk tangan dan ucapan selamat dari semuanya.
"Selamat yaa," ucapan kepala sekolah sambil menjabat tanganku.
Aku berdiri di depan semua murid untuk menyampaikan beberapa kata, "Aku tidak pandai bicara, Tapi aku berterima kasih untuk semuanya,".
Tepuk tangan yang meriah mengakhiri acara kelulusan tahun ini, banyak tangis dari semua murid karena mereka akan berpisah jauh.
"Hina, kau jangan pergi jauh dariku," ucap Putri yang menangis di pundakku.
"Tidak akan Inces," sahutku sambil merangkul dan mengusap pundaknya.
Di tengah-tengah suasana haru, paman datang menemuiku. Setelah mendengar ucapan paman kami langsung menuju rumah sakit dengan cepat.
Sesampainya di rumah sakit aku tidak bisa berkata apa-apa dan terdiam seperti patung. Putri menangis dengan sangat hebatnya.
"Ibu ... Ini bohongkan! Ibu!!!" Teriakku dengan histeris.
Aku hanya bisa menangis dipelukan bibi, menangis dengan histeris dan terus menangis.
Semua guru dan teman sekelasku datang di Hari pemakaman ibu untuk mendo'akan ibu. Tapi, yang tidak berhenti menangis adalah Putri. Bukan berarti aku tidak ingin menangis atau tidak sedih, hanya saja aku tidak ingin membuat kepergian ibu menjadi berat karena air mataku.
"Kamu masih mau di sini?" Tanya paman kepadaku.
"Iyaa, aku dan Putri masih mau di sini lebih lama lagi," jawabku sambil memandang dan mengusap batu nisan ibu.
"Maaf aku terlambat,".
"Momo!!!" Teriakku yang langsung memeluk Momo dengan erat.
"Aku langsung ke sini setelah menerima pesan Putri," ucap Momo sambil memelukku.
"Baru sekarang kau balas pesanku," ucap Putri sambil tolak pinggang.
"Maaf,".
Momo berdo'a dan meminta maaf kepada ibu karena pergi tanpa mengatakan apapun, "Maafkan Momo," ucapnya seraya menahan air matanya.
Aku kembali memeluk Momo dan terus menangis. Aku memang tidak ingin memberatkan kepergian ibu, tapi air mataku tidak bisa kutahan lagi.
"Aku sudah berusaha. Aku ... Aku slalu senang saat melihat ibu tersenyum, walau aku tau senyum ibu belakangan ini terpaksa karena ibu tidak ingin kami sedih. Ibu slalu senang saat aku menjadi yang terbaik, saat aku mendapatkan piala atau penghargaan. Aku bahagia bisa membuat ibu senang, ini aku persembahkan untuk ibu ... Ibu ... Maafkan aku tidak bisa memberikannya secara langsung ... Maafkan aku ... Aku mencintaimu ibu!!!".
Sekian Terima kasih
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top