Toxic

Hal paling menyedihkan dalam hidup adalah menyadari sesuatu yang paling dibenci berasal dari keluarga sendiri. Itu yang aku rasakan. Membungkus tubuh dalam selimut tebal dan memeluk guling sangat erat sembari berharap agar tidak ada orang yang mendengar tangisku. Lucu memang. Tanganku dengan liar mengusap air mata yang tidak berhenti keluar.

Hari libur yang selalu menyebalkan, lebih baik aku menghabiskan waktu di luar rumah seharian dan pulang hanya untuk tidur.

Lebih baik gak punya anak kayak kamu!

Ucapan itu masih terngiang jelas di benakku. Padahal aku tidak mau mengingatnya, tidak mau mendendam untuk besok. Sayangnya, aku orang pendendam dan tidak bisa menganggap kejadian yang lalu sebagai kejadian tidak pernah terjadi. Aku bukan orang semunafik itu.

Aku yakin kalau aku ini anak kedua orang tuaku, tapi tidak yakin mereka menyayangiku. Ironi sekali. Toh, kayaknya mereka tidak pernah benar-benar merasa bangga denganku. Apa gunanya menjadi Putri Kampus? Apa gunanya menjadi perwakilan pertukaran pelajar? Apa gunanya menjadi ketua BEM? Apa gunanya menjadi pendamping rektor di acara kementrian? Apa gunanya semua itu kalau mereka tidak merasa bangga?

Kata temanku, aku ini orang kelewat rajin tapi mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak begini, pasti dua macan itu terus mengaung-ngaung. Hutang yang menumpuk, tanggungan uang sekolah, belum lagi biaya kontrak rumah. Gila gak sih? Belum lagi mereka yang sudah mulai tidak tahu harus mencari nafkah dengan apa. Jadi uang jajanku pun hak mereka, bukan aku.

Semua itu tidak berguna. Memang mereka suka koar-koar tentang betapa kerennya anak mereka ini. Semua itu kan hanya untuk pamor mereka, aslinya apa? Waktu aku dengan bangga menunjukkan surat undangan malam Grand Final Putri Kampus, apa yang dikatakan?

Lihat nanti ya. Banyak kerjaan di rumah.

Omong kosong, ujung-ujungnya tidak datang. Aku tahu itu. Mereka bahkan selalu menghina aku sebagai anak yang tidak tahu kerjaan, gak punya tujuan jelas. Padahal aku kuliah pun juga mengikuti apa yang mereka suruh. Sial gak sih punya orang tua seperti itu?

Aku bahkan mencari uang jajan dengan hasil keringat sendiri. Semua pun, aku lakukan sendiri. Namun kalau cacatku keluar, langsung deh mulut macannya keluar. Giliran adikku dapat nilai jelek, terancam tidak naik kelas, malah dibilang wajar bukannya diomelin. Memangnya salah ya aku?

Bahkan tadi salahku apa sih? Cuma tidak mau menggoreng ikan bandeng. Memangnya aku salah ya kalau merasa capek dan mau menikmati libur ini. Malah dikatai mending tidak punya anak sepertiku.

Sumpah deh, gue gak tahan!

***

“Lo yakin? Gak pulang gak apa-apa? Lo kan anak baik-baik.” Andra membisikiku sedikit keras karena suara musik terlalu hingar bingar.

“Halah, gak ada yang peduli gue hidup atau mati, Dra. Pokoknya duit mengalir.” Aku menepis tangan Andra yang berani menyentuh area tubuh sensitifku. “Badan gue gak gratis, Tolol!”

“Santai, Honey. Gue cuma bercanda lagi. Lo sih, gue kenalin yang seger-seger tapi gak pernah kasih gue bonus,” ujarnya sembari mencolek pipiku.

Aku mendorongnya pelan. Tidak suka saja berlama-lama dengan orang sejenis Andra, selalu ada maunya. Padahal dia juga tahu alasanku sampai terjatuh di sini. Alasan si gadis super sempurna, yang kini tak lebih dari penjajak tubuh bagi om-om hidung belang. Dia tahu, tapi tetap memanfaatkanku.

Aku juga tahu kalau dimanfaatkan, tapi bagaimana lagi? Aku tahu kok kalau Andra sengaja memberiku pekerjaan seperti ini. Aku bisa apa? Meskipun aku benci orang-orang yang kusebut sebagai keluarga, tapi aku masih tidak sampai hati untuk melihat mereka nyaris mati digebukin preman penagih hutang. Jadi, apakah anak yang tidak dianggap ini sangat baik hati? Entahlah, mungkin aku terlalu bodoh.

“Mas Bondan katanya mau sama lo malem ini,” kata Andra sembari memberiku obat. Tentu saja, dia tidak mau aku sampai hamil dan bisnisnya gagal. “Dia kasih lo bonus kok nanti. Semoga banyak ya.”

Murah banget sih hidup lo!

***

“Dasar wanita jalang! Keluar kamu dari rumah ini! Gak pantes kamu nginjakin kaki di rumah ini!” Tatapan mata wanita itu, aku tidak tahu kalau seorang Ibu bisa menatapku seperti itu. Aku tidak tahu kalau ... tatapan jijik itu keluar dari matanya.

“Asal lo sadar, lo tuh makan dari uang haram gue!” bentakku. Aku capek, aku lelah. Dengan gontai aku bangkit, yah, aku baru saja ditampar dan dipukuli sampai tersungkur di lantai.

Ini semua gara-gara Andra. Ah bukan, ini semua gara-gara keluarga busuk ini. Ah kurasa bukan, kurasa ini karena aku hidup. Kalau aku tidak pernah ada di dunia ini, bukankah itu lebih baik?

Aku tolol, masih bertahan hidup dengan semua ini. Aku hanya seonggok sampah yang berusaha bertahan menjadi emas berlian. Aku ini manusia hina yang lebih pantas disebut anjing daripada manusia. Seonggok sampah yang tidak mau percaya kalau dirinya memang sampah. Sejijik itu memang aku.

Tanpa menuju ke kamar untuk sekadar mengambil pakaian, aku berlari keluar. Meninggalkan semua yang ada di rumah ini. Hidup dengan keluarga gila seperti itu sama dengan menonton sinetron di TV, toh pada dasarnya manusia memang sekejam itu. Nyatanya, sinetron jauh lebih manis dari hidupku.

Aku bisa mendengar suara bisik-bisik tetangga yang melihatku dengan tatapan remeh. Mungkin dalam hati mereka tertawa melihatku yang sering disombongkan orang tuaku, ternyata tidak lebih dari pelacur. Jalang nakal yang suka bermain dengan om-om hidung belang.

Gue cuma jalang hina ya? Buat apa sih gue hidup?

***

Andra menyeretku masuk ke salah satu kamar club. Rontaan dan teriakanku hanya angin lalu bagi orang-orang yang lewat di sekitar kami, beberapa justru menertawaiku. Pakaianku pun sudah tak utuh, aku bahkan tidak sadar mengapa hanya tersisa pakaian dalamku saja yang melekat di tubuh.

“Dra, please, jangan.”

“Lo kenapa sih? Toh gue cuma jamah tubuh lo yang bekas dijamah om-om. Gue cuma nikmatin bekas jamahan orang lain. Jangan sok suci deh lo!” Andra mengencangkan tarikannya pada rambutku. Rasa sakit menjalar seluruh tubuhku.

Andra memaksaku masuk ke dalam kamar dan membanting tubuhku di lantai. Reflek aku bersimpuh di kaki Andra memohon belas kasih dari dia, tapi yang dilakukannya hanya menendangiku sembari memaksaku ke atas ranjang.

“Dasar jalang! Bajingan lo, sok jual mahal. Lo tuh lonte tahu gak sih,” cerca Andra sembari berusaha melepas sisa-sisa pakaianku. “Kita main lembut aja, Honey. Jadi lo nurut. Lo gak mau kan kalo gue siksa lo?”

Tangis isakan memohon yang keluar dari bibirku tidak menggoyahkan niat Andra.

Pakaian yang telah terkoyak sampai tidak ada sebenang pun menutup tubuhku. Suara tamparan dan desahan Andra. Aku tidak tahu lagi, mengapa aku terus terisak padahal air mata tidak mengalir lagi. Sangat hina ya?

Buat apa nangis sih? Toh gue emang jalang, pantes buat diginiin.

***

Kawan, tanpa sadar kamu sering bertindak sesuai dengan keinginan orang lain dan lingkunganmu, bukan sesuai dengan hati dan keinginan dirimu sendiri. Tetapi, jika hal ini kamu biarkan terus menerus maka kamu akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mempunyai prinsip dengan hidupmu sendiri. Mungkin ketika kamu berubah dan melangkah sesuai dengan apa yang kamu mau, orang lain dan lingkunganmu akan menjauh atau bahkan marah padamu. Tapi hal yang perlu kamu ingat adalah prinsip dan hidupmu lebih penting dibandingkan omongan dan kemarahan orang lain. Ini biasanya disebabkan karena krisis cinta pada dirimu. Krisis cinta pada diri sendiri bukan hanya disebabkan oleh faktor lingkungan atau orang lain, namun juga bisa dari dalam diri sendiri. Untuk memulai mencintai diri sendiri, coba hargai dirimu terlebih dahulu. Menjadi orang yang mudah introspeksi diri adalah hal yang baik, tapi bukan dengan cara menyalahkan diri sendiri. Ciptakan damai dalam dirimu, jauhi orang dan lingkungan yang dapat membuatmu jatuh dan terpuruk.

Sebuah artikel di majalah remaja membuatku terdiam, rasanya ada sesuatu yang terasa perih di hatiku. Krisis cinta pada diri sendiri ya? Aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan semua ini untuk apa. Semua piagam, buku-buku tebal, bahkan sampai menjadi pelacur. Aku baru sadar, tidak ada yang membuatku bahagia. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukan semua itu.

“Mbak, mau beli majalahnya?” tanya Mas penjual koran yang menawariku majalah. Usianya terlihat lebih tua dariku satu-dua tahun.

“Nggak, Mas. Saya gak ada uang. Makasih,” ujarku sembari berlalu pergi.

“Mbak lagi ada masalah ya?” cetusnya.

“Nggak kok,” jawabku singkat.

Sudah dua bulan sejak kejadian Andra menyetubuhiku. Rasa hancur diusir, dan perlakuan Andra. Aku depresi, aku tahu kalau aku pasti depresi berat. Hanya saja percuma, aku pergi ke pskiater pun ditolak, tidak ada uang. Mau bayar pakai apa? Tubuh? Orang-orang sepertiku hanya bisa menerima dan mengatasi sendiri depresinya.

Aku tidak berani kembali ke club itu. Andra pasti tidak akan melepaskanku, dia sudah mengancam yang aneh-aneh. Aku saja harus kabur diam-diam. Entah bagian kolong jembatan mana lagi yang harus aku tinggali. Menjijikkan, seorang Putri Kampus ternyata menjadi gelandangan di jalan.

Untuk memulai mencintai diri sendiri, coba hargai dirimu terlebih dahulu.

Mau menghargai diri dengan cara apa? Aku saja tidak memiliki apa-apa. Aku hanya ingin bebas, cuma mau itu. Ah, bukannya sekarang sudah bebas? Tidak terikat pada siapa pun? Bukan ini, aku bukan mau kebebasan seperti ini. Aku ingin bisa melupakan semua yang terjadi, tidak terikat siapa pun, tidak ketakutan dengan Andra, tidak bingung dengan apa yang harus kumakan, melupakan semua masa laluku. Yah, aku mau seperti itu.

“Ya mati aja, Dek,” ucap Bapak berpakaian lusuh di hadapanku dengan tiba-tiba. Lamunanku pun buyar karena dia.

“Hah?”

“Mukamu tuh kayak orang gak mau hidup, mati aja, Dek. Percuma juga hidup kalau gak mau hidup,” ucapnya lagi.

“Mati?” ulangku. Aku tidak pernah berpikir akan melakukan itu. Ah, maksudku manusia memang mati tapi aku tidak ingin melakukannya dengan tanganku sendiri. “Saya ini sedang mencari cara untuk mencintai diri sendiri, Pak. Bukan mau mati. Kayaknya saya kurang ngehargai diri sendiri,” jelasku.

“Memangnya mati itu bukan cara mencintai diri sendiri, Dek? Kalo kamu sayang sama hidupmu dan gak mau berlama-lama di dunia yang busuk ini, bukannya mati itu cara kamu ngehargai diri kamu, Dek? Itu mungkin menjadi kado terindah untuk kamu.”

Astaga, kenapa bapak-bapak ini serem? Aku malah disuruh mati. Jangan-jangan dia ini penyebar aliran sesat. Mending aku jauh-jauh saja, bisa saja dia sengaja menghipnotis dan membuatku bunuh diri. Lagi pula, manusia akhir-akhir ini memang menyeramkan, bukan?

Namun, aku tahu ucapannya tidak salah. Lagi pula, dengan kondisi seperti ini, mana bisa aku membahagiakan diri sendiri? Bagaimana bisa aku menghargai diri sendiri? Makan saja susah, apalagi membahagiakannya.

“Tapi saya gak berani bunuh diri, Pak,” ucapku yang bahkan aku tidak sadar bisa keluar begitu saja dari bibirku.

“Saya bisa bantu kamu, Dek. Banyak orang yang kayak kamu, kalian ini cuma butuh pelepasan dari dunia ini, Dek.”

“Saya mau, Pak.”

“Datang ke rumah di ujung sana nanti malam ya, Dek.” Bapak itu menunjuk sebuah rumah kosong yang bagian kaca rumahnya sudah pecah semua.

Aku hanya mengangguk menyetujui.

Jadi ini ya akhir dari hidup gue?

***

“Kamu cuma perlu minum ini, Dek,” pintanya sembari memberiku segelas yang berisi air berwarna bening. “Gak akan kerasa apa-apa kok, Dek. Cuma kayak minum air putih. Kamu juga bisa kasih nomer keluarga kamu yang mau kamu hubungi, Dek.”

Aku mengambil gelas itu dengan sedikit gentar. Tentu saja ini cukup menyeramkan, tapi aku yakin ini satu-satunya cara. Yah, hanya ini untuk membuatku bebas. Tidak terikat dengan dunia busuk ini.

“Saya gak mau hubungi siapa-siapa, Pak,” ucapku. Bibir gelas sudah menempel di mulutku. Bapak itu memberiku senyuman seolah pilihanku adalah pilihan tepat. Tidak ada seorang pun yang memberiku tatapan itu, bukankah ini artinya pilihanku benar? Aku bisa bahagia, kan?

“Kamu pasti bahagia, Dek,” katanya seolah mengetahui isi hatiku.

Aku meminumnya tanpa ketakutan sedikit pun, karena aku tahu ini tidak salah.

Ini bukan akhir dari hidup gue, tapi awal.

***

Aku membuka mataku yang terasa berat, di mana ini? Mengapa bau obat? Apakah aku belum mati dan ditemukan orang? Aku berusaha menggerakkan tubuhku tapi terasa berat. Belum lagi kepalaku sangat pusing.

Sayup-sayup aku mendengar suara pembicaraan. “Ayo cepat lakukan, nanti keburu efek biusnya habis. Akan lebih sulit kalau dia sadar.”

Hah? Bukankah ini suara Bapak yang memberiku minuman itu? Tunggu, situasi ini ... ada apa sih?

“Sialan, lo emang paling jago kalo disuruh cari korban. Kok bisa sih dapet ini cewek? Cantik pula tapi mukanya gembel, sih.”

“Dari mukanya aja keliatan kalo udah depresi. Ya gue bilang aja kalo mati itu gak salah. Pinter, kan?”

“Gila lo emang, eh sialan, dia bangun!”

“Lo sih lama, duh cepet ambil obat biusnya!”

Jadi sampai akhir pun, aku masih orang yang sial ya? Mau mati pun harus mengalami peristiwa yang menyedihkan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top