Tary
Mentari pagi merangkak naik menuju singgasana, menerangi hari baru yang akan penuh dengan hal baru. Kebisingan dan kepadatan jalanan ibu kota membuat cahaya mentari pagi terasa begitu panas, bahkan mengundang keringat mengucur deras.
Sialan. Andai gadis itu tidak menunda tugas rumah yang diberi oleh gurunya dua hari yang lalu, pasti ia tidak akan tidur larut malam untuk mengerjakan tugas. Andai ia langsung bangun ketika mendengar suara alarm, pasti ia tidak akan terlambat bangun. Andai ia memiliki kendaraan sendiri, pasti ia tidak akan terjebak macet di dalam angkutan umum yang panas dan pengap.
Sialan.
Tary hanya mampu mengumpat sambil mengipas lehernya dengan buku tulis. Hari sudah siang dan ia sudah sangat terlambat. Ditambah lagi jam pelajaran pertama hari ini adalah jam pelajaran yang paling ditakuti dan dihindarinya, IPS. Bukan, ia tidak takut pada segala kesulitan materi pembelajaran tersebut. Yang ia takutkan adalah Sang Pemberi Materi.
Ibu Rusni, begitu kerap guru killer paling killer di sekolahnya itu disapa. Jangan harap wanita tua bangka itu akan memberi kesempatan bagi mereka yang terlambat. Entah hukuman macam apa yang akan Tary dapatkan kali ini, ia tak sanggup membayangkan.
Akhirnya angkot yang ditumpanginya terbebas dari kemacetan dan melesat begitu cepat. Butuh sekitar dua puluh lima menit untuk Tary tiba di sekolahnya. Satu hal yang perlu disyukurinya, yaitu gerbang sekolah yang selalu terbuka, tidak pernah ditutup bahkan untuk mereka yang terlambat sekali pun.
Dengan kecepatan sonic, gadis itu berlari menuju kelasnya yang berada di lantai 3. Sekolah ini adalah sekolah terfavorit di kotanya. Sekolah bergengsi dengan gedung yang elite dan siswanya yang "Wah". Butuh perjuangan untuk gadis rakyat jelata sepertinya bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sini. Tapi ia cukup beruntung. Tak ada seorang pun yang melakukan penindasan atau meremehkannya karena status sosial. Mengapa? Karena gadis ini begitu jenius untuk diremehkan.
Ketika sampai di depan kelasnya, ia mengatur napas dan merapikan rambutnya yang agak berantakan. Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, mempersiapkan mental menghadapi ledakan emosi dari guru killer "kesayangannya" itu.
"Selamat pagi, Bu." Ia memberi senyuman termanis dan kalimat paling lembut saat wajahnya menyembul ke dalam kelas dari balik pintu.
"Saya pikir kamu sudah mati," balas Ibu Rusni yang tengah menulis beberapa kalimat di papan. "Kamu terlambat 37 menit. Hebat sekali. Rekor baru untuk kelas ini," sindir guru peot itu sembari melirik jam tangannya.
Tary masuk ke dalam kelas dengan cengiran tak bersalah, "Maaf, Bu. Saya terlambat."
"Siapa yang nyuruh kamu masuk?" Ibu Rusni menatap tajam ke arahnya. "Saya tidak bilang kamu boleh masuk 'kan?"
Tary terdiam di posisinya. Siswa yang lain hanya melirik prihatin, tak mampu berbuat apa-apa. Jantungnya berdegup kencang ketika tatapan tajam itu menatapnya semakin tajam. Oh, siapa pun tolong selamatkan gadis payah ini.
"Keluar sekarang. Saya tidak mau mendidik anak pemalas seperti kamu."
"Tapi, Bu, saya telat karena semalem ngerjain tugas yang Ibu kasi," ucap Tary dengan nada memelas.
"Ooo, tidak ada alasan. Ini yang kesekian kalinya kamu terlambat dan tidak ada ampun lagi. Sekarang keluar dari kelas saya dan jangan ikut pelajaran saya selama dua minggu!" Tegas Ibu Rusni dengan logat khasnya.
"Oh, iya. Kamu harus bantuin Om Da'i buat bersihin seluruh toilet sekolah selama dua minggu, setiap pulang sekolah. Itu hukuman buat kamu," sambung guru IPS tercinta.
Ya Tuhan, tolong beri Tary kekuatan untuk melewati ujian ini.
___o0o___
Sudah hampir seminggu Tary menjalani hukuman. Tentu kedua orang tuanya tidak tahu soal hal ini. Ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Ia cukup pandai menyembunyikan masalah di balik senyumnya. Tary cukup berterima kasih kepada teman-temannya yang begitu baik hati memberikannya beberapa catatan materi IPS, mengingat selama dua minggu ia tidak boleh mengikuti mata pelajaran tersebut.
Sekarang jam istirahat, pelajaran IPS adalah jam pelajaran selanjutnya dan itu artinya Tary harus meninggalkan kelas.
"Dimohon kepada siswi atas nama Sarwendah Tary Atthiya untuk segera menghadap ke ruang wakil kepala sekolah."
"Eh, nama kamu dipanggil tuh," ucap Adit, teman Tary.
Tary yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas seketika merasa takut. Mendengar namanya disebut dengan lantang melalui lodspeaker, berbagai macam asumsi berkeliaran di kepalanya. Ada perlu apa ia dipanggil wakil kepala sekolah?
"Tary, kamu.nggak bikin masalah, 'kan?" Tanya Lyn.
Tary menggeleng, "Nggak kok! Emang aku ngapain?!"
"Yaudah, mending gih sono pergi. Nanti kabarin kita, ya!" Timpal Ahmad.
Tary pun mengiyakan dan segera menuju ke ruang wakil kepala sekolah.
___o0o___
"Ibu manggil saya?" Tanya Tary kepada Ibu Nur.
Ibu Nur pun mengangguk, "Iya."
Ibu Nur, demikian guru IPS sekaligus wakil kepala sekolah urusan kurikulum tersebut dikenal. Wanita itu sudah cukup tua, wajahnya berhias keriput dan lipatan, namun entah mengapa bisa tersenyum begitu manisnya. Ibu Nur memang dikenal lembut dan baik hati.
Tidak seperti seseorang :v
Tary berucap dengan sopan, "Ada apa Ibu memanggil saya?"
"Saya dapet sebuah file dari temen saya sesama guru dari luar kota," tutur Ibu Nur.
"File itu isinya daftar nama peserta Olimpiade Sains Provinsi mata pelajaran IPS yang lolos ke tingkat nasional, dan ada nama kamu di sana." Ibu Nur terlihat begitu bahagia saat menyampaikan hal ini. Berbeda dengan Tary yang mematung seperti habis di siram adonan semen.
Tary cukup kaget. Ia memang mengikuti penyisihan OSN bidang studi IPS tingkat provinsi sebulan yang lalu dan ia tidak pernah menyangka bahwa akan lolos ke tingkat nasional.
Senang? Tidak! Ia tidak senang tapi sangat bahagia! Ia bisa lolos dan ini adalah kesempatan langka! Oh, Tuhan terima kasih! Tary berharap semoga ini bukanlah mimpi.
"Selamat, ya. Ibu bangga sama kamu." Ibu Nur berdiri dan memberikan sebuah pelukan beserta tepukan ringan di punggung Tary.
___o0o___
Setiba di rumah, Tary pun segera memberitahu kedua orang tuanya. Terlihat jelas raut bahagia terpancar dari wajah ayah dan ibunya. Bahkan ibunya sampai meneteskan air mata. Bangga? Tentu saja! Memang orang tua mana yang tidak akan bangga terhadap prestasi yang diraih anaknya?
Namun, di tengah kebahagiaan itu, terdapat sebuah permasalahan yang cukup berat bagi Tary dan keluarganya. Masalah yang berat hingga membuat Tary stress dan kedua orang tuanya bingung.
Biaya.
Olimpiade tingkat nasional akan diadakan tiga minggu lagi di luar kota. Jaraknya sangat jauh, perlu beberapa kali transit jika naik pesawat. Pemerintah provinsi tidak memberi hadiah atau bantuan sedikit pun atas kemenangan Tary karena tidak tersedianya anggaran. Pihak sekolah pun hanya memberi bantuan berupa uang saku yang tidak seberapa karena sempat terjadi penyelewengan dana oleh bendahara sekolah. Itulah hal yang membuat Tary terancam gagal mengikuti OSN.
Semangat belajar Tary pun redup. Ia membawa nama provinsi dan sekolahnya. Tapi, mengapa harus ia dan keluarganya yang menanggung beban berat ini? Ayah Tary hanya pedagang bakso keliling dan ibunya hanya berjualan sayur di pasar. Makan sehari-hari saja kadang masih susah, hutang yang sangat besar, begitu banyak di berbagai tempat peminjaman uang.
"Tary, kamu nggak belajar?" Tegur ibu ketika melihat Tary hanya duduk melamun di depan meja belajarnya.
Tary tidak menjawab dan hanya tersenyum, "Nggak, ah, Bu. Tary capek."
Kedua alis ibunya pun bertaut, "Lho, kamu kok gitu, sih? 'Kan kamu mau lomba minggu depan."
"Ya gitu. Percuma Tary belajar. Tary juga nggak bakal ke sana, 'kan?" Ucap Tary sedih.
Ibunya pun menghampiri, mengelus lembut kepala Tary. "Kata siapa kamu nggak bakal ke sana? Kamu ke sana, kok minggu depan."
"Gimana bisa ke sana, orang kita nggak punya uang. Emang ke sana pake sayap apa," gerutu Tary sambil mengerucutkan bibirnya.
"Bisa kok. Bener. Ibu udah punya uang yang cukup buat bekal kamu ke sana. Kamu tenang aja dan belajar yang bener." Tary menatap mata ibunya dengan intens dan mendapati kesungguhan dan kehangatan kasih.
"Bener, Bu? Ibu dapet uang dari mana?" Tanya Tary.
Sang Bunda hanya diam dan memeluk putrinya sembari tersenyum, "Kamu nggak usah mikirin itu. Itu urusan ibu sama ayah. Kamu tenang aja, ya?"
Tary melepas pelukan ibunya, "Jangan bilang ibu ngutang lagi di rentenir."
"Kalo nggak gitu ya gimana lagi? Ini kesempatan langka buat kamu, Tary," balas ibunya sendu. Memang, hutang keluarganya sudah menggunung dan siap menguburnya kapan saja. Tetapi, ia dan suaminya tak menemukan jalan lain lagi. Apa pun akan dilakukan demi keberhasilan putrinya.
"Hutangnya udah banyak, Bu. Kita mau bayar pake apa nanti?" Jujur, Tary sudah cukup sedih melihat ayah dan ibunya memohon tempo kepada setiap rentenir yang datang menagih hutang.
"Udah, Tary. Jangan mikirin itu. Yang penting sekarang kamu bisa ke sana dan semoga kamu bisa menang."
___o0o___
Hari yang ditentukan telah tiba. Tary bersama beberapa siswa dari sekolah lain tengah berkumpul di bandara, hendak pergi mengikuti olimpiade sains tingkat nasional. Terlihat kedua orang tua Tary ikut mengantarkan putri kesayangan mereka.
Keberangkatan pun tinggal beberapa saat dan Tary beserta rombongan harus memasuki boarding lounge bandara. Sebelum pergi, Tary berpelukan dengan kedua orang tuanya. Ibu Tary sempat meneteskan air mata dan Tary pun demikian. Untuk pertama kalinya Tary pergi jauh dari kedua orang tuanya.
"Semoga kamu berhasil, Nak!" Seru Ayah Tary memberi Semangat.
___o0o___
Olimpiade Sains Tingkat Nasional diadakan selama satu minggu. Berbagai rangkaian kegiatan telah ditetapkan demi mengisi waktu. Mulai dari acara pembukaan, tes yang diadakan selama dua hari, wisata edukasi hingga pagelaran budaya dan acara penutupan. Para pesertanya pun menempati beberapa hotel berbintang.
Di sana Tary bertemu banyak teman baru dari berbagai daerah. Bersatu dalam berbagai perbedaan yang ada, saling mengenal dan saling berbagi. Banyak hal baru yang didapatkan gadis berusia 16 tahun itu selama di sana. Tes yang ia dan peserta lainnya lakukan pun berjalan lancar dan Tary melakukannya dengan sangat baik. Ia yakin, ia bisa membawa pulang sebuah mendali kemenangan yang akan ia persembahkan kepada kedua orang tuanya.
Hingga hari pengumuman pemenang yang bersamaan dengan hari penutupan olimpiade pun tiba. Tary sudah panas-dingin ingin segera mengetahui pemenangnya, dan ia berharap ia adalah salah satunya. Acara pun dimulai. Pengumuman tersebut menyebutkan pemenang dari beberapa kategori dan cabang ilmu pengetahuan serta dari jenjang SD, SMP, dan SMA.
Pengumuman pertama diperuntukkan bagi pemenang yang akan membawa pulang mendali perunggu. Dari sekian banyak nama, nama Tary tidak disebutkan. Kemudian pengumuman pemenang mendali perak, Tary sangat berharap namanya disebut namun harapannya pupus. Yang terakhir adalah pengumuman peraih mendali emas. Tary tidak berharap banyak namanya akan disebut mengingat banyak peserta hebat yang memiliki peluang jauh lebih besar untuk menerima mendali emas.
Namun siapa sangka, nama Tary disebutkan di urutan terakhir dari total lima orang peraih mendali emas. Terkejut, tentu saja Tary sangat terkejut dan mengucap syukur serta terima kasih.
Perjuangannya sejak awal akhirnya membuahkan hasil yang memuaskan. Ia membawa pulang sebuah mendali emas beserta dnegan hadiah lain berupa bingkisan, sertifikat, dan tak ketinggalan hadiah materi berupa uang yang cukup banyak. Jika dipikir, jumlah uang tersebut mampu melunasi hutang keluarganya.
___o0o___
Kepulangan Tary disambut oleh Ibu Nur, kedua orang tuanya dan tidak diduga, Ibu Rusni pun juga ada di sana. Ibu Nur dan ibunya memberi sebuah pelukan disertai ucapan terima kasih karena telah kembali dengan selamat dan berhasil membanggakan mereka.
Ibu Rusni pun ikut memeluk Tary. Menepuk lembut punggungnya sambil berkata, "Terima kasih banyak. Ibu bangga sama kamu."
Setiba di rumah, Tary langsung menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang hadiahnya. Tary meminta ibunya untuk melunasi semua hutang dengan uang tersebut. Tetapi ibunya menolak dan bersikeras menyuruh Tary untuk menyimpannya untuk kuliah nanti karena ibunya tidak yakin bisa menyekolahkan Tary ke jenjang yang lebih tinggi.
Berita kemenangan Tary dalam olimpiade tersebut beredar luas. Banyak orang yang memberinya ucapan selamat dan tidak lupa teman-teman sekelasnya menagih traktiran.
Suatu hari, ia dipanggil oleh Ibu Nur dan memberikannya sebuah amplop. Penasaran, Tary pun membuka amplop tersebut dan ternyata di dalamnya terdapat sepucuk surat yang berisi tawaran beasiswa sebuah universitas. Tertera pula bahwa ia bebas memilih jurusan dan tidak dipungut biaya sampai lulus.
Oh, Tuhan. Terima kasih banyak, Tuhan.
Dengan gembira ia pun memberitahu ibunya begitu ia tiba di rumah. Ibu pun sangat senang mendengarnya. Ia memeluk putri kesayangannya itu dan merapatkan ucapan syukur.
"Ibu, kan aku udah terjamin kuliahnya, mending uang hasil menang olimpiade kemarin dipake buat ngelunasin hutang. Yah, anggap aja itu balasan, penghargaan buat ibu dan ayah karena udah mendidik aku sampe pinter gini," tutur Tary yang membuat ibunya kembali meneteskan air mata.
Bangga.
Hanya itu yang dirasakan ibunya saat ini.
---The End---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top