Janarida

Sepertinya, hidupku akhir-akhir ini tak beda jauh dengan orang mati. Mengurung diri di kamar, dengan mata memasung berjam-jam pada layar ponsel. Saat bosan, beralih pada laptop yang tidak kuizinkan mati beberapa malam terakhir, menonton beberapa episode anime sebelum akhirnya jatuh tertidur. Membiarkan tokoh-tokoh animasi bercengkrama sendiri, menyaksikan seonggok makhluk tak berguna tengah terlelap.

Lebih produktif untuk mengisi kehidupan membosankan? Omong kosong. Sejak kapan ‘kegiatan produktif’ bisa disandingkan dengan bergulung-gulung di atas tempat tidur dengan semangat hidup nyaris nol?

Saking tidak bergunanya keberadaanku sekarang, Ayah, yang biasanya akan marah dengan kalimat andalannya, “Kamu nggak lihat Ayah dari pagi kerja, disuruh cariin baju Rika aja nggak mau?” atau, “Kok tega kamu lihat Ayah kerja dari pagi nggak berhenti, cuma nyapu rumah aja luput?” yang intinya tentang bekerja dari pagi tanpa berhenti diikuti deretan kesalahanku hari itu, mendadak bisu. Daripada marah, Ayah lebih menganggap seolah aku tidak ada dan mengerjakan semuanya seorang diri.

Bukankah kehadiran seekor kucing hitam yang mencuri lauk milik tetangga lebih terlihat manusiawi? Paling tidak, dia masih memiliki semangat untuk mencarikan makan anak-anaknya, walaupun harus dihadiahi omelan-omelan para tetangga yang lauknya mendadak hilang setengah.

Di sisi lain, apa bagusnya seorang Rida? Hanya membantu menghabiskan oksigen. Tidak lebih.

Satu dosa yang sepertinya tidak pernah absen kulakukan. Pikiran picik yang timbul tiap kali kata penghargaan muncul dan menodai sepasang bola mataku. Penghargaan, pasti sangat cocok disandingkan dengan sosok Ibu yang beberapa tahun belakangan tidak lagi turut meramaikan kehidupanku. Dan sekali lagi, menumbalkan wanita paling sabar yang pernah mati-matian menjagaku sampai sebesar sekarang—tumbuh menjadi gadis apatis dan terkesan risi tiap kali dengannya.

Orang-orang di sekitarku pasti sudah biasa mendengar racauan tentang penyesalan karena belum sempat membahagiakan wanita yang menggendongku lebih dari sembilan bulan dalam kandungan. Mereka juga pasti hafal betul dengan sosok Rida yang mendadak tersedu saat tengah mengobrol hanya karena melihat anak-anak seumuran yang masih menggandeng ibu mereka.

Lantas, saat sudah sendiri seperti ini, aku hanya bisa mendengus. Untuk apa? Menarik simpati?

Bukankah kamu sudah kelewatan, Rida?

Aku hanya bisa meringis, menertawakan kedramaanku sendiri.

Sudah siang, rupanya. Dengan malas, aku beranjak dari kamar, menenteng sebuah handuk yang entah kapan terakhir kali dicuci, dan segera membersihkan diri. Baru ingat, hari ini harus pergi menemani teman lama yang katanya ingin mencari bahan bacaan baru.

Padahal sudah kusarankan untuk membeli novel online saja. Lebih murah dan tidak perlu pergi jauh-jauh. Tapi dianya yang bebal, aku harus menyisihkan waktu tanpa manfaatku untuk mengitari toko buku. “Aku mau sekalian baca-baca di sana. Siapa tahu nemu novel bagus lainnya,” alasannya. Yah, bukannya tidak suka. Hanya saja, aku tidak punya uang, artinya, cukup kenyangkan diri dengan melihat berjejer buku tanpa bisa membawa pulang satu pun.

Sebenarnya, jika bisa memilih, aku lebih suka mengurung diri di kamar. Mengulangi kegiatan mayat hidupku beberapa hari ini sampai paling tidak, mendapatkan semangat kembali. Namun, kepalang berjanji, tidak bisa dibatalkan begitu saja, bukan?

“Mau kamu apa?” cecar Amal langsung, begitu perempuan berbalut pakaian syar’i serba merah muda itu mendudukkan diri di sofa rumahku.

Aku mendesah. Memang, dibanding teman-temanku yang lain—yang bisa dihitung satu tangan jumlahnya—perempuan satu ini yang langsung tanggap saat menyadari kejanggalan dari sifatku. Dan fase hidup malas-tanpa-semangat-enggan-mati-ku ini bukan cuma sekali terjadi dalam kurun hidup kepala duaku sekarang. Kemungkinan, Amal pun sudah muak melihat Rida dalam kondisi paling menyebalkan yang pernah ditemui. Aku bahkan heran, bagaimana perempuan ini sadar saat aku sedang dalam kondisi paling tidak jelas di kehidupanku?

“Apa?” Selalu begini. Berlagak apatis tiap kali Amal sudah mendelik jengkel.

Erangan tertahan Amal membuatku meringis kecil. Iya-iya. Aku tahu aku menyebalkan. Tapi, tidak perlu seterang-terangan itu juga, ‘kan? Maksudku, kalau memang sudah mengenalku sejak lama, pasti tahu kebiasaanku ini, dan dalam hitungan hari, akan kembali menjadi diriku.

“Kamu nggak capek apa?” Amal menegakkan duduknya, menancapkan tatapan tajam ke sepasang mataku dalam-dalam. “Makan, tidur, hp, berak, anime, tidur. Gitu saja terus. Sesekali keluar, Rid, sosialisasi.”

Mendengar kosa kata berak meluncur dari mulut seorang Amal seharusnya berhasil menggelitik perutku dan berujung tawa nyaring yang pasti terdengar memuakan. Tapi, mengingat situasi, juga posisiku yang dipojokkan sekarang, tertawa jelas menjadi pilihan paling tolol yang harus kuingat.

Yang terealisasi sekarang, hanya kekehan pahit, lantas menyandarkan bahu pada sofa. “Lucu ya, Mal. Padahal, pas sekolah dulu, sekuper-kupernya aku, nggak pernah separah ini. Apanya yang aktif organisasi? Bagian mananya yang gaet kating ganteng? IPK cumlaude. Hah, boro-boro. Niat keluar kamar buat ngampus saja hampir nggak ada.”

Amal masih diam, mengamatiku lamat-lamat. Mau tidak mau, aku kembali membuka suara. Kembali berkocol dengan kebisuan hanya membuat perasaanku semakin tidak karuan.

“Kayak, apa pun yang aku lakuin nggak pernah bener. Paling nggak, di depan anak-anak yang udah mati-matian aku coba buat nggak bikin terbebani, risi, sakit hati, apalah. Apa, ya? Aku cuma mau bisa damai di tengah mereka dan entah kenapa, aku malah nangkap mereka seolah terganggu sama munculnya aku di sana. Aku selalu ngerasa, tiap kali mereka ketawa, pasti ngetawain aku. Nah, udah pasti kan kalau mereka nggak nyaman sama adanya aku di tengah-tengah mereka? Dan aku juga nggak ingat kapan pastinya, mulai kayak orang gila yang berhari-hari ngurung diri di kamar. Gak tahulah.”

Bisa kutebak, Amal tidak akan jauh beda dengan orang-orang yang sebelumnya selalu aku jadikan tong sampah. Selalu berceramah dengan kalimat, “Kamu kurang bersyukur. Kalau kamu lihat di luaran sana, masih banyak yang jauh lebih nggak beruntung bisa dapet kuliah negeri kayak kamu. Yang ngidam duduk di bangku yang kamu dudukin sekarang, lebih banyak dari perkiraan kamu.”

Demi Tuhan, aku tahu! Aku sadar betul kalau aku jauh-jauh-jauh lebih beruntung dibanding teman-temanku yang lain. Bisa kuliah di tahun yang sama dengan kelulusan. Orang tua yang tidak banyak menuntut, bahkan sepenuhnya memercayakan pilihan di tanganku. Hidup berkecukupan, walaupun tidak bisa dibilang tajir melintir.

Tapi, aku bisa apa? Sejak menjejakkan kaki di halaman kampus, seperti ada dedemit yang menempeliku setiap waktu. Lambat-laun, aku benar-benar kehabisan semangat hidup. Hanya, meratapi sesuatu yang bahkan tidak tampak wujudnya.

Seperti saat melihat orang-orang yang lebih berhasil dariku. Sering mengumpati mereka dan mengklaim diri sendiri lebih segala-galanya. Pih, memangnya aku sudah apa? Menggulung diri di atas kasur bisa membuatmu sukses? Jika iya, tidak akan ada workaholic di dunia ini yang rela tidur di kantor untuk lembaran uang demi menghidupi keluarga.

Dasar. Sekali picik, tetaplah picik!

Atau, “Alay, Rid. Gitu doang. Hidup itu dibawa santai, jangan semua gerak-gerik orang dianggap seolah gara-gara kamu.”

Mudah, teorinya. Realisasinya? Aku hampir mati di sini!

“Simpel, Rida.” Badan Amal sudah sepenuhnya menghadap ke arahku. Kedua kakinya bersila di sofa, dengan kedua tangan menangkup di tengah lipatan kaki. “Kamu terlalu mikirin orang lain, sampai lupa diri sendiri. Dan mungkin, karena atensi kamu ke mereka dianggap angin lalu, kamu jadi males buat musingin mereka lagi. Tambah parah dengan mengklaim diri kamu sebagai pengganggu, serangga di tengah lingkaran kampus kamu. Jatuhnya, kamu nggak peduli sama apa pun lagi. Bahkan, diri kamu sendiri.”

“Paling nggak, aku nggak seapatis dulu lagi yang sebegitu nggak pedulinya sama orang. Mentingin dir—”

“Bukan. Bukan kayak gitu yang aku maksud.” Amal masih mempertahankan senyum pengertian yang sejak awal aku mulai bercerita sudah ditunjukkan. “I mean, you need to love yourself.

Aku sepenuhnya diam, tidak mengerti di mana letak korelasi permasalahanku dengan jawaban yang baru saja dijabarkan Amal.

“Aku pernah baca sebuah quote, duh, sayangnya lupa dari siapa. Intinya gini,” perempuan itu menarik napas panjang, sembari pandangan menerawang ke atas, sedikit mengingat-ingat, “Respect yourself, enough to say, ‘I deserve peace,’ and walk away from people or things that prevent you from attaining it.”

Jujur saja. Aku bahkan lupa bagaimana bisa berteman dengan seorang sepositif Amal ini. Dan kenapa sifatnya yang satu ini, tidak pernah memercik sedikit pun padaku?

“Karena tertekan sama usaha buat menunjukkan diri kalau mampu di antara teman-teman kamu, tanpa sadar, kamu malah menempatkan nilai kamu di bawah mereka. Introspeksi memang perlu, tapi bukan berarti kamu harus menyalahkan diri sendiri. Yang perlu kamu lakuin sekarang, cintai diri kamu sendiri. Be yourself, Rida.

“Semua selalu dimulai dari diri sendiri. Kalau kamu nggak bisa mencintai diri sendiri, gimana bisa kamu minta lingkungan kanan-kiri buat cinta sama kamu? Kalau udah, kamu perlu menghindari sesuatu yang membuat kamu jauh dari kedaimaian yang kamu mau tadi. Dan di sini, adalah pikiran negatif kamu sendiri.

“Ngurung diri nggak akan bikin kamu tahu, seberapa pentingnya kamu di tengah lingkungan kamu. Stop thingking about everything too much. Nggak sehat. Yang ada, malah bikin kamu jadi gila sendiri.”

Entahlah. Mungkin Amal benar. Mungkin teman-temanku yang lain juga benar. Aku saja yang terlalu berlebihan.

“Kan? Dari wajah kamu, aku bisa yakin kamu lagi mati-matian nyalahin diri sendiri.” Amal menggenggam tanganku. “Semua nggak ada yang instan. Coba perlahan-lahan. Dimulai dari kamu berharga. Kamu berhak bahagia. Dan kamu lebih dari pantas untuk mendapatkannya.”

Netra cokelat gelap yang tertutup kelopak sipit itu seperti menyalurkan keyakinan yang selama ini kubuang jauh-jauh. Tanpa sadar, aku menarik napas panjang, mengangkat sudut bibir sedikit.

Aku berhak bahagia.

“Terkadang, karena terlalu fokus dengan orang lain, kita sampai lupa diri sendiri yang sebetulnya, paling butuh dukungan. Jangan lupa itu, Rida.”

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top