I Love You

Tembok yang dipanjat dan sekumpulan laki-laki muncul di baliknya tidak membuatku kaget. Itu adalah kebiasaan tidak baik dari laki-laki RT 02 yang mau main bola dan malas untuk memutar ke arah gerbang yang lumayan jauh dari RT mereka. Justru memilih untuk memanjat tembok.

Keningku berkerut, sementara salah satu laki-laki menatapku tajam. Kurasa dia sedang mengancamku lewat tatapannya. "Apa lihat-lihat?" tanyanya.

"Kan punya mata," balasku lugu, kemudian melihat kembali ke lapangan yang kosong. Bisa kudengar jawaban menjengkelkannya, tapi enggan kubalas, karena saat itu pula sudut mata ku menangkap bayangan laki-laki lain yang turun dari tembok. Lantas ... aku menahan napas ketika itu Kak Vero.

Mereka menjauh dari tembok dan mendekati lapangan sembari berbincang. Sementara, aku sibuk dengan es krim di tanganku seraya memohon agar temanku cepat ke sini dengan air minum dan snack. Ini terlalu canggung, meski kita tidak sedang berdua, batinku menjerit.

Tapi, permohonanku tidak langsung dikabulkan. Karena, di ronde kedua, temanku tidak kunjung memperlihatkan ujung kerudungnya(batang hidungnya). Dan aku tidak lagi merasa terganggu dengan kehadiran Kak Vero. Justru menikmati, karena ini adalah saat-saat bisa memperhatikannya dari jarak dekat. Dan menurut pengalamanku, di saat-saat seperti inilah kekacauan datang  Dan ... benar saja, ia datang.

Gedebum kencang terdengar diiringi ringisan. Bola meluncur indah ke tanah berpasir  sementara aku mengusap kepala yang meninggalkan noda di kerudung. Kak Vero mendekat, mengambil bola, dan mengucapkan, "Sorry nggak sengaja." Dengan seenak jidat.

Seharusnya, jantungku berdebar-debar. Namun apalah daya, kesal membelenggu dan aku tidak ingin salah tingkah dengan noda di kerudung dan tangan orang yang kusukai memegang bola. Itu sama sekali tidak epik: Jantungku berdebar pada orang yang menendang bola ke kepalaku.

Aku melemparkan tatapan tidak suka. "Ya, tapi lain kali hati-hati."

"Ya."

Dia berbalik, tapi temannya yang kuketahui bernama Zaky mendelik ke arahku dan melemparkan kalimat yang semakin membuatku bertambah kesal. "Lagian ngapain di situ?" tanyanya--kurasakan gejolak untuk melempar bola di tangan Kak Vero ke arahnya. "Kan kita lagi main bola,"lanjutnya, dengan nada sarkastik.

"Kan aku mau lihat. Lagipula, siapa yang tahu kalau bolanya kena aku. Biasanya juga nggak begitu."

"Nah, itu tahu." Zaky melempar tatapan meremehkan. "Vero juga nggak sengaja kena kamu."

"Aku juga tahu kali. Kan tadi aku bilang buat lebih hati-hati," sahutku tajam, yang berhasil men-skak-nya. Aku tersenyum senang menanggapi.

Zaky berdecak. Sejurus kemudian menyuruh Kak Vero untuk melempar bola dan permainan kembali dimulai. Sayup-sayup, aku bisa mendengar pembicaraan singkat mereka.

"SMA mau ke mana, Ver?"

Tubuhku menegang, seolah ada petir yang baru menyambarnya. Dengan setengah tidak percaya, kuangkat wajah, mengabaikan es krim yang tersisa setengah sembari menajamkan pendengaran.

"Entahlah, belum tahu," balas Kak Vero. Dan itu membuatku bertambah gelisah.

Mengapa aku baru sadar? Padahal UN sudah lewat dan ... sisa berapa Minggu lagi sebelum dia lulus? Astaga, apakah otakku mulai lemot seiring bertambahnya usia?

Aku berharap pembicaraan mereka lebih panjang. Namun, Zaky hanya mengangguk singkat. Lantas memberi arahan untuk melanjutkan permainan.

Sial!

__

Aku pulang ke rumah dengan segudang kekhawatiran. Benda persegi panjang dan agak tipis itu adalah apa yang kubutuhkan untuk menenangkan diri.

Kusambar ponsel dan ... Oh! Ada pesan dari Nandhini. Dan tanpa pikir panjang, aku membuka dua pesan darinya: satu chat dan satu foto.

Di sana, dia bilang kalau menemukan Instagram tentang ... eenngg ... oke, yang jelas sesuatu yang alim. Namun, itu aneh, karena tidak biasanya perempuan itu mengirim sesuatu yang seperti ini.

Sambil berkerut, aku mengetik balasannya, sekaligus mencurahkan kejadian di lapangan dan mengenai temanku tadi yang ternyata disuruh ibunya ke Al*ama**, mengakibatkan aku sendirian di antara laki-laki bermain bola.

Status Whats*** yang online membuat pesanku terbaca langsung selepas terkirim. Tidak lama kemudian, balasan kembali datang. Namun, bukan kalimat jalan keluar yang kudapat. Melainkan suruhan untuk melihat Instagram yang tadi dia beritahu.

Aku memutar bola mata, kesal. Namun tetap mencari apa yang dimaksudnya. Dan ... tubuhku seperti tersambar. Tersambar apa aku tidak tahu, yang jelas tersambar dan menegang setelahnya.

Aku merasa mata hatiku terbuka lebar. Namun memberi keraguan teramat besar.

__

Setelah melihat kalender, aku tahu tanggal berapa sekarang: 19. Untuk tanggal kelulusan, aku tidak tahu karena aku bukan murid kelas 9. Selain itu, aku juga tidak memiliki kakak kelas yang dekat denganku. Jadi, aku ragu punya peluang untuk mendapatkan Kak Vero.

Sekarang ini, aku sedang berjalan ke kelas dengan kecepatan tidak jauh dari siput. Bahkan sampai di depan pintu sekali pun, aku tetap melakukannya, tidak peduli teman sekelas yang bertanya mengenai perilaku anehku.

Aku duduk. Namun, baru saja bokong ini menyentuh kayu, panggilan datang bersamaan dengan bel yang berbunyi. Aku beranjak dengan cepat. Lantas menemukan gadis remaja jangkung berkerudung. Dia tersenyum kepadaku sambil berkata, "Hai." Sementara aku membalasnya dengan masam.

"Kamu buat aku ragu," ujarku, mencuri start tanpa mau tahu tujuannya memanggilku untuk apa. "Aku tahu maksud kamu kirim Inst**ram tanpa pacaran itu untuk mempokuskanku kepada tujuan awalku: tidak pacaran lagi. Namun di sisi lain, kamu membuatku ragu. Ragu apakah harus bilang padanya bahwa aku suka atau enggak, juga ragu apa artinya cinta jika tidak diutarakan."

Nandhini tampak bingung, tapi itu tidak menyurutkan ku untuk tidak menatapnya tajam. Biarlah, dia sahabatku dan dia tahu betul bagaimana diriku bila sedang kalang kabut.

"Aku sedikit mengerti intinya." Dia melirik sekitar sejenak, mengawasi jika ada guru yang lewat dan mendengar pembicaraan. "Kamu menyalahkanku karena memberitahumu Ins***ram itu. Dan jujur saja aku tidak peduli dengan kemarahanmu yang tidak jelas."

Mataku molotot dan rasanya semakin kesal saja ketika mendengar jawabannya yang seenak jidat. Seolah-olah memberitahu jika dia tidak mengenalku saja. "Tidak jelas?" Aku bertanya dengan suara berat nan sinis. "Menurutmu kurang jelas jika aku bingung harus bilang ke Kak Ver suka atau enggak?"

"Itu seterah kamu. Tapi aku udah kasih tau lewat foto yang kukirim," ujarnya. Tatapannya terlihat biasa saja dan itu membuatku bertambah kesal. Mengapa dia tidak mengerti, sih kalau aku sedang marah?! "Aku cuman mau yang terbaik buat kamu."

Lanjutnya, yang justru membuat mulutku menganga lebar. "Apa maksudmu? Ini terbaik buat aku!" kataku bersikeras. Kali ini memelotot dan aku bisa mendengar suara guru yang menyuruh agar masuk kelas masing-masing. "Kamu nggak tahu apa-apa tentangku."

__

Aspal berdebu dan kendaraan yang berlalu lalang selagi murid-murid sekolahku berjalan menuju tempat tinggalnya serasa angin lalu. Aku terlalu sibuk memacukan kaki sekuat tenaga untuk mengejarnya, tetapi tetap berusaha agar tetap biasa saja.

Dia berjalan pulang bersama dengan temannya bersama aku yang di belakangnya. Hanya butuh sampai di jalan menuju masjid dan aku bisa mendapat waktu berdua dengan Kak Vero, sekaligus untuk mengutarakan isi hati terpendamku.

Memikirkannya, aku refleks tersenyum ketika memikirkan saat-saat berpacaran dengannya. Lagipula, siapa yang tahu dia juga memendam rasa yang  sama denganku. Tapi kurasa, aku harus berpikir pada penyesuaian langkah. Karena dia berjarak tiga meter denganku sekarang.

Oh astaga, menggapa dia begitu cepat?

Aku langsung mempercepat jalanku. Tapi ... tali sepatu justru lepas. Dan tentu saja, aku kembali kesal mengetahui betapa  susahnya menyejajarkan langkah Kak Vero dan jarak yang semakin lebar. Namun, cinta perlu usaha, karena itu aku tidak akan menyerahkan padanya.

Di sisi lain, sifat pemalu ku muncul bagai PHO, mencoba menyuruhku untuk berbalik dan memikirkan untuk kesekian kali untuk bilang, "Aku mencintai kakak." Tapi untungnya, aku berhasil  menahannya dan memanggil Kak Vero tepat ketika dia sedikit lagi akan berbelok.

Dia berhenti, menoleh, dan aku merasa ingin hilang detik itu juga. Ini pertama kalinya aku memanggil namanya langsung kepadanya. Dan aku merasa tubuhku tegang saat itu juga.

Dia berbalik sepenuhnya. "Apa?"

Aku berjalan ke arahnya sembari mencoba menstabilkan detak jantung yang menggelora dan menggetarkan jiwa.

"Aku ... suka sama kakak."

"Suka?"

Jemariku memainkan kain rok sementara tatapannya menusukku dan memanaskan wajah ini. Jantungku serasa menggebu dan aku merasa harus berteriak dan meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Tapi itu tidak mungkin, karena ini saat-saat terakhirku untuk mengatakannya. Bisa jadi suatu saat nanti tidak akan ada kesempatan macam ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya.

"Iya. Aku mencintai Kak ..."--napasku terangkat--"... Vero."

Wajahku memerah, tertunduk, sementara pendengaranku menangkap adanya pergerakan di belakang sana. Pasti ada orang lain yang memasuki gang ini.

"Maaf." Aneh. Rasanya aku tahu apa yang akan dikatakannya. "Aku nggak menyukaimu."

Mati. Aku mati.

"Eengg ... oke." Aku memaksakan wajah untuk tersenyum, menatapnya dengan mata memanas yang berusaha kutahan. "Nggak apa." Aku tidak baik-baik saja.

"Kalau begitu, duluan ya kak. Selamat atas kelulusannya."

"Belum lulus."

Anggap aja lulus gitu! Biar aku bisa pergi dari sini, batinku lagi-lagi menjerit.

"Iya." Aku mengangguk kikuk. "Duluan ya." Aku tidak menunggu jawabannya, melainkan langsung berbalik dan berjalan secepat mungkin untuk menghalau air mata yang sebentar lagi akan menetes.

Sesak menggumpal di dada dan kurasakan oksigen yang entah ke mana hilangnya. Napasku  tercekat seiring dada yang naik turun tidak beraturan. Ini menyakitkan. Bahkan rasanya sia-sia sudah kugigit bibir ini sampai sakit--entah berdarah atau tidak, aku tidak peduli--karena pada akhirnya air mata ini tetap jatuh dan ... isakan kecil keluar dari bibir yang masih berusaha kutahan.

Dan sia-sia sudah aku menyimpan perasaan selama lima tahun. Sia-sia sudah mengutarakan perasaan, sementara aku perempuan.

Bukan kodrat perempuan untuk mengutarakan perasaan. Tapi mengapa masih kulakukan? Apakah cintaku hanya berdasarkan napsu? Dan mengapa aku tidak mendengarkan Nandhini yang mencoba menyadarkan pacaran itu dosa, tapi masih saja kucoba.

Aku menggeleng. Menjerit dalam hati meminta pengampunan Yang Kuasa. Karena selama ini aku salah. Selama ini aku salah menganggap cintaku karena Allah.

Bisakah ... aku memulainya dari awal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top