Hadiah untuk Mama
Si Perawan Tua.
Tiada kalimat yang mampu menohok hatiku selain 3 kata itu. Aku rasa wanita mana pun akan terluka mendengar julukan itu tersemat untuknya. Aku mengalaminya sendiri.
Kapan kamu nikah, Key?
Wajar pertanyaan itu bisa terlempar untukku. Selama 29 tahun aku bernapas, Tuhan belum mempertemukan jodoh terbaik untukku. Sudah berkali-kali Mama menegurku. Tingkahku dianggap mencoreng nama keluarga karena kebiasaanku bergonta-ganti pacar.
"Emansipasi wanita, Key. Jangan nunggu si Arthur ngelamar. Tapi kamu yang harus bertindak duluan. Mama bukan malu karena gunjingan tetangga. Tapi Mama pengin kamu ada yang jagain seandainya Mama pergi."
Aku tercengang. Kepalaku menoleh ke arah Mama. Dapat kulihat Mamaku menunduk. Tak ada apa pun yang menyakitkan selain melihat wanita yang selalu kuhormati dan kusayangi menjatuhkan air mata.
"Mama ingin Arthur segera melamar kamu. Selain menjagamu, dialah yang akan mengelola pabrik garmen kita."
Mama benar. Diusia dewasa seperti ini, wanita sudah sepatutnya bersuami. Menjadi ibu rumah tangga dan menunggu suami pulang kerja. Membayangkannya saja sudah membuat lengkungan di bibirku naik ke atas.
Namun jika mengingat Arthur yang masih ingin menikmati masa pacaran kami, hatiku bergejolak sakit. Apalagi mengingat umurnya yang lebih muda 4 tahun dariku. Rasa malu itu kian menjalar di hatiku.
Jiwa muda pacarku masih berkobar. Tentu ia masih belum mau hidup terkekang oleh ikatan sakral pernikahan. Ia mungkin akan memutuskanku setelah bosan dengan hubungan kami, sama seperti 6 mantan pacarku sebelumnya.
Drttt ... Drrtt....
Sebuah panggilan menginterupsi obrolan kami. Aku mengambil ponsel yang ada di atas sofa. Bibirku refleks melengkung ke atas.
Calon suami calling...
Mama menaikkan alisnya ke arahku, kode ingin tahu siapa yang menghubungiku. Dengan berbisik, aku melafalkan nama pacarku. Kulihat Mama tersenyum tipis sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri.
"Sayang, i miss you!" Suara yang kurindukan mengalun merdu menyapa gendang telingaku.
Aku terkekeh kecil. "I miss you too. Kenapa? Kok tumben telepon aku jam segini? Emang udah istirahat?"
"Jadi kamu nggak suka aku telepon nih?"
"Bukan gitu, tapi--"
"Sudah lupain. Aku telepon kamu karena aku ada kejutan buat kamu."
Aku mengernyitkan dahiku. Setiap hari Arthur selalu memberiku kejutan-kejutan kecil yang membuatku terpukau. Aku seakan menjadi wanita paling beruntung di dunia.
"Kali ini kejutan apalagi nih?" tanyaku penasaran.
Kudengar pacarku di seberang sana tertawa pelan. Menyebalkan! Setiap kali aku bertanya tentang kejutan darinya, Arthur selalu menertawakanku.
"Sebentar lagi ada seseorang yang akan menjemput kamu," dia menjeda, "kira-kira 15 menit lagi. Kamu dandan yang cantik ya. Aku menunggu."
Aku melebarkan mataku. "Apa? Ini kecepetan, Sayang. Hey--"
Pippp ... Pipp!
Sambungan telepon diputuskan sepihak oleh pacarku. Aku menatap horor penampilanku saat ini. Rambutku bak sarang burung yang ditinggalkan induknya. Piyama masih melekat di tubuh jangkungku. Bahkan mungkin saja jika aku berkaca akan ada kotoran di mataku.
"Ih nyebelin!" Dengan terburu-buru aku berlari mengambil pakaian, lalu kembali melangkah ke kamar mandi.
Brakk!
"KEYLA! JANGAN BANTING PINTU!"
Teriakan Mama mengawali sabtu siang yang cerah ini.
***
Aku dan Arthur baru 6 bulan menjalin sebuah hubungan. Kami dipertemukan di pabrik garmen milik keluargaku saar Arthur melakukan melakukan kunjungan di sana. Kami dulu makan di bangku yang sama untui pertama kali di kantin pabrik. Sejak saat itu ada suatu ketertarikan hingga kami saling bertukar nomor.
"Rasanya seperti mimpi," gumamku.
"Ada apa, Mbak?" Aku hampir lupa bahwa saat ini ada seorang pria yang bertugas menjemputku.
Aku dalam perjalanan menuju ke sebuah restoran. Namun aku tak tahu lokasi di mana pacarku berada. Setiap kejutan yang Arthur berikan selama 6 bulan ini tak pernah terduga.
Kulihat ke luar jendela mobil. Suasana di jalan Jogja-Solo cukup padat. Beberapa pertokoan berjejer memenuhi pandangan mataku.
"Tinggal satu belokan lagi, Mbak." Seorang pria yang kuketahui bernama Mas Danu membuyarkan lamunanku.
Kulirik ke depan. Aku seperti mengenal arah jalanan yang kulewati.
"Ini jalan menuju Garden Resto!"
Tentu tempat itu sangat kukenali. Di resto itulah kami memulai sebuah hubungan. Tapi, untuk apa Arthur mengajakku ke sana?
"Sudah sampai, Mbak," Mas Danu menepuk bahuku pelan. "Mas Arthur nunggu di meja paling ujung. Saya permisi."
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Danu, aku melangkah semangat menghampiri pacarku. Kulihat sosok tegap kesayanganku yang duduk membelakangiku.
"Sayang aku--"
"Jadi gimana Baby? Kamu mau kan?"
Langkahku terhenti. Ucapan Arthur bernada memohon pada pada seorang wanita di hadapannya menimbulkan satu cubitan keras di hatiku.
Baby?
Apa nama itu adalah panggilan kesayangan Arthur untuk wanita itu?
"Jadi ini maksud kamu Suruh aku dateng ke sini?" Aku menepuk bahu Arthur pelan. "Kamu punya pacar baru?"
Arthur menggenggam tanganku, tapi aku segera menepisnya kasar. Pandanganku memburam. Air mataku turun mrmbasahi kedua pipiku. Padahal aku telah memimpikan keluarga kecil yang bahagia dengan Arthur.
"Kamu salah paham, Sayang," jelas Arthur.
Aku menggeleng cepat. "Aku nggak butuh penjelasan. Mulai sekarang kita putus!"
Memang apa yang bisa kuharapkan pada pria yang terlalu muda untukku? Arthur hanyalah pria tak berperasaan yang sama seperti semua mantanku sebelumnya.
Tanpa mau mendengarkan semua penjelasan Arthur, aku melenggang pergi meninggalkannya. Mungkin setelah ini aku akan sulit untuk memercayai cinta.
"Kalau seumur hidup aku nggak nikah, aku nggak peduli."
Aku menekan layar ponselku untuk membuka aplikasi transportasi online. Sesekali aku menyeka air mataku dengan kasar.
"Kamu salah paham, Sayang. Aku akan jelasin."
Aku mendongak. Kulihat Arthur bersama pacar barunya berdiri di belakangku. Meski sulit untuk menahan air mataku, tapi aku tetap memaksa untuk memandang Arthur.
"Nggak perlu. Aku tahu, kamu masih muda. Pasti kamu bosen sama aku," lirihku. "Apalagi umurku juga mau kepala tiga."
Arthur tampak menggeleng. "Aku emang masih muda. Tapi cintaku nggak pernah layu buat kamu. Dan dia--"
"Dia pacar baru kamu," potongku.
"Bukan, Sayang. Dia sepupu aku."
Mataku bergantian menatap Arthur dan wanita di sampingnya. Sulit bagiku untuk memercayai ucapannya.
Sudah terlalu sering aku menerima kebohongan dari mantanku sebelumnya. Kini luka masa laluku kembali menganga.
"Dia anak dari adik Mama aku. Namanya Baby Savana." Arthur menggenggam kedua tanganku.
Kulirik ke kanan dan kiri. Beberapa orang menatap kami dengan tatapan penasaran. Arthur pun tak peduli jika dirinya menjadi tontonan gratis.
"Mas Arthur benar, Mbak. Dia ngajak aku ke sini buat diskusi rencana pernikahan kalian."
Pernikahan?
Arthur mengangguk. Dia meraih tubuhku ke dalam rengkuhan hangatnya. Baby mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah maroon, lalu menyodorkannya pada Arthur.
"Ini Mas, cincinnya," ucap Baby.
Arthur melepas pelukan kami. Ia membuka kotak beludru itu. Sebuah cincin perak membuat mataku sontak membola.
"Keyla Apfianita, kamu mau 'kan menikah denganku?"
Beberapa orang mulai berkerumun mengelilingi kami. Satu per satu dari mereka mulai meneriakan kata terima padaku. Kepercayaanku pada cinta yang beberapa saat lalu terkikis kini mulai tumbuh. Aku tak menyangka pria 25 tahun ini akan memenuhi impianku. Menikah dan membina keluarga kecil bahagia.
"Aku mau, Sayang." Aku mengangguk semangat. "Aku mau menikah dengan kamu."
Arthur tersenyum puas. Ia pun menyematkan cincin itu pada jari manisku. Sorakan terdengar menyapa indra pendengaranku. Aku tak menyangka Arthur akan memberiku kejutan semanis ini. Harus kuakui, meski umur Arthur jauh lebih muda dariku, tapi calon suamiku ini mampu bersikap dewasa dan bijak. Aku beruntung memilikinya di hidupku.
***
Keriuhan memenuhi ruangan megah di sebuah hotel yang cukup elit. Ratusan orang tampil elegan dengan jas dan pakaian pesta kebanggaan mereka. Ada juga anak kecil yang asyik bercanda.
Aku duduk bersama Arthur di pelaminan. Kursi yang sangat aku impikan beberapa tahun ini. Pakaian adat Jawa pun melekat sempurna di tubuh jenjangku. Riasan dan sanggul memberi kesan lemah lembut. Arthur Wardana -- teman seumur hidupku pun memakai busana khas Jawa senada denganku.
Kami tak henti mengumbar senyum. Tangan kami saling bertaut. Perasaan lega singgah di hatiku. Sebagai wanita dewasa sepertiku, belum menikah adalah sebuah beban. Terlebih usiaku yang tahun ini sudah menginjak 30 tahun. Tapi kini bebanku terangkat karena kehadiran Arthur -- pria muda yang resmi meminangku hari ini.
"Kamu tahu nggak ... alasan aku selalu nolak saat kamu ngajak aku nikah?" Arthur berbisik di sela acara.
Aku menggeleng. "Nggak tahu. Apa emang?" tanyaku pelan.
"Itu karena aku nabung dulu. Aku pengin biaya pernikahan kita sepenuhnya menjadi tanggunganku. Lagipula...," Aku menatap suamiku.
Ia tampak menyunggingkan senyum misteriusnya. Tangan yang sejak tadi menggenggam jemariku kini berpindah merangkul bahuku. Ia mendekatkan wajahnya pada telingaku.
"Pernikahan ini sebagai hadiah untuk mendiang ayah dan ibuku, Sayang. Aku pernah berjanji akan mencari pendamping hidup yang terbaik. Dan sekarang aku udah menemukannya."
Aku memukul punggungnya pelan. Ucapannya terdengar tulus hingga mungkin saja pipiku sudah merona.
"Beliau berpesan sebelum meninggal. Mereka ingin aku cepat menemukan jodoh yang terbaik. Aku juga sama sepertimu. Mantanku sebelumnya hanya memandangku karena tampangku aja. Hingga orang tua aku meninggal pun, aku belum sempat memenuhi permintaan itu."
Aku terharu mendengar ungkapannya. Arthur memang masih muda. Namun aku baru tahu, baktinya pada orang tua menjadi prioritasnya. Sama sepertiku yang akhirnya mampu memenuhi angan Mama. Membungkam ocehan semua orang tentang hidupku.
"Selamat ya, Mbak. Langgeng sama Mas-nya." Para tamu mulai berbaris rapi menyalami kami satu per satu.
Beberapa di antara mereka pernah tega menggunjingkanku. Membicarakan status lajangku. Kini mereka bertatap wajah denganku dengan ucapan selamat atas pernikahanku. Aku hanya mengangguk, memberi ucapan terima kasih, dan senyuman menawan.
Kini Mama bisa berbangga hati padaku. Aku telah bisa melengserkan gelar Si Perawan Tua yang selama ini tersemat padaku.
Tak ada lagi pertanyaan anaknya kapan nikah yang selalu menohok hati Mama. Beliau bisa menikmati usia senjanya dengan damai. Ada Arthur yang akan menjagaku, begitupun saat Tuhan menitipkan buah hati untuk kami.
SELESAI!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top