9

9

Tidak ada yang aneh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter pribadi keluarga Carmelize. Namun hal itu tetap saja berhasil membuat kedua orangtua Carmelize merasa cemas. Lara yang baru mendengar berita itu dari Ayah Carmelize langsung buru-buru datang ke rumah tempat dia bekerja, meskipun sebenarnya hari ini dia mendapatkan jatah liburan karena tuan dan nyonya besar sedang pulang.

Kabar itu mengejutkan Lara. Terlebih saat Ayah Carmelize menjelaskan bahwa dia bermaksud untuk mengajak putrinya lari pagi hari tadi, namun karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Carmelize, akhirnya ayahnya memutuskan untuk masuk. Hingga akhirnya dia melihat Carmelize yang berbaring lemah di ranjangnya.

Ayah Carmelize masih bisa mengingatnya dengan jelas. Bagaimana napas Carmelize patah-patah dan mimisan dalam keadaan tidur menyamping membuat darah lolos lebih mudah.

Ngeri dan ketakutan melihat darah mengaliri pipi dan mengalir membanjiri sprei, ayahnya langsung berlari dan membangunkannya.

Sulit sekali untuk membangunkan Carmelize. Napas yang terdengar semakin habis itu membuatnya panik. Dipeluknya putrinya sambil terus memanggil namanya, lalu sesekali memeriksa keadaan untuk memeriksa apakah dia telah terbangun atau belum. Masih belum, dia menepuk dua pipi Carmelize agak keras.

"Apakah Carmel terlalu banyak makan permen atau makanan yang tidak sehat?" tanya Ibu Carmelize kepada Lara, yang sebenarnya menekan setiap kata-katanya, menuntut Lara untuk menjawab.

"Sudahlah, jangan menuduh Lara seperti itu," bela Ayah Carmelize sambil menahan istrinya. "Yang penting Carmel baik-baik saja."

Dokter keluarga Carmelize keluar dari ruangan Carmelize, tampaknya baru selesai memberikan obat—terlihat dari tangannya yang kini memegang sekantong obat.

"Nona Carmelize sudah tidur karena efek obat. Tuan dan nyonya tenang saja, dia tidak apa-apa."

"Jadi kenapa dia bisa mimisan?" tanya Ibu Carmelize.

"Nona Carmelize hanya sedikit kelelahan, seperti yang saya katakan sejak awal, tadi."

Ayah Carmelize menepuk bahu istrinya untuk menenangkannya. "Hanya kelelahan. Kau tidak perlu sampai marah-marah begitu. Carmelize bisa sedih kalau tahu darah tinggimu naik."

Meskipun Ayah Carmelize tahu bahwa anak itu mungkin tidak mengerti makna darah tinggi, tetapi dia tetap mengatakan hal demikian. Itu karena dia tahu bahwa istrinya tidak pernah menganggap Carmelize masih seorang anak-anak. Istrinya percaya pada Carmelize dan dia adalah orang yang paling tahu tentang itu.

Dia sangat ingat momen saat Carmelize masih berumur enam tahun dan Ibu Carmelize berani bercerita pada Carmelize bahwa ekonomi keluarga mereka sedang tidak stabil dan berharap bahwa Carmelize bisa mengerti jika ada hal tidak mengenakkan yang mungkin dirasakan anak itu. Carmelize yang dasarnya memang penurut, hanya bisa mengangguk (walaupun dia pasti tidak mengerti).

Setelah Lara mengantar dokter keluarga ke pintu depan dan Ayah Carmelize meminta istrinya untuk menenangkan diri di kamarnya. Ibu Carmelize sebenarnya ingin menunggu Carmelize terbangun, namun Ayah Carmelize menghentikan karena Carmelize akan tidur lama. Apalagi setelah dia baru saja meminum obatnya.

Dibukanya pintu kamar anaknya pelan-pelan. Tidak ada yang terlihat aneh di ruangan Carmelize. Anak itu tidak pernah mengubah tata letaknya, bahkan jika itu hanya tata letak boneka beruangnya atau letak sisirnya. Carmelize juga tidak pernah berkomentar atau mengeluh tentang desain kamar yang dibuat oleh ayahnya.

Carmelize tidak menyusahkan. Dia hanya pendiam. Hubungan mereka tidak sedekat orangtua dan anak pada umumnya, karena mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Ayahnya pikir, dia bisa memperbaiki semuanya kelak, namun melihat Carmelize yang sama sekali tidak terlihat panik saat tahu bahwa dia mimisan, membuat ayahnya sangat khawatir.

Diperhatikannya Carmelize yang memejamkan matanya, tidur dengan tenang.

Ayahnya benar-benar berharap bahwa putrinya tidak akan pernah mendapatkan mimpi buruk.

***

Saat Carmelize kembali ke Kerajaan Bayangan, aula yang tadinya dipenuhi oleh barisan peramal, kini kosong.

Tentu saja ini membuat Carmelize kebingungan. Sejauh yang diingatnya, aula kerajaan itu tidak pernah kosong. Jika tanpa raja, ratu ataupun ketiga anaknya, pastilah ada saja sekelompok prajurit yang berjaga di depan pintu atau sekadar melewati lorong.

Pelan-pelan, Carmelize melangkah menuju ruang makan—yang paling dekat dengan aula, namun dia juga tidak menemukan siapa pun di sana. Mencoba mengenyahkan perasaan aneh yang menjalar di pikirannya, Carmelize akhirnya menaiki tangga untuk menjangkau kamar Putri River.

Karena memang selalu menembusi benda padat dan tidak bisa mengetuk pintu dalam keadaan seperti ini, Carmelize akhirnya memunculkan kepalanya di kamar Putri River untuk memeriksa.

Sayangnya, dia tidak bertemu dengan Putri River yang bisanya duduk di lantai dan melambaikan tangan ke arahnya.

Di mana semua orang? Pikirnya sambil terus melanjutkan pencariannya.

Sedang menelusuri lorong itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara Putri River dari pintu dengan ukiran yang sama dengan kamar Putri River dan Pangeran Alax. Pintu itu terletak tepat di seberang kamar Pangeran Alax.

Suara Putri River jelas-jelas berasal dari sana, Carmelize yakin pasti. Hal itu membuat Carmelize berinisiatif memeriksa tanpa harus merasa bersalah atau tidak enak, karena dia punya sesuatu yang penting untuk disampaikannya pada Putri River.

Di dalam kamar itu, ketiganya berkumpul. Dari bentuk dan luas kamarnya yang setara dengan milik Putri River dan Pangeran Alax, Carmelize yakin bahwa itu adalah kamar Pangeran Vire.

"Mengapa tidak ada dari kalian yang membelanya?" tanya Putri River yang terdengar sangat marah.

Pangeran Vire mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Mau bagaimana lagi? Dia melanggar aturan yang diberikan raja," jawabnya apa adanya.

Pangeran Alax hanya diam, lalu berdeham pelan, "Lalu, mengapa ikut menyeretku ke kamar kak Vire? Aku tidak berurusan sedikit pun dengan itu."

"Kak Vire dan Kak Alax. Kalian benar-benar tidak punya perasaan!" seru Putri River keras-keras. "Tidak akan ada gadis yang mau dengan kalian!"

"Iya, kalau seluruh gadis di dunia ini urakan sepertimu," tambah Pangeran Vire sambil membuang muka.

"Dia sedang proses dieksekusi! Kalau kalian tidak mengeluarkan suara kalian, dia bisa mati!" Putri River mengucapkan dengn frustrasi. "Apa kalian tidak memikirkan bagaimana perasaan keluarganya yang tahu bahwa salah satu anggota keluarganya harus kehilangan kepalanya di Kerajaan Bayangan?!"

Carmelize tersentak, sebenarnya sangat kaget dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Putri River. Kepalanya tidak bisa mencerna apapun dengan baik, dia tidak bisa mengerti dengan situasi rumit ini. Memangnya apa yang terjadi selama dia terbangun tadi?

Namun keluarnya Putri River dari kamar Pangeran Vire karena terlalu kepanasan di sana akibat tidak ada yang sepemikiran dengannya, membuat Carmelize berpikir bahwa dia tidak akan penasaran lebih lama lagi.

"Eh ... Carmelize." Kening Putri River yang tadinya menekuk marah, kembali normal. "Tadi hidungmu berdarah. Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

"Aku tidak apa-apa," balas Carmelize sambil melirik ke pintu, "Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya serius sekali."

"Itu ..."

Putri River menjeda sejenak dengan ragu.

"Itu apa?"

"Apa kau akan setuju? Karena dua kakak bodohku tidak setuju denganku." Putri River kembali kesal.

"Akan kuputuskan kalau kau sudah bercerita," jawab Carmelize.

"Beberapa saat setelah kau kembali tadi, ada seorang peramal yang meramalku. Dia melihat tanganku agak lama, lalu dia mengatakan kepadaku kalau aku dalam bahaya besar."

Carmelize mengaitkan perkataan Putri River dengan ramalan yang diam-diam didengarnya saat dia berada dalam ruangan rahasia.

"Lalu?"

Putri River menatap Carmelize. "Lalu aku tidak tahu, karena Kak Vire dan Kak Alax langsung menggunakan sihir mereka dan meminta prajurit menjauhkannya dariku," terang Putri River sambil bersidekap tangan. "Saat raja dan ratu tahu, mereka langsung memutuskan untuk memotong kepalanya hari ini."

Carmelize tersentak. Dalam posisinya yang bukan siapa-siapa ini, sebenarnya pembelaan Putri River terhadap peramal itu cukup logika. Tetapi, dia juga paham dengan ramalan yang disembunyikan raja dan ratu tentang Putri River. Jika ramalan itu memang benar dan berbahaya, sebenarnya dia merasa lega karena Putri River lebih baik tidak perlu mengetahuinya sedini ini.

Menurutnya, Pangeran Vire dan Pangeran Alax sudah melakukan hal yang benar. Tapi dia juga tidak mungkin mengiyakannya secara langsung di depan Putri River yang sedang tidak baik suasana hatinya. Carmelize merasa serba salah.

"Bagaimana, Carmelize?" Putri River menanyakan pendapat.

"Aku dalam posisi tidak membela siapapun di sini," jawab Carmelize secara langsung. "Orang yang melanggar aturan memang seharusnya dihukum, walaupun aku sedikit heran mengapa harus memotong kepalanya."

"Iya, kan?" Putri River bertanya dengan berapi-api, seolah meminta persetujuan dari seluruh dunia.

"Jadi, alasan mengapa aula dan semua tempat kosong itu karena itu?" tanya Carmelize.

"Iya. Jadi karena dia melakukan itu, pesta ramalan hari ini berjalan tidak sesuai harapan. Semuanya ditunda sampai eksekusinya selesai."

Carmelize merinding dalam hati. Apa jadinya kalau mereka semua tahu tentang seseorang yang bukan siapapun di istana ini, telah mendengarkan ramalan putra mahkota kerajaan?

"Maaf, aku tidak bisa melakukan apapun," sesal Carmelize.

Putri River memperhatikan satu arah dengan pandangan kosong, "Hal seperti ini, memang kadang sangat tidak adil. Kita hanya punya pilihan antara menerimanya atau pura-pura tidak pernah tahu. Iya, kan?"

Tbc

9 Juni 2018

a/n

Oke, aku akan mulai ngetik Aqua. Kalau ndak besok, lusa. Kalau ndak lusa, lusanya lagi. Kalau ndak lusanya lagi-- /stop.

Semoga besok deh.

Oke, met bubuk, semuaaa.

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top