11
"Carmel ..."
Carmelize yang saat itu sedang menggambar dirinya dan Putri River pun terhenti aktivitasnya. Dari tempat tidurnya yang dipasangi sebuah meja kecil, dia menggambar di sana.
"Iya, Pa?" tanyanya sambil menghentikan coret-coretannya.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya ayahnya sambil menghampirinya dan mengelus rambutnya.
Carmelize menganggukan kepala.
"Papa tidak kerja?" tanyanya yang membuat ayahnya meringis.
Sesibuk itukah dia dulu, sampai-sampai Carmelize hanya mengingat tugas seorang ayah hanyalah bekerja? Dia merasa gagal menjadi seorang Ayah yang baik untuk putri semata wayangnya.
"Papa libur."
Carmelize tersenyum lebar, "Benarkah?"
"Iya. Carmel punya tempat yang ingin dikunjungi?" tanya ayahnya.
"Tidak ada," balasnya sambil menggeleng.
"Bagaimana kalau hadiah? Lusa kau berulangtahun, kan?"
Carmelize mengangguk, "Aku ingin sesuatu dari Papa. Tapi ... Papa sedang libur menggambar."
Ayahnya tertawa, "Tidak masalah, Papa suka menggambar," ucapnya sambil tertawa.
Satu-satunya hal yang tidak dikatakan oleh Ayah Carmelize kepadanya adalah bahwa terkadang hobi itu bisa menjadi sesuatu yang berat saat kita sedang kehilangan inspirasi dan belum merasa memiliki niat untuk melakukannya. Tapi biarlah, Carmelize pasti tidak akan memintanya menggambar hal yang aneh-aneh.
"Bisa gambarkan istana, Pa?"
Baiklah, satu permintaan aneh dari putri tunggalnya. Langka dan perlu diabadikan. Ini bukan beban buatnya, asalkan Carmelize bukan memintanya untuk menggambar istana beserta seluk-beluk di dalamnya.
"Papa bisa, kan?"
"Bisa," balas Ayahnya yang membuat Carmelize tersenyum makin lebar. "Tapi gambar Papa tidak akan bagus. Tidak ada penggaris di sini," ucapnya.
"Tidak apa-apa, Pa."
Dia berpikir agak lama. Sudah berapa tahun sejak terakhir kali dia menggambar rumah? Biasa yang dilakukannya adalah menggambar desain baju yang akan dipakai oleh model-model. Semoga saja tangannya tidak lupa cara melakukannya.
"Carmel, terakhir Papa menggambar rumah adalah saat mendesain rumah ini. Mungkin Papa--"
"Eh? Jadi selama ini Papa bukan menggambar rumah?" tanya Carmelize agak terkejut.
"Bukan. Papa biasa menggambar baju."
Carmelize membungkam mulutnya seolah telah melakukan sebuah kejahatan besar. "Aku sudah bilang ke River kalau Papa biasanya menggambar bangunan. Kukira Papa biasa gambar rumah karena papa pernah bilang kalau papa yang gambar rumah kita."
Ayah Carmelize tertawa dalam hati. Sebenarnya salah atau tidak pun Carmelize, dia tidak yakin kalau teman sebayanya akan mengerti.
Saat ini Carmelize berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Setiap dia bangun dari tidurnya, dia kerap mimisan atau sesak napas. Ini benar-benar sangat mengkhawatirkan.
Sudah dua bulan dokter keluarga mereka menginap di rumah keluarga Carmelize untuk berjaga-jaga. Lara juga baru pulang tiga kali selama sebulan. Kondisi Carmelize yang tidak stabil membuat mereka semua berganti-gantian menjaganya.
Ibu Carmelize yang bekerja sebagai auditor laporan keuangan di perusahaan besar, sudah menolak beberapa tawaran kerja untuk ikut mengurusi Carmelize. Ibu dan ayahnya sering berganti-gantian untuk bangun dan tidur, hanya untuk memastikan bahwa putri mereka memang baik-baik saja.
Hal yang menggeramkan dalam tes medis menyatakan bahwa Carmelize tidak menderita penyakit apapun. Tubuhnya baik-baik saja, katanya.
"Carmel, apa kau merindukan sekolah?" tanya Ayahnya yang membuat Carmelize memikirkan kembali suasana di sekolah.
Hari ini sudah lebih dari seminggu sejak dia tidak menghadiri kelas. Sebenarnya ada perasaan bersalah yang menjalar dalam benak anak itu, namun Ibu Carmelize menekankan pada putrinya itu untuk tidak merasa bersalah. Jika nantinya Carmelize memang tidak bisa lagi menghadiri sekolahnya dalam dua minggu, Ibunya sudah memutuskan untuk membuat Carmelize mengikuti home schooling saja.
Carmelize menggeleng, jawaban yang jujur.
"Kau tidak akan merindukan teman-temanmu?" tanya Ayahnya lagi.
"Temanku hanya River," jawabnya yang membuat perasaan ayahnya sedikit ngilu.
"Bagaimana kalau Papa meminta River datang ke rumah untuk menjengukmu? Dia pasti juga rindu padamu," sahut Ayahnya.
Carmelize menggeleng, "Tidak perlu, Pa. Aku baru bertemu dengannya, kok."
"Begitukah?"
"Iya."
Belakangan ini, Ibu Carmelize mulai mencari alternatif lain dalam usaha penyembuhan putrinya. Salah satunya adalah mencari orang pintar yang paling terpercaya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada putrinya. Kemarin, sudah ada beberapa orang pintar yang datang untuk memeriksa, namun sepertinya Carmelize tetap saja mimisan setiap bangun pagi. Hal yang membuat Ibunya berpikir bahwa mereka hanyalah orang pintar gadungan.
Namun lewat rekomendasi orang-orang kepercayaannya, akhirnya dia menemukan seseorang yang lebih menjanjikan. Sebentar lagi orang pintar itu akan datang. Ayah Carmelize di sini bertugas untuk menjaga Carmelize agar tidak terlelap, karena anak itu selalu saja mengalami hal yang tidak menyenangkan setelah terbangun dari tidurnya.
"Carmel, apa kau sudah tahu cita-citamu saat sudah besar nanti?"
Pertanyaan yang sederhana, pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh orangtuanya paling awal sebelum orang lain. Namun ini pertanyaan baru bagi Ayahnya. Belum pernah sekalipun dia berpikir untuk membicarakan hal yang serius bersama anak sepuluh tahun yang akan segera menjadi sebelas tahun dalam waktu dekat.
Carmelize menatap Ayahnya agak lama, lalu tersenyum. "Rahasia, Pa."
Ayahnya yang mendengar jawaban lucu dari Carmelize langsung menggelitikinya, "Jadi, ini rahasia pertama kita? Benarkah?"
Carmelize tertawa menahan geli.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia berjanji akan menjaga putri semata wayangnya dari apapun.
*
"Ada bayangan yang mengikuti Nona Carmelize."
Kalimat pertama yang diucapkan orang itu setelah memeriksa Carmelize.
"Bayangan ini maksudnya?"
"Ada sesuatu yang berbahaya, sedang mengikuti Nona Carmelize," ulangnya dengan kalimat yang lebih mudah dicerna. "Mengikutinya dalam tidurnya."
Satu ruangan itu terdiam seketika. Sangat hening ....
"Pelan-pelan, Nona Carmelize akan kehilangan tenaganya untuk berjalan, lalu kehilangan tenaga untuk berdiri, duduk, berbicara, lalu--"
Ibu Carmelize langsung memotong ucapan orang itu, "Katakan. Apa yang harus kami lakukan agar Carmelize sembuh."
Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, memberikan maksud bahwa dia tidak bisa melakukan apapun.
"Kita tidak mungkin membiarkan Nona Carmelize dalam keadaan terus terjaga. Itu jelas tidak baik untuknya."
Ayah Carmelize menatap lesu ke arah anaknya yang kini sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Napasnya tenang dan dia terlihat sangat damai. Rasanya tidak percaya bahwa ancaman besar yang menunggunya ada di dalam tidurnya.
"Dan saya tidak merekomendasikan membangunnya secara paksa jika dia masih tertidur tenang seperti itu. Itu akan memperburuk keadaan."
Saat Carmelize terbangun nanti, mungkin mereka harus bertanya tentang mimpinya pelan-pelan.
Tbc
11 Juni 2018
a/n
Kayaknya dua chapter lagi sebelum Carmelize berulang tahun.
/kind of evil laugh/
Oke, aku bobok dulu, teman.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top