2.0 | Catastrophe (3)
Dua insan menyambut sapuan indah kroma biru cakrawala. Hangatnya suhu gegana menyelimuti, buaian angin pun menyentuh setiap titik epidermis. Oksigen segar yang melanglang buana di gegana taman rumah sakit bisa dihirup sebebas mungkin. Memang taman rumah sakit menjadi suatu pelampiasan sementara dari muaknya bebauan khas zat kimia di bangsal rumah sakit.
Soobin kembali meretur memorinya. Bagaimana bisa Areum dulu bertahan mencium bebauan memuakkan itu? Soobin yang baru saja terhitung satu hari menginap sudah muak.
Ia memejamkan matanya, melangiskan segala pikiran tentang Areum. Biarlah epitelnya menjadi kenangan dalam amigdala. Konstan memikirkannya hanya akan membuatnya diinvasi selaksa nestapa. Kini ia hanya akan terfokus pada Areum-nya di sini.
Manik jelaga Soobin memindai setiap lekuk samping profil sang jelita. Ia menjelitkan afeksi pada tatapan lembutnya. Sosoknya benar-benar membuatnya merindu kendati satu jam tak bersua. Namun, ini sudah terhitung seminggu lebih tak saling bertemu. Sudah terbayang seberapa limpah ruahnya ia memupuk rindu.
"Areumie..."
"Ya?" sahutnya dengan nada kelewat lembut seraya menolehkan kepalanya menatap tepat ke dalam manik jelaga Soobin.
Satu tarikan garis bibir Soobin tercanang simultan lekuk kecil pada kedua pipinya tercipta. Areum lekas membalas.
"Aku minta maaf. Aku benar-benar tak bermaksud menyakitimu. Namun percayalah, perasaanku benar adanya. Aku tak main-main. Aku tak seberengsek itu mempermainkan perasaanmu," jelasnya seraya menatap dalam manik cokelat Areum—meyakinkannya.
Memang penjelasannya itu jujur, tetapi ada beberapa hal yang tak bisa ia ungkapkan, yaitu alasan sebenarnya ia menjauh untuk sementara. Sebab untuk saat ini pelik untuk diungkapkan, bahkan ia tak berencana mengatakan yang sebenarnya hingga akhir hayat. Biarlah waktu yang memberitahunya. Jikalau itu Soobin, ia tak sanggup.
Areum tertegun sejemang hingga menyambut uluran telapak tangan Soobin yang menangkup rahang tirusnya. Ia merasakan renjisan afeksi serta kehangatan yang mengalir darinya. Entah mengapa ia kelu untuk membalas tutur kata Soobin. Maka dari itulah, hanya senyuman yang terpatri menjadi respons.
"Kau percaya padaku 'kan?" tanya Soobin mengulang sebab tak ada respons apapun dari lawan bicaranya.
Areum mengangguk, ia menjauhkan tangan Soobin dari pipinya. Namun, ia masih menggenggamnya. "Aku percaya padamu. Namun, semua ini terasa salah, Choi. Ada Sera yang berhak secara resmi di sampingmu."
"Tidak, Areumie. Ini hanya sebuah pertunangan, bukan pernikahan. Masih mudah untuk melepaskan ikatan ini. Jadi, biarkanlah kita bersama," elak Soobin. "Sudah kubilang 'kan bahwa kau penguat hidupku. Hanya kau, Kim. Biarkanlah aku berada di sisimu dan kau berada di sisiku."
"Tapi, Choi... Aku—"
Kalimatnya terpotong tatkala resonansi serta vibrasi dari radas pipih milik Areum menginterupsi. Ia mengernyit membaca nomor yang tertera pada layar, lantas ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan radas canggih itu ke daun telinga.
Tepat setelah ia meloloskan kata sapaan pada sambungan di seberang, entah apa yang diucapkan si penelepon hingga membuat tubuhnya menegang simultan matanya membeliak. Lama makin lama tubuhnya bergetar, likuid intannya pun mengalir. Itu membuat Soobin panik.
Soobin menaruh kedua tangannya pada kedua bahu Areum. Berharap energi yang ia salurkan menambah kekuatan padanya yang seketika ambruk. Ia sangat mencemaskannya. "Ada apa? Semua baik-baik saja 'kan?"
"Nenek... Nen—" ucapannya terbata-bata tak kuat meloloskan kebenerannya. Sedangkan Soobin tak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Nenek Kim kenapa? Ia baik-baik saja 'kan?"
"Nenek sudah meninggal, Choi."
Tepat saat kalimat mengudara secara final, tidak hanya Areum yang rasanya tersambar petir, tetapi juga Soobin. Mereka berdua sama-sama terpukul.
Dikira harsa kembali menyelimuti. Satu sambungan pada radas pipihnya kembali membuat sikon diinvasi dengan selaksa nestapa. Lantas kapan semua ini akan berakhir? Memang benar, jika hidup itu tak pernah berjalan mulus. Tak nadir menjelitkan kemelut yang membikin sengkarut. Kapan dunia yang adikara ini membiarkan insannya hidup tenang? Agaknya semua itu lengkara.
…
—luv, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top