1.6 | Smeraldo (3)
Sepekan lamanya Areum tak bersua dengan Soobin. Seakan pria Choi ditelan bumi. Tak ada tengara kemunculan batang hidungnya seperti biasanya. Jadwal presensinya pun absen sepekan ke belakang. Tak ada di bangsal, maupun di toko bunga. Baguslah, dengan begitu Areum akan mudah melupakannya, melangiskan segala kenangan dan semua yang berkorelasi dengannya. Begitu pikir awalnya. Namun, tidak semudah itu. Afeksi ini sungguh berengsek sebab perasaannya pelik tuk didestruksi. Ia hanya bisa membiarkan waktu mengalir untuk melangiskannya.
Netra Areum teralih pada radas pipih yang tergeletak di atas meja. Layarnya mati, tak ada notifikasi seperti biasanya yang menghidupkannya. Sapaan hingga untaian sederhana dalam bentuk tulisan maupun lisan dari seberang sana nyalar membuatnya berbunga pun jantungnya bertalu dinamis. Kini, tak ada. Hingga resonansi serta vibrasi dari radas pipihnya menyapa rungu. Secara impulsif, Areum meraihnya. Tatkala tertera epitel yang bukanlah harapannya, dengkusan pelan mengudara. Kendati demikian, ia lekas menggeser panel hijau lalu mendekatkannya pada indra dengar.
"Halo, Beomgyu, ada apa?"
"Kak, apakah di toko bunga sedang ramai pembeli atau kau masih sibuk?"
"Tidak."
"Kalau begitu, apa kakak bisa menggantikanku menjaga nenek? Ternyata aku ada kerja kelompok di rumah Hyunjin."
"Begitu? Ya sudah, aku akan segera ke sana."
"Terima kasih dan maaf ya, kak."
Arkian, ia meletakkan ponselnya. Apa yang kau harapkan, Kim Areum?
Areum bergegas bersiap diri. Ia tentu saja mengizinkan Beomgyu. Toh, apapun itu demi kebaikan adiknya, ia akan mengorbankannya. Sebenarnya, ia merasa bersalah harus saling bergantian menjaga nenek di rumah sakit, kendati nenek bilang 'tidak apa-apa'. Beomgyu harus mengorbankan masa-masa remaja dengan teman sebayanya. Namun, mereka melakukannya tak hanya sekadar balas budi, tetapi bentuk kasih sayang dan bakti pada orang tua satu-satunya—sepeninggal kecelakaan yang merenggut nyawa ayah dan ibu.
Butuh waktu sekitar lima menit dengan bus untuk mencapai rumah sakit. Ulasan senyum cerah telah terpatri pada saat tungkainya menginjak bangsal. Sambutan pelukan hangat menyapanya.
"Aku sudah melarang Beomgyu menghubungimu," ujar Nenek Kim.
"Ey~ mana bisa kami meninggalkanmu berlama-lama sendirian."
Nenek Kim menatap ke dalam netra cucunya, ia menelisik sebab sepertinya ada yang tidak baik-baik saja. Kau tahu bukan jika mata tak bisa berbohong pun firasat orang tua selalu benar. "Areumie, semuanya baik-baik saja 'kan?"
Areum tersentak, bagaimana neneknya bisa tahu? Atau mungkin hanya sekadar pertanyaan sederhana. Areum mengulas kurva manisnya. "Ya, semua baik-baik saja, nek," kilahnya.
"Aku merasa—"
"Nek, ayo kita ke taman mencari udara segar!" tukas Areum memotong kalimat Nenek Kim sebelum bertanya lebih jauh. Sungguh, ia benar-benar tak ingin membahasnya. Apalagi ia tak ingin menjadi beban sang nenek, membuatnya ikut sedih dan kepikiran di saat kondisi nenek sendiri yang tak baik-baik saja jua.
Areum mendorong kursi roda keluar dari bangsal. Hingga tepat di koridor, ia sekonyong-konyong stagnan tatkala entitas yang sempat ia harapkan menyapa lewat sambungan telepon kini eksistensinya tepat berada di hadapannya. Tatapan mereka bersirobok, lekas Soobin mengalihkannya pada Nenek Kim.
"Selamat siang, nek!"
"Oh, pemuda tampan! Kau baru saja pemeriksaan rutin seperti biasanya?" tanya Nenek Kim antusias. Anggukan jemala sebagai respons. "Kalau begitu, ayo ikut kami ke taman—"
"Tidak, nek. Mungkin Soobin sibuk dengan pekerjaannya, ya 'kan, Choi Soobin?" tukas Areum dengan cepat.
"Ah, begitu? Benarkah Soobin?" tanya Nenek Kim skeptis.
Sementara Soobin mengusap tengkuknya, "Ya, benar, nek. Aku minta maaf karena kali ini tak bisa ikut menemani nenek," kilahnya. "Baiklah, kalau begitu aku pamit. Sampai jumpa lagi, nek..."
Soobin melirik pada Areum yang tengah menatapnya dingin, Soobin paham dengab apa yang semua terjadi. Ia telah membuat kesalahan. "...Areumie."
"Jangan sampai kau kelelahan ya, nak!" ujar Nenek Kim sebelum Soobin benar-benar raib dari pandangan mereka. Arkian, mereka pun melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
Sepasang nenek dan cucu itu menyongsong cerahnya nabastala. Semilir angin mengelus lembut bagian epidermis, warna hijau klorofil memanjakan mata, aroma harum bunga-bunga menyapa penghidu, serta cuitan burung mengalun menyambangi rungu. Keindahan ini bagaikan panasea harsa bagi tamu rumah sakit. Padanan kata 'tamu' yang dipilih lebih tepat dibandingkan silabel kata 'warga'. Sebab, tamu berarti hanya berkunjung tidak lama, sedangkan warga berarti penduduk yang menetap. Siapapun tak bisa mendistorsi jika tidak ada seorang pun yang ingin menetap abadi di dalam bangsal berbau khas zat kimia. Tidak ada. Sebab, dari berbagai jenis rumah, hanya rumah milik sendirilah yang ternyaman. Begitu pun Nenek Kim, ia ingin kembali ke rumahnya.
Kim Miseok—Nenek Kim—memandang kembali cucunya. Sentuhan lembutnya membuat Areum menoleh dan menaruh seluruh atensinya pada sang nenek. Areum berjongkok, memandang profil Kim Miseok yang mana di berbagai bagian kulit wajahnya mengeriput seiring bertambahnya usia. Kedua insan berdarah sama itu saling melempar senyum guna menghangatkan satu sama lain.
"Aku merasa semua tak baik-baik saja. Ayo, ceritakanlah padaku. Aku selalu menjadi telinga bagi keluh kesahmu, bukan begitu? Aku ini orangtuamu. Menjadi sosok ayah, ibu, sekaligus nenekmu, Areumie," ujar Miseok lembut seraya mengelus lengan sang cucu.
"Tidak ada apa-apa, nek. Semuanya baik-baik saja—"
"Tidak, aku menyadarinya sejak tadi bertemu dengan Soobin. Aku melihat tatapan kalian ada sesuatu yang disembunyikan dariku dan itu bukan sesuatu yang baik. Tatapan kalian menyorotkan hal lain, Areumie," tutur Nenek Kim. Lengannya terulur meraih pipi sang cucu. "Ada apa cucuku sayang? Jika kalian ada masalah, selesaikanlah. Aku ingin melihat kalian damai dan bersatu."
Areum masih membisu hingga pada akhirnya kepalanya menumpu pada lutut sang nenek. Terasa getaran hebat pada tubuh Areum pun suara isakan tangis menyapa rungu Kim Miseok. Ia menepuk lembut punggung sang cucu guna menenangkannya terlebih dahulu. Ia hanya bisa menunggu Areum bercerita tanpa harus mendesaknya lebih dalam.
"Mengapa aku harus jatuh terlalu dalam, nek? Mengapa nenek pula ingin sekali melihatku bersamanya sedangkan ia..."
"...sudah memiliki tunangan."
Nenek Kim terkesiap tatkala menanggapi sebuah fakta yang baru ia ketahui. Ia tertegun sejenak lantas menepuk kembali barangkali tindakannya menenangkan sang cucu. Ia hanya berharap memberi kekuatan padanya. Tatkala mendengar tuturan kata fakta, ia merasa bersalah sebab nyalar menjodohkannya dengan Soobin. Apa semua ini adalah salah Miseok hingga Areum merasa inferior? Ia paham, seharusnya ia bertanya pada Soobin terlebih dahulu. Namun, awalnya ia yakin sebab pemuda Choi itu tak pernah sekalipun menceritakan tunangannya. Bahkan, tak ada sebuah cincin pengikat yang tersemat pada salah satu jarinya.
Sungguh, apakah firasatnya keliru jika sebagian kebahagiaan Areum ada pada Soobin?
…
Plotnya mulai makin bosenkah? Tell me, bby! Don't worry.
But, don't forget to gimme ur votes+comments. C ya~
—luv, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top