0.0 | Prologue
"Choi Soobin!"
"Hm?"
"Kau sedang melamunkan apa hingga pita suaraku rasanya mau putus memanggilmu beberapa kali tak menyahut," ujar sang gadis bersurai hitam merajuk.
Sementara Soobin yang berada di belakangnya mendorong kursi roda hanya terkekeh tatkala intonasi rajukan sang gadis menyusupi rungu begitu menggemaskan. Bukan tanpa sengaja ia mengabaikan panggilan dari ceruk bibir tipis sang gadis sebab rasanya ia butuh hiburan. Mencairkan nestapa di antara keduanya dengan mengusili sang gadis. Ia tahu dirinya begitu kejam pada sang gadis ringkih dalam dorongannya. Manakala tidak begitu, ia tak ingin larut dalam lara hingga ia harus mengartifisial segurat harsa.
Lantas leksikal verba utama permintaan maaf meluncur dari labium tipisnya. Agaknya memang gadis di depannya ini merajuk sampai-sampai tak merespons frasa yang diutarakannya tulus dari sanubari. Soobin menghentikan tungkainya. Langkahnya setengah memutari sang gadis lantas berjongkok di hadapannya, menyejajarkan asal tinggi daksanya yang menjulang dengan tinggi sang gadis yang terduduk di kursi roda.
Memang benar jika sang gadis merajuk hingga Soobin harus meraih rahang sang gadis yang tadi sontak membuang muka agar menatap ke arahnya. Kelereng dupleks mereka bersirobok. Tatkala Soobin mematri birai kurva manisnya, kontan tercipta segurat semu merah pada kedua pipi sang gadis. Ingin mengalihkan pandangan pun rasanya tak bisa, ganal-ganal ada sebuah kunci pada sorotan netra sang pemuda hingga maniknya terfiksasi pada sang empu.
"Aku bilang minta maaf, aku belum mendengar jawabannya," ungkapnya dengan begitu lembut sehingga jantung lemah sang gadis berpacu dinamis. "Jadi, aku dimaafkan atau tidak?"
Kelereng dupleks sang gadis berotasi seakan-akan nampak mencoba berpikir mencari frasa yang tepat, simultan menyulam senyuman sebelum bercerak, "Tidak."
"Kenapa tidak?" tanya Soobin dengan segurat roman kekecewaannya entah dibuat-buat ataukah memang betulan.
"Aku akan memaafkanmu, asal..." sang gadis sengaja menggantungkan penggalan katanya seraya tersenyum jenaka. Sementara Soobin impulsif mengikuti gerakan mulut sang gadis menyamai sinkron dengan anggukan jemala perlahan. Benar-benar jika saja sang gadis tak berpura-pura merajuk, lengan rampingnya sudah terulur mengacak-acak tatanan surai pemuda Choi.
"... Asalkan hari ini kau menemaniku seharian," pungkasnya.
Soobin menggedikan bahunya, "Itu sih mudah. Baiklah, jika-"
Resonansi serta vibrasi yang berasal dari radas komunikasi yang tersimpan dalam mantelnya memotong lanjutan kalimatnya. Lekas Soobin merogoh saku mantelnya lantas telunjuknya menggeser panel hijau bermaksud mengangkat sambungan.
"Apa sebegitu pentingnya kah jika urusan kantor cabang harus ditangani olehku?"
"Baiklah, aku ke sana sekarang, Kak."
Usai mengatakan penggalan terakhir, sambungan pun terputus. Simultan raut dongkol tertuju pada orang di seberang sana, sedangkan roman kecewa tertuju pada gadisnya yang tengah mengutarakan ekspresi penasaran.
"Siapa?"
"Kak Namjoon."
Sedikit gurat kecewa disembunyikan dari romannya kendati mungkin masih kentara. "Apa kau akan pergi lagi?"
"Maafkan aku, sepertinya hari ini aku tak bisa menemanimu seharian ini. Kak Namjoon membutuhkanku mengurus kantor cabang," ungkapnya beserta intonasi bersalah. Lengannya terulur meraih rahang kurus sang gadis simultan mengelusnya lembut. "Aku janji, setelah urusan ini aku akan mengambil cuti agar bisa seharian, ah, tidak, kurang lebih seminggu menemanimu. Tak apa 'kan?"
Ada jeda sejemang sebelum menjawab. Ia tahu jika prianya ini orang sibuk, sehingga ia takkan egois meminta waktu sibuknya itu hanya untuk menemani dirinya. Kendati memang ia sangat menginginkan Soobin berada di sisinya untuk kali ini saja. Lantas birai senyumannya terpatri pada paras pucatnya. "Baiklah, tak apa. Hari ini aku bisa meminta adikku, Beomgyu, untuk menemaniku."
Soobin mengangguk senang. "Ya sudah, aku akan mengantarkanmu ke kamar, di luar sangat dingin."
Baru saja ia menghirup udara segar, ia harus kembali lagi masuk ke dalam ruangan yang berbau obat-obatan berbahan kimia yang nyalar menusuk ke dalam penghidu. Ia benar-benar tak menyukai aromanya, bahkan terlalu bosan hingga ia benci menciumnya.
Satu langkah Soobin melenggangkan tungkainya, ia takkan tahu apa yang terjadi ke depannya. Penyesalan setengah mati mampu mengejawantahkan dirinya layaknya mayat hidup.
...
Gimana? Ini baru prolog sih, lanjut jangan nih?
Tapi, kalian ga bilang lanjut pun aku tetep lanjut lah persediaan chapter dah ada wkwk. Eh, keceplosan.
Okay, seperti biasa permintaan dari sang pengemis, mohon dukungan vote beserta komennya, Moa! C ya! ♡
-ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top