5. Kabar dari Jauh

from: [email protected]

to: [email protected]

date: Jan 27, 2017, 21.52 PM

subject: Kabar dari Sinyo Inu di Belebas Langgas

Apa kabar Om dan Tante?

Saya di sini baik-baik saja, Om, Tante.

Besok hari raya Imlek, apa Tante sudah pergi sembahyang leluhur? Sewaktu saya masih kecil dulu, Om dan Tante selalu bikin acara makan bareng saat Imlek. Saya masih ingat betul. Pulang dari acara makan itu, kantong baju pasti penuh makanan dan angpau. Makanya, biarpun ndak merayakan Imlek, saya selalu ndak sabar nunggu imlek.

Saya bayangkan, hari ini Om pasti juga sibuk antar Tante belanja di pasar Gang Baru. Saya dulu juga suka merengek mau ikut belanja bareng Om dan Tante, kan? Soalnya ada aroma khas yang saya suka di gang-gang Pecinan Semarang itu. Aroma lezat mi pangsit di pengkolan gang.

Oya, di email yang Om kirim kemarin, Tante pengin tahu tentang tempat saya bertugas di sini, ya?

Selama di kota terdekat dari hutan Belebas Langgas, saya tinggal di kantor cabang Yayasan Asasta Semesta. Tempat yang dijadikan kantor ini sebetulnya rumah tinggal yang diubah fungsinya untuk keperluan kerja yayasan. Mumpung ada sinyal dan peralatan lengkap di sini, saya usahakan mengirim kabar sesering mungkin biar Om dan Tante ndak khawatir.

Dulu Om dan Tante pernah ajak saya jalan-jalan ke hutan kota Alas Penggaron, kan? Nah, kurang lebih seperti itu hutan Belebas Langgas. Biasanya saya berangkat dengan mobil jeep atau motor trail sampai ke desa terakhir. Perjalanannya makan waktu kurang lebih 3 jam. Di desa itu ada rumah kayu sederhana berlantai tanah yang dijadikan basecamp. Di basecamp, saya dan teman-teman akan berembuk. Lalu akan diputuskan siapa saja yang perlu masuk ke pedalaman untuk menjumpai suku asli Belebas Langgas dan siapa yang tinggal di desa terakhir.

Setelah beberapa bulan berpindah-pindah lokasi di pedalaman, akhirnya saya ditugaskan untuk membuka sekolah di basecamp. Saya dan teman-teman berencana mengajari bocah-bocah Belebas Langgas membaca dan berhitung.

Tidak seperti sekolah di Jawa, di sini tidak perlu meja dan kursi, kami duduk lesehan saja di teras, halaman, atau malah bertengger di cabang pohon terdekat. Kadang-kadang kami selesai belajar lebih cepat untuk berburu ikan di sungai atau berburu binatang liar di hutan.

Om ingat dulu Tante pernah melarang saya ikut kegiatan pencinta alam di SMA? Ternyata memang semua yang saya pelajari waktu jadi pencinta alam ndak terpakai, Om. Rasanya saya lebih banyak ngerepotin waktu berburu di hutan. Bocah-bocah Belebas Langgas ini pendekar hutan sejati. Mereka pemberani dan trampil. Ada yang namanya Unyak. Bocah yang baru genap lima tahun itu sudah mengalahkan saya saat berlomba naik pohon. Ada lagi yang namanya Lajur. Bocah pipi tembam yang usianya belum genap sepuluh tahun itu bahkan sudah bisa mengalahkan saya mencari jejak, memasang perangkap, juga ndak ragu memakai parang berburu.

Saya baru lumayan berguna waktu ngeluarin kamera buat bikin dokumentasi. Kalau sudah begitu, biasanya bocah-bocah tertarik ngumpul dekat-dekat. Mereka tanya ini itu tentang kamera. Bagaimana gambar bisa keluar di kamera? Waktu saya jelaskan bahwa lensa menangkap cahaya, mereka akan bertanya lagi. Ayam hutan dan rusa bisa ditangkap tapi bagaimana menangkap cahaya? Pokoknya pertanyaan-pertanyaan mereka selalu bikin gelagapan.

Pernah suatu kali bocah-bocah itu tanya, 'mengapa orang kota punya banyak barang?', 'apakah semua barang itu terpakai?'. Om bisa bantu jawab, ndak? Itu salah satu pertanyaan yang saya ndak tahu apa jawabnya.

Tim yang bertugas di basecamp selain saya ada dua orang lagi, Bang Alang dan Ibam. Bang Alang ini senior saya di Yayasan Asasta Semesta. Sementara Ibam datang bareng saya dari Jakarta.

Om dan Tante ingat Laily? Dulu sekali saya dan Om pernah hadir di kondangan nikah anak dari teman Ayah. Di sana pertama kalinya saya ketemu Pak Wis dan sekilas melihat Laily jadi pembawa acara. Lalu waktu Ibu meninggal, Laily membawakan titipan karangan bunga dari papanya. Saya baru tahu kalau papa Laily dan Pak Wis, pendiri Yayasan Asasta Semesta, adalah orang yang sama. Laily ikut bergabung dengan tim kerja kami di Belebas Langgas.

Saya juga baru tahu kalau Bang Alang diadopsi oleh Pak Wis saat lulus SMA. Mirip-mirip kayak saya yang diadopsi oleh Om dan Tante setelah Ayah ndak ada.

Mungkin Om kenal dengan Pak Wis juga? Beliau sempat mengatakan hal yang ndak saya mengerti. Beliau yakin kalau Ayah masih hidup. Ndak masuk akal, kan? Kalau Ayah masih hidup, kenapa ndak kembali?

Ah, saya jadi ingat. Sebelum berangkat ke Belebas Langgas, Om bertanya begini kepada saya, "Sinyo kenapa mau berangkat ke pedalaman? Apa Sinyo mau cari Ayah?"

Waktu itu, setelah Ibu ndak ada, saya cuma pengin menjauh sejenak. Tawaran kerja itu datang saat saya butuhkan. Mungkin ada benarnya yang Om bilang. Hati kecil saya selalu pengin tahu apa yang membuat Ayah rela keluar masuk pedalaman, jauh dari saya dan Ibu.

Sekarang setelah sampai di pedalaman, sepertinya lupa dengan alasan itu. Ada banyak hal baru untuk dipelajari di sini. Ada banyak kesulitan di belantara tapi ada lebih banyak lagi yang menyenangkan. Jadi menjawab pertanyaan Tante dulu, "Apa Sinyo senang di sana? Are you happy?"

Iya, Om dan Tante, I'm happy.

Om dan Tante juga, please stay healthy and happy.

Sungkem dari jauh,

Sinyo Inu Anugerah Utomo

***

Cerita Inu dalam Aperture adalah bagian dari The Journal of Rangers, yang hadir bersama:

Aperture by @langitrenjani

Wallflower by

Hiraeth by @pureagiest

Theatrica by

Skyline by 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top