3. Kita

Belebas Langgas, 2016 dalam catatan Inu


Minggu kedua Juli

Personil tim sekolah bertambah satu lagi dengan datangnya Laily, putri Pak Wis. Karena di basecamp cuma ada tiga bujang, Laily bakal mondok di rumah kepala kampung. Kedatangan Laily jadi kehebohan tersendiri gara-gara seekor ular hijau. Ular itu melayang jatuh begitu saja dari atas pohon, nyaris menimpa Laily. Laily tak sempat menjerit, cuma bisa melotot, mungkin kaget setengah mati. Untung Nambong bergerak cepat, memenggal kepala si ular sebelum ia mendarat di kepala Laily. Sepercik darah muncrat ke wajah Laily, warna merahnya kontras dengan wajah Laily yang pucat pasi sepanjang sisa hari.

Gara-gara kejadian itu, ada tugas tambahan dari Bang Alang yaitu menemani Laily ke pedalaman. Biar Laily belajar survival, kata Bang Alang. Duh, bakal nambah kerjaan.

Bang Alang bikin acara menyambut kedatangan Laily dengan tanding main basket bareng murid-murid. Bola basket bekas didapatnya di pasar waktu belanja ke kota. Ring basketnya dibikin dari rotan yang dijalin melingkar lalu digantung di pohon. Bocah-bocah menang telak lawan trio Alang-Ibam-Laily. Lumayan seru ternyata.

Minggu ini target menyusun metode membaca. Tugas yang bikin pusing. Tim yang dipimpin Bang Alang sudah berhasil mengajak bocah-bocah belajar. Tapi cara belajarnya utak-atik saja alias kacau. Murid-murid belajar sekenanya dari tulisan apa saja yang mereka lihat. Harus ada standar dan pengelompokan yang jelas untuk jenjang yang berbeda. Sebelumnya, harus dipastikan anak-anak mengerti huruf dengan benar, tidak terbolak-balik.

Ah, yang ini harus dicatat besar-besar. IBAM NGAJAK TARUHAN. Belum-belum Ibam bertaruh, Laily ndak akan bertahan lebih dari tiga bulan di Belebas Langgas. Jatah mi instan satu bulan taruhannya. Boleh juga!


Minggu kedua Agustus

Mulai minggu ini, tugas dapur pindah ke tangan Laily. Kata Bang Alang, kalau ndak ikut ke hutan, mendingan Laily bikin resto atau kafe. Baguslah, perut kami bakal terisi makanan enak. Dan lagi, kopi buatan Laily sedap.

Rasanya basecamp jadi lebih rame biarpun cuma nambah satu cewek mungil itu. Bocah-bocah yang datang juga tambah banyak. Mereka bilang Kak Laily tidak galak kayak Bang Alang. Mudah-mudahan mereka ndak kecewa kalau Laily nanti ndak bertahan.

Sejak ada Laily, terasa lebih fokus ke tugas dokumentasi dan persiapan bahan literasi. Ditambah satu lagi tugas baru, mengurus logistik. Logistik ternyata gampang-gampang susah. Logistik basecamp sangat minimalis, tetapi penduduk desa juga perlu dibantu untuk masalah transportasi barang-barang. Jarak ke kota terdekat sekitar 70 kilometer. Ndak heran ibu-ibu di desa selalu nitip alat dapur kayak panci, piring, dan rak. Lalu kain jarik dan sarung untuk mereka sendiri, suami, serta anak-anak mereka. Bahkan mereka juga nitip sepeda buat anak. Mobil jeep pembawa barang-barang titipan bakal sering berhenti karena orang-orang mengira barang-barang itu dijual bebas. Perlu bikin catatan yang lebih rapi soal logistik.

Logistik masih bisa dicari, tapi bahan literasi dasar sulit sekali. Di kota terdekat juga ndak lengkap. Menunggu personil yang datang dari Jawa kelamaan. Bahan literasi dasar yang ada kurang membumi jadi sulit dipakai. Banyak kosakata nama-nama benda yang tidak ada di sini. Benar kata Bang Alang, lebih baik bahan pembelajaran disusun sesuai kondisi lingkungan. Tapi lagi-lagi ini butuh waktu lebih lama.

Bang Alang ingetin lagi: jaga Laily. Kalau perlu, gandeng Laily selama di hutan. Jagain kalau-kalau jatuh. Bawel banget Bang Alang, persis induk ayam.


Minggu kedua September

Pembelajaran tak maju-maju. Apa yang salah? Murid-murid cepat menghafal huruf-huruf tapi kesusahan merangkainya jadi kata-kata. Saya ndak punya bekal ilmu apa pun soal bahasa. Harus banyak-banyak cari bahan tentang model ejaan.

Satu-satunya yang bisa dibilang keberhasilan dalam minggu ini adalah mengajari Laily melenyapkan pacet-pacet yang menempel di kakinya yang mungil. Kasihan juga. Laily ndak menyangka pacet-pacet yang semula sekecil lidi, setelah menghisap darah tahu-tahu jadi gemuk. Awalnya Laily agak histeris, ia bilang ndak ada yang kayak gini di Jawa. Ya tentu saja, ini kan bukan Jawa.

Minggu ini juga minggu penentuan hasil taruhan dengan Ibam. Ternyata, biarpun dengan susah payah menyesuaikan diri, Laily memutuskan untuk bertahan di Belebas Langgas. Bravo! Bakal dapat tambahan jatah mi instan dari Ibam yang kalah bertaruh.


Minggu kedua Oktober

Hajatan besar yang ditunggu-tunggu: panen madu hutan bareng suku Belebas Langgas! Jarang-jarang ada kesempatan kayak gini karena madu hutan enggak bisa dipanen setiap waktu. Pohon tempat sarang lebahnya pun khusus, biasanya kedondong hutan. Orang Belebas Langgas menyebutnya pohon madu.

Satu lagi yang bikin panen madu ini sulit karena cuma dilakukan malam hari biar para pemburu madu ndak diserang lebah. Sebelum para pemburu madu itu beraksi, mereka membuat obor dari sabut kelapa dan daun kelapa kering. Kemudian tangga rotan dipasang pada batang pohon.

Api obor bakal mengusir lebah-lebah penjaga hingga pemburu madu bisa mengambil sarang lebah, lalu memeras sarang dan menampung madunya dalam jirigen.

Yang ditunggu-tunggu dalam perburuan madu, bukan cuma madu keemasan yang manis, melainkan juga tangkapan larva lebah. Kata orang, sih, di Gunung Kidul juga ada kuliner tawon yang digoreng singkat setelah dibumbui bawang putih dan garam. Kalau di sini larva lebah yang putih dan gemuk itu langsung disantap segar, langsung setelah ditangkap. Rasanya manis empuk kayak marshmallow. Entah apa rasanya buat Laily, karena bola matanya yang besar itu nyaris melompat keluar, tampak susah payah menelan makhluk imut itu.

Ini kali pertama Laily ikut berburu madu. Sialnya lagi, Laily tersengat lebah. Bakal habis kena omelan Bang Alang. Untung sewaktu balik ke basecamp, Bang Alang tidak ada, ia pergi menemani surveyor ke sisi lain hutan.


Minggu kedua November

Kami mulai menerapkan metode mengeja dengan menyebutkan nama-nama benda yang sering dilihat anak-anak Belebas Langgas. Masih banyak yang salah eja, tapi setidaknya murid-murid bersemangat.

Diskusi kami minggu ini tentang murid perempuan yang jumlahnya lebih sedikit daripada murid laki-laki. Dengan adanya Laily mestinya lebih mudah membujuk anak-anak perempuan agar ikut belajar. Bang Alang dan Ibam pesimis. Adat susah dilawan, kata mereka. Meskipun beda pendapat tetapi percuma adu pendapat dengan Bang Alang yang lebih senior. Di luar dugaan, Laily ndak sependapat dengan Bang Alang. Laily yakin dia bisa membujuk anak-anak perempuan agar mau ikut belajar. Boleh juga semangatnya! Mudah-mudahan kalau ndak berhasil, ia ndak patah semangat dan minta balik. Soalnya kami semua sudah terbiasa dengan kopi dan masakan Laily, sayang juga kalau ia pulang ke Jakarta.

Laily berkeras untuk ikut belanja ke kota di akhir minggu. Ia menggantikan tugas Ibam membuat rekapan catatan logistik basecamp. Ia juga sibuk membuat daftar belanja titipan ibu-ibu di desa. Seharusnya semuanya beres. Kalau saja ia ndak pelupa dan ceroboh.

Ternyata sampai di pasar, tak satu pun catatan yang dibawa Laily. Semua catatan tertinggal di basecamp. Untung masih bisa ingat sebagian besar yang ada catatan logistik. Sebagian lagi yang terlupa terpaksa membuat kecewa ibu-ibu di desa.

Kacau! Pengin misuh tapi ....

Wajah Laily memerah. Mungkin ia takut kena marah. Tapi matanya itu. Bulat. Begitu jernih. Persis air sungai di hutan Belebas Langgas, tempat anak-anak main waktu hawa terlalu panas. Airnya sejuk.

Saya ndak mungkin bisa marah padanya.

Saya ingin merekam binar mata yang sejuk itu dengan lensa kamera. 

*** 

Cerita Inu dalam Aperture adalah bagian dari The Journal of Rangers, yang hadir bersama:

Aperture by @langitrenjani

Wallflower by 

Hiraeth by @pureagiest

Theatrica by 

Skyline by 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top