12. Let's Go See The Stars
Bandara Soekarno-Hatta, Januari 2020 satu hari setelah reuni
Setelah reuni, apa yang tersisa?
Acara reuni berulang lagi di benak Inu. Satu per satu sahabatnya muncul dan berkumpul, seperti dulu. Inu, Rendy, Bagus, Alya, dan Anye, mereka berlima kembali menjadi Rangers. Sayang ada kejadian tak terduga akibat kedatangan tunangan Rendy yang membuat mereka pamit lebih awal. Tapi tak apa. Rasa nostalgia yang mereka cicipi akan cukup untuk merekatkan kembali persahabatan yang sempat terpisahkan waktu.
Inu senang melihat semua sahabatnya baik-baik saja. Juga lega mendapati Alya, yang sempat sekilas dilihatnya Alya di rumah sakit, terlihat sehat.
Dan Anye, rasanya seperti mimpi bisa membawa Anye yang dikaguminya menikmati cahaya malam di dermaga. Sesuatu yang dulu tidak berani Inu bayangkan. Penutup reuni yang sempurna.
Namun pagi itu, Inu terbangun oleh omelan Alang lewat telepon. Alang baru tahu bahwa jadwal penerbangan Inu ternyata hari ini.
"Kalau semua yang kukatakan masuk telinga kiri langsung keluar telinga kananmu, lebih baik anggap saja enggak pernah kenal di Belebas Langgas!" teriak Alang dingin. Tidak pernah kenal adalah ucapan yang hanya diucapkan ketika dua orang Belebas Langgas bermusuhan sampai ke anak cucu.
Cepat-cepat Inu minta maaf, mencoba menjelaskan. "Saya harus balik karena ada yang harus diselesaikan di sana, Bang. Kalau setelah itu saya benar-benar harus tugas belajar, saya akan—" Alang menutup teleponnya sebelum Inu selesai berkata-kata. Berikutnya telepon dari Lili yang membuat jantung Inu nyaris berhenti berdetak.
"Aku di depan," ucap Lili pendek.
Inu melongok ke luar. Lili sudah menunggu di belakang kemudi mobilnya.
Banyak hal yang ingin ditanyakan Inu tapi hanya satu yang keluar dari mulutnya. "Kamu mau antar ke bandara?"
Anggukan singkat gadis itu membuat Inu buru-buru meraih ranselnya dan setengah berlari masuk ke mobil.
"Mas Inu enggak kasih tahu kalau balik hari ini!" Terdengar jelas nada kesal dalam kata-kata Lili.
"Kamu ndak nanya, Li. Dan kemarin saya sebetulnya mau telepon tapi sudah kemalaman setelah antar Anye pu—"
"Anye?" potong Lili.
Inu mengangguk, tak mengerti kenapa Alang dan Lili, kedua abang dan adik ini suka sekali memotong kata-katanya sebelum selesai terucap. Dan kenapa Lili kelihatan kesal?
"Naya, lalu Alya, terus Anye ...."
Telinga Inu tidak bisa menangkap ucapan Lili dan hendak bertanya tapi Lili mengangkat tangannya, membuat Inu terdiam.
"Lebih baik Mas Inu jelaskan kenapa nekat balik sekarang, supaya bisa jawab kalau ditanya Bang Alang!" tukas Lili.
"Saya harus terbang karena sudah beli tiket bolak-balik dan memang masih ada yang harus diselesaikan di Belebas Langgas."
"Gara-gara ini aku kena semprot Bang Alang," gerutu Lili masam.
"Ah, jadi karena itu kamu datang lagi?" Rasa kecewa menyelip di hati Inu sewaktu tahu kalau Lili datang karena disuruh oleh abangnya.
"Aku juga mau berpamitan," ucap Lili pelan.
Mata Inu terbelalak.
"Mas Inu ingat, tentang hari terakhirku di Belebas Langgas? Waktu saya menggambar teko kopi di awan?"
Ragu-ragu Inu mengangguk.
"Mas Inu ingat dulu aku pengin bikin kopi nusantara kita lebih dikenal?"
Inu mengangguk lagi, masih tak tahu harus menjawab apa.
"Aku akan berangkat ke Melbourne untuk belajar bisnis kopi."
Inu terdiam, tidak tahu akan berkata apa. Jika bertemu hanya untuk berpisah lagi, lalu apa arti pertemuan mereka. "Li, apa kamu bakal balik lagi ke sini?"
Gadis itu hanya mengangkat bahu. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, membisu sampai tiba di area bandara. Inu tahu orang tua Lili sudah meninggal dan Bang Alang menjadi satu-satunya keluarga bagi Lili.
"Aku enggak ikut turun," ucap Lili, menyodorkan tangannya untuk salam perpisahan.
Inu menarik uluran tangan Lili, setengah mendekapnya tapi tertahan oleh sabuk pengaman.
"Saya menunggumu di sini, setelah serah terima tugas di Belebas Langgas. Kata Bang Alang tugas saya berikutnya adalah studi lanjut." Ucapan Inu terdengar seperti janji.
Lili tampak terkejut lalu tiba-tiba tertawa dengan mata berkaca-kaca. "Camera Boy! Kamu pasti belum baca berkas penugasanmu berikutnya, ya? Bang Alang bakal ngamuk kalau tahu kamu belum buka berkasnya!"
Inu mengangkat alis, berusaha mengingat di mana dia meletakkan kedua berkas yang diserahkan Bang Alang. Berkas yang berisi riwayat hidup papinya sudah dibereskannya sesuai instruksi, tetapi yang satu lagi belum disentuhnya. Inu memang tidak berniat melepas tanggung jawab yang belum selesai di Belebas Langgas.
Sekali lagi Inu menarik Lili lebih dekat, kali ini dengan perasaan tidak rela ketika harus melepasnya. Tapi Inu harus bergegas jika tidak mau ketinggalan pesawat.
Mendekati counter check-in, lagi-lagi langkahnya terhenti oleh dering ponsel. Kening Inu mengernyit, matanya terpusat pada layar. Panggilan dari nomor berkode +61. Aneh, Inu tidak merasa punya kenalan di Australia. Mungkin panggilan salah sambung. Dua kali Inu menekan tombol penolakan.
Namun ponselnya kembali berdering. Kali ini nomor yang dikenalnya dengan sangat baik. Suara Bang Alang setengah berteriak terdengar begitu tombol penerima ditekan.
"Camera Boy, angkat teleponnya! Sponsormu mau bicara!" kata Bang Alang tegas, lalu langsung mematikan panggilan.
Detik berikutnya ponsel Inu mendapat panggilan video dari nomor berawalan +61 yang sejak tadi berusaha menghubungi. Inu menghentikan langkah, memandang dengan teliti wajah yang tampak pada profil. Wajah yang tak asing di ingatannya. Dulu foto yang sama terpasang di rumah Inu. Berdampingan dengan foto Inu dan Ibu di dinding rumah. Gemetar Inu menekan tombol penerima.
"Hello?" Seraut wajah laki-laki sepuh, mengucap salam dalam bahasa Inggris dengan aksen Australia yang kental tampak di layar.
"Inu, is that you?" kata lelaki di seberang.
Inu seperti melihat wajahnya sendiri, dalam versi yang lebih tua.
Ransel Inu luruh dari pundaknya yang melorot. Matanya terpaku menatap wajah yang dirindukannya sejak menginjak umur lima tahun. Mulutnya menganga, terasa kering hingga tak mampu berkata-kata. Terlintas kembali alunan gitar Ayah, masakan buatan Ayah, dan jejak samar kenangan yang datang kembali meskipun telah terputus bertahun-tahun. Demi Ayah, Inu masuk ke hutan, berharap menemukan jejak-jejak yang tertinggal dari seorang petualang hutan yang tak pernah pulang.
"Inu, ini Ayah."
***
Cerita Inu dalam Aperture adalah bagian dari The Journal of Rangers, yang hadir bersama:
Aperture by @langitrenjani
Wallflower by
Hiraeth by @pureagiest
Theatrica by
Skyline by
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top