Apapun Dirimu 6
Bagian 6
Janin
Nagisa berjalan menuju dapur dan mengambil benda perak dan tajam dari lemari atas. Mengenggam dengan mantap sebuah pisau tajam yang akan ia gunakan untuk menggores pergelangan tangannya. Dia telah membayangkan ini berkali-kali. Dirinya tidak memiliki siapapun dalam hidup. Mati sendiri dalam kamarnya saat ini, juga sudah pernah terbersit di pikiranya. 'Ini akan mudah' Pikirnya. Nagisa bersiap-siap melakukanya dengan sekali gores. Dia akan meakhiri semuanya di sini.
Hentikan pikiran konyol dan anehmu Nagisa!
Nagisa mendengar sebuah suara dari kepalanya. Suara laki-laki yang selalu ada untuknya.
Aku tidak akan lama Nagisa. Tunggulah aku. Jangan melakukan hal-hal konyol yang mencelakakan dirimu.
Lagi-lagi suara pria itu terdengar jelas di kepalanya. Sekarang ia teringat tatapan laki-laki itu, dan pelukkannya. Merasakan kehangatan, dan wangi yang menguar dari tubuhnya. Ia merinduk semua itu. Ia ingin bertemu dengannya. Dia tidak ingin mati, dan tak dapat melihatnya lagi.
Pegangan terhadap pisau yang tadi akan ia pakai untuk menyakiti dirinya telah mengendur, dan membuat pisau tersebut tejatuh ke lantai. Nagisa tidak dapat lagi membendung airmatanya. Membuatnya mengalair tanpa henti melalui pipi, terduduk dalam posisi, dan menangis tanpa suara.
"Nobi-chan.... Nobi-chan.... Satoru... Satoru.... hu~ SATORUUUUUUU..."
oo0oo
Apapun Dirimu
oo0oo
Dilarang copy fic ini
Cup Chocochip
DEG
Satoru merasakan perasaan itu lagi. Firasat itu mengancamnya lagi. Pastinya hal ini membuatnya frustasi. Ia sudah tidak dapat menahanya.
"Haruka, aku rasa aku harus segera kembali ke Jepang. Aku sudah terlalu lama di sini." Satoru menggengam tangan Haruka lembut.
"Aku tidak tau harus mengatakan apa lagi padamu Satoru. Kau adalah penyelamat kami." Haruka memeluk Satoru, merasa ingin menagis di sana. Satoru pun membalas pelukan itu dengan hangat.
"Itu sudah kewajibanku. Aku akan menggalkan Konan dan Sigemoto bersamamu. Mereka akan menjagamu. Kau juga harus melindunginya." Katanya sambil melihat pintu didepanya.
"Sampai jumpa di Tokyo." Kata Haruka.
Satoru mendekat dan mengecup dahi Haruka dengan lembut sebagai ucapan selamat tinggal.
"Sampaikan salamku untuknya. Berhati-hatilah, dan kabari aku kalau terjadi sesuatu," Satoru melepas pelukanya. Meinggalkan Haruka di depan ruang tunggu sebuah ruangan di rumah sakit.
Satoru bergegas menuju hotel tempatnya menginap. Ia mengeluarkan ponsel yang baru ia beli untuk menelfon Tori dan menyuruhnya menyiapkan pesawat untuk besok. Tidak tanggung-tanggung, ia menyuruhnya menyiapkan pesawat itu pukul 05.00 pagi. Bukan karena macet pastinya. Alasanya tidak lain adalah karena ia ingin segera bertemu Nagisa.
Terakhir ia meinggalkan Nagisa dalam kondisi yang tidak baik. Ia takut terjadi apa-apa. Dan firasat buruk yang selalu menyertainya di Hawai, langsung memperlihatkan wajah Nagisa.
Ia sudah tidak tahan lagi. Ia ingin melihat Nagisa berada di sisinya, dan tersenyum untuknya. Ia ingin mendengar suara lembutnya, tingkah konyolnya, memeluknya dan mengatakan,
'Aku merindukanmu'.
Dilarang copy fic ini
Cup Chocochip
Satoru menginjakan kaki di kantornya sekitar pukul 12.00 di Jepang. Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah mencari Nagisa.
Sesampainya dalam ruangan miliknya di kantor Hasegawa Corp, Nohara langsung berdiri dan menyambut kedatanganya. Dia ingin sebuah penyambutan tapi bukan dari Nohara. Sekali lagi ia melihat dan menelusuri seluruh ruangan, tapi tetap tidak ada.
"Dimana Nagisa?" Kata Satoru pada Nohara ketika ia menyerah dalam pencarian.
"Hasegawa-sama, Saya menemukan surat ini beberapa hari yang lalu di meja anda." Nohara memberikan sebah surat beramplop coklat, dan langsung dibuka Satoru di tempat. Tidak butuh waktu lama untuk Satoru mengetahui isi surat tersebut.
"Berengsek!" Umpatnya.
Segera saja Satoru berlari keluar rungan tanpa mempedulikan setiap karyawanya yang menghormat untuknya. Dengan langakah setengah berlari ia menuju parkiran. Masuk dalam mobil Sport milknya, kemudian melesat bersamanya.
Dilarang copy fic ini
Cup Chocochip
Cklek....
Suara pintu terbuka
"Nagisa?" kata Satoru masuk dalam ruangan tanpa permisi. Ia memiliki kunci duplikat aparetemen yang biasa ia gunakan saat Nagisanya mengalami siklusnya. Berbeda dengan kondisi normal, saat ini apartemen itu sangat berantakan dengan berbagai macam bungkus roti, makanan pesan antar, minuman, cup ramen, dan masih banyak lagi. Selain itu bau makanan basi kini mendominasi udara dalam ruangan, menandakan Nagisa yang sama sekali tidak membersihkan kamarnya.
"Nobi-chan? Apa kau di sana?" Terdengar suara lirih dari tempat tidur yang gelap hingga Satoru belum bisa melihat siapa pemilik suara halus itu. Walau dia telah menebaknya dengan sangat benar.
"Kau sudah pulang? Mana Haruka. Apa kau sudah makan? Aku hanya punya roti manis. Apa kau mau?" Kata Nagisa mencoba berdiri, dan lansung limbung karenanya.
Satoru langsung berlari untuk menangkapnya.
Berat tapi dingin, adalah dua kata yang Ia rasakan saat Nagisa dalam pelukan.
"Nagisa? Ada apa denganmu?" Nagisa memberontak dan mencoba melepaskan diri dari cengkraman Satoru.
"Tidak ada apa-apa. Lepaskan aku! Aku akan membuatkanmu teh....!" Tapi percuma, tenaga Nagisa tetap tidak dapat menyaingi kekuatan Satoru yang mencengkramnya. Satoru tidak sengaja menyentuh perut Nagisa yang tertutup oleh pakaian yang terlalu besar. Dan itu membuat Satoru terkejut hingga melepaskan pelukan.
"Nagisa, perutmu sangat keras dan-" Satoru mencoba memilih kata yang tepat. " -membuncit?"
"Buakan apa-apa Nobi-chan."Nagisa melangkahkan kakinya menuju dapur meninggalkan Satoru yang kini mengawasi tingkah Nagisa. Satoru melihat Celengan Ayam milik Nagisa tergeletak di atas kasur, mengabilnya dan langsung terbelak ketika membaca kata-kata yang tertulis pada dada ayam tersebut.
ABORSI
Satu kata itu membuat Satoru segera menyadari apa yang sedang terjadi. Ia menatap sosok Nagisa yang berada tidak jauh darinya. Sejenak memperhatikan sosok pendek, wajah lelah sepucat mayat, mata yang menonjol dengan kantung mata dan lingkar hitam, dan yang paling tidak dapat di maafkan adalah tonjolan di perut yang sama sekali tidak berimbang dengan tubuh kurus itu. Satoru merasakan amarah yang besar pada dirinya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi pada Nagisa? Apa itu adalah hasil perbuatanya dulu. Ataukah ada orang lain selain Satoru?
Satoru segera bergerak menuju Nagisanya. Menghentikan apa yang sedang dilakukannya saat ini.
"Bisa kau jelaskan apa ini?" Satoru menunjukan celengan tersebut kepada Nagisa.
"Bukan urusanmu." Nagisa mengambil celengan tersebut dari Satoru dengan kasar.
"Nagisa, Kau hamil?" Satoru merasa hatinya tertekan atas berita yang baru saja ia terima. Yang lebih mengherankan adalah ekspresi Nagisa yang tidak peduli.
"Tidak akan lama. Ini akan segera berakhir." Nagisa hendak beranjak pergi, sebelum Satoru menghentikanya dengan sebuah cengkraman pada lengan.
"Nagisa?" Kata Satoru memohon untuk mendapat penjelasan.
"Kebetulan kau ada di sini. Bisa kau antar aku ke rumah sakit Tokyo?" Tanya Nagisa santai.
"Untuk apa kau ke sana?"
"Kau tidak mendengarku? Aku akan mengakhiri ini. Aku akan mengeluarkannya." Dalam nada tak berpersaan.
"Nagisa, kau akan menggugurkan janinmu?" Terkejut oleh tindakan sahabatnya. Nagisa yang ia kenal adalah seorang penyayang yang menghormati setiap kehidupan. Nagisa yang menengorbankan payungnya untuk memayungi anjing terlantar, dan memilih pulang basah kuyup. Ingin membunuh darah dagingnya sendiri.
"Ya, kau benar. Jadi, apa kau tidak mau mengantarku? Kalau begitu aku akan pergi sendiri saja." Nagisa hendak meninggalkan kamar sebelum lengan kanannya ditarik kembali.
"Baik, Baik aku akan mengantarmu." Kata Satoru cepat. Ia sudah kehilangan daya untuk berpisah dengan Nagisa. Mungkin ia akan mencoba membujuknya perlahan agar mengurungkan niatnya.
Satoru melihat Nagisa telah mengenakan swtter coklat gelap nyaman dan membawa celengan ayam bersamanya.
"Untuk apa kau membawa celengan itu?"
"Isi celengan ini yang akan mengelurkan benda dalam tubuhku segera. Walau masih belum cukup, itulah kenapa aku sangat berterimakasih atas kedatanganmu hari ini. Kau pasti menolongku kan, Satoru?"
Terkejut oleh tawaran Nagisa yang secara tidak langsung mengajak Satoru, untuk bersekongkol membunuh darah daging mereka.
"Na-Nagisa? Apa yang terjadi padamu. Kenapa kau sangat kejam pada anak kandungmu sendiri?" Satoru hampir ingin menampar Nagisa. Bukan dalam artian ingin menyakiti ataupun marah. Tapi hanya ingin menyadarkan sahabantnya agar kembali pada sosok lamanya. Bukan sosok pembunuh berdarah dingin seperti yang ia temui saat ini.
"Dunia ini kejam Nobi-chan. Jika kau ingin selamat, maka kau harus lebih kejam dari itu." Kata Nagisa lancar. Sudah tidak tersisa lagi belas kasih dalam hatinya untuk maluk yang berada di perutnya saat ini.
Kini Satoru sadar, cahaya itu sudah lenyap dari mata Nagisa. Mata yang selalu bersinar ketika berbicara padanya. Kini telah redup dan kosong tanpa nyawa.
"Nagisa."
Satoru bergerak maju untuk memeluk Nagisa dengan erat. Nagisa hanya berdiri tanpa membalas pelukan pria itu. Tidak ingin menyerah, Satoru mempererat pelukanya. Tapi yang Ia rasakan hanya seperti sedang memeluk benda mati, dimana tidak ada penolakan maupun respon dari penerimanya.
Hatinya tidak terima. Kenapa Nagisa berubah seperti ini? Apa yang terjadi selama dirinya pergi? Kemana perginya Nagisa yang hangat dan ceria. Yang tertinggal hanya Nagisa yang dingin dan tidak berperasaan. Apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan Nagisa lamanya?
'Kembalikan Nagisaku! kumohon.... Kembalilah...' Pinta Satoru dalam keputusasaan. Satoru masih enggan melepas pelukannya, walaupun Nagisa kini meronta dalam dekapan pria itu.
'Tidak Nagisa, sampai kau kembali padaku, tidak ada kata lepas untukmu.'
Cup. Chocochip
Don't copy paste my story
Dalam perjalan menuju rumah sakit.
Satoru tidak membawa Nagisa ke RS. Saitama, melainakan menuju rumah sakit elit keluarga Hasegawa, RS. Yamaita. Nagisa sempat protes dengan apa yang dilakukan Satoru. Tapi Satoru saat ini bukan Satoru beberapa saat yang lalu. Ia berpendapat, menuruti keinginan Nagisanya saat ini malah akan membuat perkara menjadi lebih berat.
Sesampainya disana, Satoru langsung menemui resepsionis untuk menyatakan tujuan kunjungannya. Tanpa surat, tanpa antri, Satoru dan Nagisa langsung diantar menuju sebuah ruangan pemeriksaan yang canggih dan berkelas.
Ini ya, pengaruh orang kaya? Pikir Nagisa.
Lalu datanglah seorang laki-laki berusia 29-31 tahun di depan mereka. Memakai jas putih khas dokter, berambut hitam, berkacamata kotak, dan berperawakan tinggi.
"Selamat siang Hasegawa-sama" katanya sopan.
"Selamat siang, Ito-sensei," balas Satoru.
Setelah perkenalan singkat bersama Dokter Ito, Nagisa menceritakan mengenai diagnosa dokter klinik yang menyatakan dirinya hamil. Ito terlihat sangat terkejut dengan kondisi yang dialami Nagisa. Ini adalah sebuah kasus langka baginya. Menangani kehamilan pada seorang Interseksual akan membuat pamornya sebagai dokter naik. Tetapi ia lebih terkejut lagi ketika Nagisa menjelaskan mengenai keinginannya untuk menggugurkan kandunganya.
Demi mempertahankan pasien langka di hadapanya, Ito menyuruh Nagisa untuk berbaring di atas ranjang pemeriksaan, untuk mencoba membujuk Nagisa tidak menggugurkan kandugannya. Seorang suster membawakan sebuah alat yang seperti sebuah monitor dengan penyangga tiang tinggi seperuh badan, menuju sebelah kanan ranjang pemeriksaan.
"Dari detak jantunganya, bayimu cukup sehat Nagisa. Apa kau mau mendengarnya?" Nagisa tidak berekasi dengan apa yang dikatakan Ito. Pikiranya hanya menerawang tentang berapa lama lagi sebelum benda yang ada dalam perutnya dikeluarkan.
Melihat reaksi pasiennya yang datar dan terkesan acuh, Ito memutuskan langsung memperkeras suara dari alat yang ia gunakan untuk memeriksa detak jantung bayi hingga seluruh ruangan mampu mendengarnya.
Dug, dug, dug, dug
Nagisa terbelak oleh suara yang berasal dari perutnya.
'Suara apa itu? apa itu detak jantung miliknya? Tidak mungkin! Alat itu tengah meraba bagian bawah perutnya, bukan dada kirinya. Bagaimana bisa timbul ritme itu? Suara kehidupan itu? Kenapa itu bisa disana?'
Nagisa akhirnya sadar bahwa sesuatu yang selama ini Ia sebut benda, kini telah memiliki nyawanya sendiri.
Rupanya bukan hanya Nagisa, Satoru pun terkejut oleh detak jantung kehidupan baru ada dalam diri Nagisanya. Ia nyaris berlari dan ingin memeluk Nagisa yang kini ada di atas ranjang pemeriksaan. Tapi ia urungkan mengingat kondisi mental sahabatnya itu.
"Coba dengarkan suara detak jantung Nagisa junior di sini. Dia bertahan. Kau harusnya menyemangatinya. Mungkin dalam tiap detakan yang kau dengar saat ini adalah ucapan terikasihnya padamu, karena telah menjaganya dalam dekapmu." Nagisa terdiam mendengar penjelasan Ito. Hatinya perih. Ia merasa berdosa, dan mulai memikirkanya kembali. Apakah tindakan ini adalah yang terbaik baginya.
"Hasegawa-sama, anda bisa kemari sebentar? Sebentar lagi saya akan menggunakan USG untuk mengecek kondisi anak anda," Satoru terbelak dengan perkataan Ito, tapi tak pula berani mengelak.
"Coba lihat dia hampir terlihat sempurna." Ito memperlihatkan sebuah gambar tiga dimensi sebuah janin yang sudah hampir sempurna pada layar monitor. Walau wujudnya masih jauh dari kata manusia, tapi sepanjang pengetahuan Satoru yang telah mempelajari ilmu biologi selama sekolah, dirinya tau, bayi Nagisa dalam kondisi baik-baik saja.
Nagisa langsung menutup mulutnya dengan tangan, takut akan adanya suara terkejut yang akan keluar dari mulutnya. Apakah itu mahluk yang selama ini mendiami tubuhnya. Mahluk mungil yang tidak tahu dari mana dia berasal, yang mengacaukan hidupnya. Tapi perasaan benci itu tidak lagi menguasai pikiran Nagisa. Kali ini terasa berbeda. Adalah rasa ingin tahu.
Bagaimana bisa bayi itu ada didalam tubuhnya?
Bagaimana kondisinya?
Bagaimana wajahnya nanti?
Laki-laki atau perempuan?
Akankah ia akan terlihat seperti dirinya?
Apakah sikapnya akan sama sepertinya?
Dan dapatkah ia membesarkannya dengan baik nanti?
Terlalu banyak pertannyaan yang tidak bisa terjawab.
Nagisa memalingkan wajahnya dan langsung menagis. Ia sudah bertekat untuk membunuh apa yang ada dalam tubuhnya saat ini. Tapi apa yang ada dipikiranya saat ini, malah membuatnya merasa sangat berdosa, untuk rencananya membunuh darah bayi tidak berdosa. Karena ia telah menerima keberadaan anak yang ada dalam rahimnya.
"Ada apa Nagisa?" Tanya Satoru mendapati Nagisa yang telah memalingkan wajah dari layar yang menampilkan janinnya.
"Dia hidup-" Tak dapat berkata lebih dari itu. Kalau mungkin suara tangisnya akan pecah di tengah kalimat panjangnya.
"Tentu saja. Karena dia bersamamu." Satoru menggengam tangan Nagisa untuk menenangkannya.
"Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan memiliki seorang anak Satoru. Bagaimana kalau nanti dia membenciku karena mempunyai ibu yang tidak normal," lelehan itu mengalir semakin deras di pipi Nagisa, membasahinya lembut untuk mengurangi tekanan batin.
Satoru menyentuh pipi basah itu dengan lembut, menyingkirkan lelehan sebening Kristal, pada kulit halus Nagisa. Memandangnya penuh arti, kemudian menyatakan pendapatnya.
"Kau tak hanya akan menjadi normal untuk anakmu, kau akan menjadi ibu yang sempurna untuknya. Aku tahu kau bisa, karena ibumu juga melakukan hal yang sama. Kau selalu menceritakan padaku bagaimana ibumu. Tentang ketulusan, kelembutan, dan kasih sayanganya. Sekarang giliranmu untuk membuat anakmu merasakan hal yang sama. Limpahkan cintamu padanya, berikan dia pengertian tentang arti cinta sejati, seorang ibu terhadap anaknya," Itu adalah kata-kata paling menyentuh yang pernah Nagisa dengar dari sosok Satoru.
Selama yang Nagisa tau, Satoru selalu terkesan cuek dan tidak peduli saat dirinya berceloteh riang mengenai ibunya. Bahkan Satoru pernah cukup marah pada Nagisa, karena terlalu sering bercerita tentang keluarga kecilnya. Dan berakhir dengan penjelasan Haruka mengenai ibu kandung Satoru yang tidak peduli terhadap anak-anaknya. Satoru kecil kurang mendapat kasih sayang dari keluarganya, marah terhadap Nagisa yang lebih beruntung darinya. Akhirnya Nagisa mengerti dan mencoba menghentikan egonya untuk bercerita tentang keluarga.
"Aku tidak tahu Satoru. Bahkan dalam hidupku. Aku tidak pernah sekalipun berfikir akan membesarkan seorang anak. Bahkan sama sekali tidak berani membayangkan untuk memiliki sebuah keluarga." Nagisa meluapkan pemikiran yang telah ia simpan. Merasa tidak dapat menanggung semuanya sendiri, mengetahi Nobi-chan yang telah kembali, saatnya ia membagi semua deritanya.
"Kau masih memilikiku. Aku akan menjadi ayah untuknya," suara tulus itu menggetarkan hati Nagisa. Ia menatap Satoru dalam rasa terimakasih mendalam untuk sahabatnya itu. Tapi entah kenapa, pernyataan itu sama sekali tidak mengejutkan untuk Nagisa. Bahkan Ia telah menebak kata-kata itu. Seolah ada yang telah berbisik, bahwa 'Satoru adalah ayahnya.'
"Kau tidak perlu melakukan hal itu Nobi-chan. Kau akan jadi ayah dari anak-anak Haruka." Nagisa teringat siapa dirinya, dan siapa Satoru. Hal yang membuat dirinya merasa sendiri lagi.
"Tidak lagi Nagisa. Kami sudah memutuskan untuk berpisah." Satoru tersenyum penuh arti pada Nagisa.
. . . . ...........................
"Hah?" satu kata Nagisa yang mngartikan seribu pertanyaan.
"Apa kalian mau mendengarkan penjelasanku tentang anak kalian?" Potong Ito dengan riang, merasa telah mendapatkan durian runtuh. Interseksual yang hamil anak direktur rumah sakit tempatnya bekerja.
"Iya Ito-Sensei silahkan." Kata Satoru mempersilahkan." Nanti akan aku ceritakan di rumah." Pada Nagisa yang masih menujukan wajah penuh tanya.
"Aku senang kau tidak jadi menggugurkannya Nagisa. Tapi kita memiliki masalah lain. Kau lihat disini!" Ito menunjuk sebuah titik dalam monitor
"Aku akan menjelaskaan dengan cara yang paling mudah agar kalian mengerti," pengertian Ito terhadap Nagisa.
Demi membalas kebaikan hati si Dokter. Untuk pertama kali dalam dua bulan terakhir, Nagisa menyuguhkan kembali senyum manis berlesung pipi miliknya. Ito pun balas tersenyum dengan ikhlas. Baru pertama kali Ito melihat Nagisa tersenyum, dan ia mampu melihat ketulusan yang besar disana. 'Dia orang yang baik,' pikir Ito.
"Kau lihat, kau punya organ laki-laki. Disekitar organ itu, banyak terdapat pembuluh darah dan sayaraf yang berhubungan dengan respon dari otak. Kalau pembuluh darah pada sekitar area rahim mengalami kontaraksi pada saat akan melahirkan. Jalan lahirnya akan membelah area vagina sampai area organ reproduksi priamu. Pembukaan itu akan menyebabkan pembuluh darah utama pada testis juga ikut sobek. Dan yang paling buruk adalah, pendarahan hebat akibat sobeknya area vital yang akan membuat Nagisa kehilangan banyak darah. Hal tersebut sangat berbahaya untuk Nagisa maupun bayinya. Kemudian kemungkinan besar organ reproduksi laki-lakimu tidak akan dapat berberfungsi, walau kau telah menjalani oprasi."
Deg
Nagisa yang masih berada di atas ranjang pemeriksaan, langsung mencengkram lengan baju Satoru. Hatinya tidak terima. Dia tidak akan bisa menjadi laki-laki seutuhnya. Walaupun organ laki-lakinya tidak pernah berfungsi. Setidaknya saat ini ia masih punya harapan untuk dapat menjadi laki-laki seperti impiannya. Tapi bila harapan itu juga kandas. Apa yang akan ia lakukan? Juga bayinya. Bgaiamana dengan bayinya? Apakah Satoru akan bersedia merawat anak yang bukan darah dagingnya bila dirinya mati. Seluruh pikiran itu membuat badanya bergetar takut dan lebih mempererat cengkraman pada lengan baju Satoru.
Satoru melepas cengkraman tangan Nagisa dengan lembut, dan mengganti dengan tangan kirinya. Hingga kini mereka saling bergandengan tangan. Nagisa yang terduduk pada ranjang pemeriksaan, diarahkan kepalanya untuk bersandar di dada Satoru yang kini berdiri di sampingnya. Ia mengusap rambut Nagisa dengan lembut untuk menenangkan.
Ito yang melihat wajah kehawatiran pada pasiennya. Akhirnya melanjutkan penjelasan.
"Kalian tidak perlu setakut itu. Kita bisa mencegah hal tersebut agar tidak sampai terjadi. Kau bisa mejalani oprasi caesar. Kita akan menunggu sampai bayimu cukup siap untuk dilahirkan. Tanpa menunggu jalan lahirnya terbuka, kami akan mengeluarkan bayimu, hingga baik keselamatan ibu dan bayi akan terjamin setelah melahirkan." Ito memberikan senyum terhangat pada Nagisa.
Sepertinya kata-kata sudah tidak mampu melambangakan perasaan mereka saat ini. Kelegaan yang dirasakan tidak dapat terungkap dalam sebuah kata maupun kalimat. Satoru memeluk Nagisanya lebih erat sebagai rasa trimakasih. Sedangkan Nagisa hanya dapat menagis dalam dekapan Satoru. Ia menumpahkan segala kegelisahan dan kebahagiaanya dalam pelaukan orang yang beberapa jam yang lalu, sangat ia rindukan keberadaanya. Tidak ingin menyianyiakan kebersamaan mereka lagi.
Seandainya mungkin, Nagisa ingin memiliki Satoru seutuhnya. Dengan egois, tidak bersedia membaginya dengan siapapun juga.
Dilarang copy fic ini
Cup Chocochip
Nagisa tertidur ditengah perjalanan pulang. Satoru langsung mengendongnya ala bride style ketika mereka sampai. Tori sempat heran dengan Nagisa yang digendong Satoru ke dalam kamar dengan kondisi kurus dan perut membuncit.
"Apakah Nagisa-sama sedang sakit Satoru-sama?" tanya Tori setelah Satoru menidurkan Nagisa di atas ranjangnya.
"Tidak, Dia hamil." Kata Satoru sambil menyelimuti Nagisanya.
"O hamil.....-"
......
"HAMIL?" teriak Tori, baru sadar perkataan Tuannya.
"Tori-san. Tolong ambilkan celengan ayam dalam mobilku dan bawa kemari." Tori hendak bertanya lebih lanjut, tapi sepertinya tuannya masih belum menghendaki. Maka ia pun langsung menuruti perinatah tanpa bertanya lagi.
Satoru membuka lemari kaca di samping tempat tidur. Memperhatikan satu lagi celengan berbentuk mobil sport yang pernah ia berikan pada Nagisa. Nagisa lupa tidak membawa pulang celengan tersebut. Tapi Satoru setidaknya tidak pernah lupa memberi makan celengan itu. Suatu saat nanti, Nagisa pasti akan kaget mengetahui nominal yang ada di dalamnya.
Satoru menerima celengan Ayam dari Tori beberapa saat kemudian. Dia langsung merobek tulisan Aborsi yang menempel, mengambil kertas stiker baru di laci, membubuhkan tulisan di atasnya, kemudian ditempelkan pada celengan ayam Nagisa.
Satoru mendekati Nagisa yang tengah tertidur nyenyak di atas ranjang. Menggenggam tangan Nagisa yang terlihat sangat kurus dan lebih putih daripada kulit normalnya. Kulit tan mencolok dan selalu kontras dengan kulit putih milik ras Hasegawa, kini hampir tidak dapat dibedakan lagi dengan miliknya. Mungkin juga karena Nagisa jarang keluar ruangan karena tidak bekerja lagi, ditambah dengan anemia ringan yang harus segera di atasi, kalau tidak ingin membahayakan janinnya.
Satoru duduk di pinggiran ranjang. Membelai keningnya, kemudian mendekatkan bibirnya ke wajah Nagisa, dan mencium keningnya dengan lembut (akhirnya). Perasaan tenang dan damai menyelimutinya. Menghilagkan segala prasaan cemas dan takut yang menghantuinya sejak beberapa minggu kemarin. Pengalamannya selama di Hawai dan segala hal yang terjadi di sana menyadarkan Satoru, betapa berarti Nagisa bagi dirinya. Yang ternyata perasaan tersebut berujung pada sebuah kenyataan yang menampar dirinya ketika kembali. Kenyataan bahwa dirinya kini adalah seorang calon ayah bagi anak yang Nagisa kandung.
"Aku akan mengtakan pada ibumu tentang diriku nanti. Tapi sekarang aku ingin kau bekerja sama denganku untuk menjaganya. Kau harus tumbuh dan sehat selalu. Untuk Ibumu, dan Ayahmu," Satoru mengusap perut Nagisa lembut, berdiri dari posisi untuk meninggalkan kamar. Membiarkan Nagisa tidur dalam damai bersama dua celengan yang terpajang dalam lemari kaca di samping tempat tidur. Celengan Ayam yang kini memiliki tulisan baru nan rapi milik Hasegawa Satoru. Ditulis berdasarkan doa dan harapan barunya, yang ia nyatakan dalam dua deretan kata:
'Untuk Persalinan' .
Bersambung........................
Hola.....
Ada yang pingin Up cepat sepertinya...
100 vote untuk Up cepat.... He3... kagak mungkin juga dapet vote sebanyak itu....
Long kiss good bye untuk sabtu depan...
O iya, nikmati saat-saat terakhir aku jadi Ruru Si Angel karena Ochi Si Preman bakalan balik lagi... Ha-ha-ha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top