Apa pun Dirimu 31

Cahpter 31

Apa Adanya

Vote dulu boleh?

Terima kasih

Aku persembangkan sebagai pengobat hati Putra Yakuza yang sudah tidak tayang lagi Wattpad. Aku tunggu kedatangan kalian untuk membaca Putra Yakuza di WebComic.

....................

Pintu depan terbuka. Menunjukan sosok Morihata yang tersenyum lembut pada dua orang yang kini penasaran tentang kondisi Nagisa.

"Masuklah Satoru. Nagisa menunggumu," ujar Morihata, menepuk pundak Satoru yang telah berdiri dari posisi duduknya.

Satoru mengangguk sekali, kemudian maju untuk membuka pintu kayu. Ia mendoronganya perlahan kemudian melihat sekeliling ruang tamu. Morihata mengantarnya sampai di depan kamar Nagisa, dan meninggalknya sendiri. 

Memasuki ruangan hangat oleh cahaya lentera kuning yang sedikit lebih terang dari kondisi di luar. Perapian menyala tenang, suara peltikan api memberikan sensasi lebih hangat untuk semua orang di dalamnya. Termasuk sosok ibu hamil yang kini berbaring di salah satu tempat tidur, dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya.

Satoru berdiri di depan pintu, tidak berani mendekat atapun mengatakan apa-apa. Tak pantas baginya untuk memohon maaf atau sekedar mendekati ibu hamil yang sakit karena dirinya.

"Kau benar-benar hanya akan berdiri di sana sepanjang malam?" tanya Nagisa yang bersandar di bantal, menghadap lawan bicara.

Satoru tidak berani bergerak, hanya terdiam di tempat dan memberanikan diri untuk bersuara.

"Nagisa, aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu seperti ini. Tapi, lagi-lagi aku menyakitimu dengan perkataanku. Lagi-lagi aku membuatmu sakit karena keegoisanku." Satoru menunduk malu, menyesali perbuatannya.

Nagisa tersenyum tulus, memaklumi pria yang bahkan tidak berani menatap matanya. "Akan terus seperti ini bukan? Bila kau ingin terus bersamaku, bukankah lain kali kau akan melakukan hal yang sama secara tidak sengaja. Lagi dan lagi."

"Tidak, aku berjanji tidak akan menyakiti—"

"Jangan berjanji Satoru." Cegah Nagisa. "Aku tahu hal ini akan terjadi lagi di masa depan. Maka dari itu aku akan semakin kuat untukmu. Aku akan menjadi yang tangguh untuk menghadapi ucapan-ucapanmu yang menyinggung hatiku. Aku berjanji akan sekuat mungkin untuk membiasakan diri."

Satoru semakin merasa bersalah. Ia telah melakukan banyak hal buruk pada Nagisa, termasuk membuat Nagisa harus menerima egonya. Ia sungguh merasa tidak pantas untuk menerima ampuanan darinya.

"Aku berjanji akan berubah," sumpah Satoru, memaparkan kesungguhan.

Nagisa menggeleng dua kali sebelum menjawab pernyataan. "Tidak semudah itu mengubah kepribadian manusia. Apa lagi kepribadianmu. Kau dan aku sama-sama harus belajar memperbaiki diri. Tapi lebih dari itu, aku ingin kau tahu, aku akan mencintaimu apa pun dirimu. Seperti kau yang mencintaiku, apa pun aku."

Nagisa melambai, meminta pria itu untuk mendekat. Satoru beranjak menemui Nagisa. Berlutut di depan tempat tidur, dan masih merunduk tidak berani bertatapan mata.

"Maafkan aku Nagisa. Aku sudah sangat banyak menyakitimu. Bagaimana caraku untuk mengembalikan apa yang kini kau berikan padaku?"

Nagisa mengelus rambut Satoru, mencoba mengembalikan kepercayaan diri si pria agar bersedia memandangnya. "Kami hanya butuh kau bersama kami. Jadilah seorang ayah yang baik baginya, maka aku pun akan mencoba menjadi ibu terbaik nanti. Jadilah priaku, maka aku akan menjadi wanitamu."

"Ak, maksudmu?" Satoru terpernajat oleh apa yang baru saja di sampaikan oleh Nagisa.

"Aku akan menjadi wanita, untukmu, dan anakku," kata Nagisa, bersungguh-sungguh.

"Apa kau bersungguh-sungguh akan hal ini? Kau tidak pernah ... kau ingin menjadi pria bukan?" Satoru masih tidak paham terhadap pernyataan Nagisa.

"Aku ingin ... menjadi yang sempurna bagimu dan anak kita, Satoru. Menjadi wanita adalah cara pailing baik untuk mewujudkannya," penjelasan Nagisa pada Satoru yang masih memandangnya heran.

"Aku tidak memintamu untuk jadi sempurna Nagisa. Aku menerimamu apa adanya," ujar Satoru mencoba memahami, akan beratnya keputusan Nagisa saat ini.

Nagisa menggelengkan kepala dengan mata yang berkaca-kaca, merasa terharu oleh ketulusan yang ditunjukan Satoru. "Kau tidak perlu meminta Satoru. Aku akan langsung memberinya. Apa pun itu, demi kau, dan bayi kita. Aku akan menjadi yang terbaik bagi kalian berdua," jawab Nagisa penuh kesunguhan.

Satoru menunduk lebih dalam menempelkan ke dua telapak tangan pada wajah, merasa frustrasi atau lebih condong pada perasaan haru biru.

"Ini sudah sangat banyak Nagisa. Apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya?"

Nagisa tersenyum tulus. Menyentuh pipi Satoru yang sedikit lebam oleh perkelahiannya tadi.

"Tetap bersamaku," jawaban yang ia ingin sampaikan dari masa saat ia menyadari cintanya pada laki-laki itu, akhirnya dapat terlontar hari ini.

Satoru berdiri duduk di ranjang tempat Nagisa berselonjor. Menghapus air mata Ibu hamil itu perlahan. Kemudian perlahan tapi pasti, wajah mereka semakin dekat. Hingga hanya tersisa berapa mili, dan hidung mereka saling bersentuhan. Satoru memiringkan kepala, mengincar bibir merah yang ranum sedikit terbuka.

Satoru mengecupnya perlahan. Satu kali, dua kali. Kemudian dalam jarak itu, ia mulai berbisik sendu, "selamanya," jawaban yang tidak akan pernah ia sia-siakan lagi seumur hidup.

Setelah itu, tiada lagi jarak antara mereka. Karena Satoru telah menghilangkanya dengan sapuan kasar bibir yang kini saling beradu. Ia menyesap dan meraup rekahan merah Nagisa dengan beringas dan tanpa pengendalian.

Dalam malam bercahaya lentera temaram. Cahaya bulan merambat masuk setelah awan menyingkir. Gelap dan pekatnya derita berhenti menyambangi, saatnya kebahagiaan datang dengan cara mengalir perlahan, membasahi, dan mendinginkan jiwa-jiwa yang tumbuh kuat dalam cobaan.

Cinta sejati tidaklah berlandaskan kata 'karena'. Bukan karena dia cantik, karena dia tampan, karena dia segalanya. Cinta yang sebenarnya, menyimpan ungkapan 'walaupun'. Walau dia bukan apa-apa, walau pun dia bukan siapa-siapa, walaupun dia tidak sempurna.

Mereka yang menerima cinta itu apa adanya. Mereka yang mencintai dengan setulus hati. Cinta yang bersumber dari penerimaan satu sama lain. Akan bertahan dan saling mempertahankan, dalam kalimat yang menyatakan ikatan.

"Apa pun dirimu, Cintaku."

.

.

_Cup chocochip_

.

.

"Oh, jadi begini. Setelah beberapa tahun tobat, mau nyandu lagi?" tanya Nagisa seraya berkacak pinggang.

Mereka kini berada di pantai. Melihat pemandangan indah matahari terbit. Hanae tempak melambai bahagia dari jauh pada Satoru yang sedang bergandengan tangan dengan Nagisa. Sepertinya gadis itu sama sekali tidak mempedulikan kondisi yang tengah terjadi.

"Aku tidak mau kau salah paham, makanya aku mengajakmu."

"Jadi sekarang kau ingin aku menyaksikan perselingkuhanmu?"

"Nagisa! Aku melakukan ini karena janjiku. Kalau kau tidak tiba-tiba menghilang kemarin, mana mungkin aku bertanya kebererdaanmu pada Hanae, hingga menerima tawarannya," pembelaan Satoru.

Satoru yang berjanji akan berkencan dengan Hanae di pantai bila wanita itu bersedia menunjukan keberadaan Nagisa kemarin, akhirnya memenuhi janjinya, dengan cara mengajak Nagisa untuk ikut serta dalam kencan mereka.

"Satoru! Kau sudah datang?" basa-basi Hanae langsung meraih lengan Satoru untuk mengelayut manja di sana.

Satoru menyingkirkan tangan Hanae yang merangkulnya dengan pandangan risih.

"Perjanjiannya hanya jalan-jalan. Tidak untuk bergandengan tangan."

"Dan perjanjiannya kau akan menemaniku, kenapa ada orang lain di sana?" tanya Hanae, jengkel. Menujuk Nagisa yang juga terlihat jengkel, menuntut jawaban pada orang yang sama.

"Tidak ada isi perjanjian yang menyatakan bahwa aku dilarang membawa teman." lagi-lagi, Satoru berhasil lolos dengan kepintarannya untuk mengakali. Di benar-benar seorang businessman sejati.

Satoru mengalihkan padanganya ke pantai yang menyajikan sejuta pesona. Jam masih menujukan pukul 05.00 pagi, tapi matahari sudah muncul dari permukaan air laut. Secara perlahan namun pasti, ia keluar dari persembunyian untuk melukis sinar pagi. Langit orange menyibak terang. Menunjukan wajah-wajah takjub semua mata yang melihatnya untuk pertama kali. Termasuk Nagisa yang sangat senang dengan indahnya pantai di pagi hari.

"Satoru, aku dengar kau punya sebuah perusaan besar di Tokyo?" tanya Hanae memulai pembicaraan. Menujukan senyum seribu bunga penakluk kumbang, agar Satoru tertarik padanya.

"Apa kau tidak dingin?" Satoru tidak menggubris Hanae, malah mengelus punggung Nagisa yang masih menatap laut dan matahari.

Nagisa menggeleng. Sedikit terganggu dengan cara Hanae mendekati Satoru.

Akan tetapi, rupanya muka  Hanae lebih tebal dari tembok besi. "Kau tahu, aku sebentar lagi lulus, IPK-ku baik, dan akan menyandang gelar sepuluh besar lulusan terbaik. Jadi, apa kau tidak tertarik untuk menerimaku di perusahaanmu?" tanya Hanae penuh harap.

"Nagisa kau sudah mempertimbangkan tawaranku kemarin?" Lagi-lagi Satoru tak menaggapi Hanae.

Nagisa melepas sandal yang ia pakai, dan memilih berjalan telanjang kaki. "Aku masih belum memikirkan jawaban. Beri aku waktu sedikit lagi."

"Tapi sangat tidak baik bila kau harus berada di pulau ini saat kondisimu seperti ini."

"Kalian jahat!" teriak Hanae yang sama sekali tidak digubris keberadannya oleh Satoru maupun Nagisa. Wanita itu mulai berbalik dan hendak pergi, seblum sebuah suara menghentikannya.

"Tunggu Hanae!" panggil Nagisa.

Hanae menoleh dengan sebal, mencari tahu alasan Ibu Hamil itu memanggilnya. Nagisa mengeluarkan dompet Satoru dengan paksa, memberikan kartu nama kali-laki itu pada Hanae yang langsung menerimanya dengan suka cita.

"Simpan baik-baik," pesan Nagisa, pada Hanae yang menatapkanya penuh syukur.

"Terimakasih Nagisa. Sampai ketemu nanti Hasegawa-sama." Hanae melambai sebentar, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Satoru tidak terima.

"Mempertanggungjawabkan tindakanmu," ujar ketus Nagisa.

"Kau dengan tenang membuat lelakimu punya kesempatan berselingkuh?"

"Kau boleh mencobanya." Tantang Nagisa, menggunakan nada peringatan.

"Nagisa, kau masih belum menjawab pertanyaanku."

"Orang-orang desa ini masih membetuhkanku, Satoru." Nagisa meletakan sandalnya dengan sejajar di atas pasir pantai. Kemudian menjadikanya sebagai alas duduk.

Satoru mengikuti, langsung duduk di atas pasir putih. Bersama menikmati terbitanya matahari.

"Tapi di sini tidak ada sarana penunjang yang akan membantumu saat persalinan. Ingat Nagisa, kondisi kehamilan yang kau alami ini tergolong tidak biasa."

"Iya, aku tahu. Tapi janinku masih berusia tujuh bulan, bukan? Masih tersisa dua bulan sebelum dilahirkan. Biarkan aku tetap di sini," tolak Nagisa untuk kesekian kali.

"Kau pikir kau bisa menentukan kapan dia ingin keluar dari perutmu. Bila dia memberontak keluar sekarang, siapa yang tahu? Toh dia telah sempurna di dalam sana," interupsi Satoru.

"Tapi, desa ini masih membutuhkan kita, Satoru."

Satoru berpikir keras. Ia tidak mau Nagisa mengalami kondisi bahaya saat persalinannya. Mereka harus segera pergi dari pulau terisolir ini. Demi anak mereka.

"Bila mereka sudah tidak membuhkan bantuankan kita, apa kau mau pulang bersamaku?" tanya Satoru, terbersit sebuah cara.

"Tentu saja," Nagisa menyanggupi. 

Bersambung ....

Putra Yakuza sudah tidak diup load di Wattpad Teman-teman. Solanya dia dikontrak tayang di WEBCOMIC. Doakan lancar dan segera terbit ya .... 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top