Apa pun Dirimu 30

Bagian 30

Keputusasaan dan keputusan

Vote dulu boleh?

Terima kasih ....

Ia lari sekuat tenaga, tidak peduli pada jalan penuh kayu-kayu bekas banguan yang kini berseraakan, yang menyulitkan perjalanan, menggores kakinya, atau membuatnya hampir terpeleset beberapa kali.

Hatinya tidak tenang. Apa yang dialami Nagisa saat ini, mungkin juga karena dirinya. Apa yang ia katakana siang tadi, bagaimana Nagisa yang biasanya sabar, dapat langsung menagis karena ucapan sembrono yang tidak sengaja ia ucapkan.

Bagiamana bila Ibu Hamil itu stres dan mempengaruhi kandungannya. Satoru mampu melihat dari kejauhan sebuah banguanan besar dengan lentera terang di depan pintu masuk. Juga lonceng yang tersinari lentera lain dipuncak menara. Gereja terlihat megah dari sudut pemukiman. Namun tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang ada dalam benaknya kini.

Depan gereja, ada satu lagi rumah atau juga satu-satunya rumah dengan lentera yang masih menyala, ditengah suasana sunyi dan banguan gelap sunyi tanpa penghuni.

Satoru mendekat dan mendapati keberadaan pria yang tadi siang membuatnya kalap. Tagame berdiri di depan pintu. Menatap Satoru dengan pandangan waspada bodyguard terhadap pendatang asing.

Tanpa menata napas yang masih termegap-megap sehabis berlari. Satoru mulai melancarkan keinginanya untuk menginvasi. Tidak peduli dengan tatapan ancaman Tagame, walau tubuh pria itu lebih berotot khas binaragawan. Satoru tidak segan-segan menabrakkan tubuh mereka dengan keras untuk memintanya menyingkir.

"Biarkan aku masuk! Biarkan aku melihatnya," raung Satoru, masih mencoba mendorong tubuh beton itu sekuat tenaga.

"Kau tidak boleh masuk. Nagisa tidak ingin bertemu denganmu." Tubuh bongsor Tagame menyingkirkan Satoru dalam satu gerakan.

"Apa hakmu melarangku!"

"Aku memang tidak punya hak terhadapnya. Begitu juga dengamu. Kau bukan siapa-siapa," jawab Tagame dengan nada yang sama.

Satoru mengambil jarak, seperti hanya banteng yang ingin menabrak matador yang mengibarkan kain merah. Ia melesat dan mendorong keras tubuh Tagame sekuat tenaga. Tidak hanya itu, Satoru mulai main curang. Satu kepalan tangan kanan juga mengarah cepat pada pipi lawan.

Namun, dapat segera ditebak dengan baik oleh Tagame dengan menangkis pukulan Satoru dengan tangan bebasnya. Lalu dengan satu hentakan, pria berotot itu mengangkat telapak tangan ke udara, untuk diarahkan keras meuju wajah Satoru yang sekarang masih dalam posisi tubuh meronta.

Duaak

Satu empasan keras mengenai wajah Satoru. Hidung macungnya kini berhiasakan darah yang mengalir dari salah satu lubang. Posisinya yang tengah duduk dengan posisi aneh karena kehilangan kesemibangan dalam pertarungan.

Remang malam hari dari penerangan lentera redup. Memciptakan suasana mencekam diantara mereka. Satoru keilangan kendali diri, mengambil salah satu kayu panjang runcing yang berserakan dari bangkai kerangka banguan bekas tsunami. Memegangnya dengan mantap seraya memandang lawannya dengan haus darah.

"Kau ingin membunuhku?" tanya Tagame terlihat tidak terkejut, mulai mempersiapkan diri, meyincing lengan kaos dan memperlihatkan kumpulan otot yang bersarang di baliknya.

Satoru hilang akal, ia benar-benar kalap saat ini. Memandang pria yang akan menikahi Nagisanya. 

Laki-laki ini harus mati. Begitulah mantra yang kini terus berbisik dalam otaknya.

"HUAAAA ...." Satoru berteriak seraya berlari menyongsong lawan dengan senjata teracung lurus, menujukan kesungguhanya untuk menghunkan senjatanya dengan keji.

Dengan gerakan cepat, Tagame tidak lagi berdiri di posisi awal, ia maju dan langsung menangkap pergelangan tangan Satoru agar tidak melakukan tidakan sembrono. Dia sedang kalut, Tagame sadar akan hal itu, namun tidak pernah terbayang olehnya, pria yang terlihat selalu tenang dan kalem ini menjadi beringas dan tak terkendali.

"Tenagkan dirimu Satoru. Kau dikuasai amarah," tukas Tagme mengingatkaan.

Namun seperti hanya orang tuli, Satoru masih saja meronta dan ingin melepaskan jurus kuncian yang kini Tagame terapkan padanya, dengan menggenggam dua pergelangan tangan Satoru dengan erat.

Kemudian tiba-tiba terdengar rintihan yang memilukan dari dalam kamar. Satoru membatu, telinganya langsung berfungsi lagi, fokus pada suara halus yang berbalut tangis. Membuat otaknya yang tadi berselimut bara api, kini mencair bagai lahar dingin.

Napasnya tersekat, hatinya tercengkram tangan tak terlihat, kayu yang menjadi senjatanya telah jatuh berkelontang di tanah, tubuhnya tiba-tiba kehilangan tenaga untuk menopang diri. Sangat jelas baginya untuk mendeteksi pemilik suara tangis dari kamar depan tempatnya berdiri. Tangis yang terjadi tadi pagi, malam ini terdengar lagi. Dua kali pukulan telak, dan yang terakhir ini benar-benar menyakiti. Bagaimana mungkin dirinya yang ingin menjaga Nagisa seutuhnya, malah menjadi dalang penyebab kesengsaraan mendalam yang kini ibu hamil itu alami.

Melihat Satoru yang tidak lagi brutal, Tagame mulai melemahkan cengkraman dan melepakan Satoru dari kuncian.

Satoru yang telah kehilangan semangat bertarung, terjatuh di tanah dalam posisi berlutut. Ia menunduk dalam, masih mendengar dengan cermat isak tangis Nagisa yang mulai mereda.

Satoru menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah. Dengan pandangan memohon, ia mulai meminta pada Tagame yang kini menjulang dibanding dirinya yang masih berlutut.

"Aku mohon." Nelangsa Satoru, laki-laki itu mengis pilu. Seolah memohon keringannan atas hukuman mati yang akan segera diberikan. "Aku mohon, biarkan aku masuk."

"Berdirilah, jangan seperti ini. Apa pun yang kau lakukan, tidak akan mengubah apa-apa." Tagame menarik tangan Satoru untuk berdiri. Ia menatap kasihan pada Satoru yang seperti orang yang kehilangan cahaya hidup. Ia menepuk pundak pria itu sekali, kemudian meneruskan kalimatnya yang menggantung, "tunggulah sampai Suster Maorihata keluar. Setelah itu aku akan menanyakan lagi padanya."

Satoru menerima kalimat Tagame dengan rasa syukur, ia mulai menyingkir kemudian duduk di teras depan seraya menyembunyikan wajah dibalik dekapan pada lututnya sendiri. Melanjutkan penyesalan yang sering berteman dengan tangis.

cup.chocochip

Beberapa saat yang lalu dalam kamar tempat Nagisa dan Suster morihata berada.

Nagisa berbaring memunggungi Morihata. Wanita yang lebih tua mengelus rambut coklat halus milik Nagisa dengan lembut.

"Ada apa, Nak? Mau bercerita padaku?" tanya Morihata.

Nagisa tidak mereson. Masih menagis dalam diam. Morihata merapikan selimut yang meutupi ibu hamil itu, kemudian mengarahkan telapak tanganya pada kening Nagisa.

"Panasnya sudah turun. Tapi aku yakin penyebab sakitmu bukan hanya karena cuaca." Morihata menarik tangan Nagisa dan membawanya untuk menyemangati. "Aku dengar kau bertengkar lagi dengan Hasegawa. Setiap hubungan selalu menyimpan cinta dan benci. Tinggal kau memilih mempertahankan yang yang mana, cintamu atau kebencianmu."

"Bukan seperti itu, Sus." Nagisa membalikan badan, untuk mereka dapat berhadapan. Betapa cemas suster itu melihat kondisi ibu hamil di depanya yang terlihat sangat pucat. Mata dan hidungnya merah bekas tangis, pipinya basah, juga keringat dingin yang membasahi kening. "Saya, saya membenci diri saya sendiri."

"Kenapa, Nak? Kenapa kau membenci dirimu?" tanya Maorihata, seraya menyibakkan anak rambut di kening Nagisa yang menempel oleh keringat.

"Saya bukan perempuan, Sus." Setelah menyelesiakan kalimat, tangis Nagisa pecah sekali lagi. Meluapkan segala beban hati yang sedari tadi ia bendung sendiri. "Saya interseksual yang telah ditetapkan sebagai laki-laki. Namun tiba-tiba ... mestruasi, dan kini ... hamil anak Satoru. Apa ... yang mampu saya lakukan, Sus." Nagisa menyatakannya dengan suara terbata.

Morihata menarik Nagisa dalam pelukan. Menepuk punggung Ibu Hamil itu untuk menenangkan.

"Dan apa yang kau pilih Nak? Kau ingin menjadi laki-laki?"

"Iya, iya. Saya ingin menjadi laki-laki. Tapi semua ini ... menghalangi saya." Nagisa berkata seolah menunjuk semua anggota badan yang selama ini menjadi masalah utama baginya. Menuntut tanggung jawab mereka, atas rasa benci yang ia tanggung selama ini.

"Mereka menyebut saya banci, lesbi, homo hanya karena ... karena saya tidak sempurna. Dan sekarang, Satoru, Satoru pun beranggapan sama sengan mereka. Dia menyebutku ... dia mengatakan saya ... saya homo. Apa yang harus saya lakukan, Sus?"

Nagisa tersekat beberapa kali saat meluapkan semua unek-unek. Ia meluapkan amarahnya dalam tangis kencang yang mungkin menyakiti tenggorannya. Mencetuskan apa yang selama ini ia pendam dalam hati, dan dia tahan di sanubari.

Morihata mengelus wajah Nagisa, menenagkan ibu hamil yang masih dalam pelukannya. Dengan lembut ia berkata, "permasalahan ini harus kau putuskan sendiri, Nak. Tapi tidak perlu berkecil hati. Kau itu sangat cantik. Lihat wajahmu yang kuning langsat bersih. Kau bisa menstruasi dan hamil. Dari situ saja, aku yakin kau sudah lama tahu jawabannya. Tapi bila menjadi laki-laki adalah keputusanmu, aku tidak bisa mencegah itu.

"Tidak ada yang tahu kebenaran sejati, Nak. Hanya Dia yang tahu. Tapi Manusia hanya mampu untuk melakukan yang terbaik bagi hidupnya. Mungkin Dia ingin kau memilih sisi yang lain. Sisi yang tidak kau sukai. Apa kau membenci keputusan-Nya? Apa kau benci untuk mengakui bahwa sisi wanita mendominasi dirimu?"

Nagisa terdiam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Morihata padanya. Itu adalah sebuah pertentagan hati nurani yang tidak dapat ia jawab hingga kini.

Dia ingin menjadi laki-laki, tapi di sisi lain seolah takdir menuntunya pada jalan yang berbeda. Semua petunjuk, semua tanda, menunjukan tentang jati diri yang tidak ingin ia akui. Ia hanya mengikuti apa yang ia inginkan, bukan yang benar baginya. Sebenarnya apa yang benar baginya? Ia sendiri belum mendapat jawabannya.

"Aku ingin bertanya satu hal padamu Nak. Apa kau mencintai Hasegawa?"

"Sangat, saya sangat mencintainya," jawab Nagisa mantap.

"Apa kau ingin menjadi yang utuh baginya?"

Nagisa tahu kemana arah pembicaraan mereka. Maka ia hanya dapat terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu.

Morihata berlutut di depan tempat tidur, memegang kedua tangan Nagisa dalam ketulusan. Mata mereka salaing bertatapan, salaing memahami, dan mencoba mengerti.

"Kau mempunyai hak itu, Nak. Kau tidak berhak untuk teromabang-ambing dalam setatusmu yang tidak jelas. Untuk menyempurnakan dirimu, maukah kau menerima rasa cintamu. Bila kau benar-benar mencintainya, maka kau akan melakukan yang terbaik untuknya. Kau akan menjadikannya Ayah dari anak-anak yang akan kau lahirkan. Dan kau akan menjadi ibu yang sesungguhnya dari anak-anak Hasegawa. Apa kau bersedia?"

Nagisa tersadar akan kenyataan yang lain. Kebenaran bahwa anaknya membutuhkan figur seorang ayah dan ibu. Anaknya berhak mendapat lingkungan yang sempurna untuk hidupnya kelak. Selain itu, cintanya, Satoru berhak mendapat seseorang yang jelas setatusnya, wanita yang akan menyempurnakan hidupnya.

Nagisa punya kesempatan itu. Ia mampu untuk menjadi yang baik bagi Satoru. Ia bersedia menjadi yang terbaik bagi pria itu. Ia akan mengorbankan apa pun yang ia miliki demi dua orang paling berharga dalam hidupnya, Satoru dan Anak yang ia kandung kini.

"Saya sangat menginginkan hal tersebut," jawab Nagisa, dengan air mata yang terus berjatuhan dari pelupuk mata.

"Dan untuk melengkapi takdirmu. Kau harus megorbankan ego. Kau tahu itu. Penyempurnaan butuh sebuah pengorbanan. Apa kau bersedia menjadi sosok yang baik untuk Hasegawa di masa depan?"

"Saya bersedia." Nagisa mulai menangis lagi. Ia telah menetapkan hati. Pilihan yang ambil untuk kebaikan mereka yang ia cintai.

"Demi anakmu. Demi cintamu. Kau akan mengubah pemikiran, untuk menjadi pelengkap baginya, menjadi sempurna untuknya."

Nagisa mulai menguatakan hati. Menghapus sisa air mata yang sedari tadi enggan berhenti. Kemudian dalam kyakinan ia berkata, "saya ingin melakukannya. Saya akan melakukannya."

"Dan kau tahu apa yang harus kau lakukan?" tanya Morihata untuk yang terakhir kali.

Nagisa mengaggukan kepala. Menatap Morihata dengan keyakinan. "Saya akan memenuhi takdir saya. Saya akan menjadi wanita, untuk anakku, dan juga Satoru," kata terakhir Nagisa, yang akan mengubah seluruh garis hidupnya.

Bersambung ....

Akhirnya ....

Hahahahah .....

Aku ambil sudut pandang agama untuk mengubah jalan Nagisa ya teman-teman. Karena seting yang aku gunakan murni Jepang. Jadi aku menggunakan Kristen sebagai media-nya. Soalnya islam minorotas di sana. Nggak mungkin juga tiba-tiba ada ustad/ usatadah yang ceramah di pulau terpencil di jepang bukan? Kalau kristiani mah banyak.

Tapi para kristiani juga jangan berharap banyak dari Jepang. Ini fiksi. Orang Jepang sebenarnya memegang kepercayaan Shinto. Apa itu Shinto? Susuah jelasinnya. Cari aja sendiri di google.   

Walau aku sendiri islam. Aku percaya setiap agama mengajarkan kebaikan. Termasuk keputusan Nagisa yang hampir di penuhi gagasan tetang takdir yang dipilih sang Pencipta baginya. Lagi pula penjelasannya netral kok. Aku sendiri sebenarnya menggunakan pendekatan agama yang tidak memihak salah satu golongan. Jadi aku kira baik-baik saja.

Jadi bagaimana menurut kalian? Apa cukup masuk akal? Silahkan berkomentar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top