Apa pun Dirimu 29

Chapter 29

  Tombol Berbahaya  


Boleh vote dulu?

Terimakasih.

"Apa maksudmu?" tanya Nagisa, tidak mengerti. Tak ingin peduli, ia memutuskan berbalik meninggalkan laki-laki mirip preman mabuk yang sedang meminta uang pada seorang gadis lugu.

"Kau tidak boleh pergi sebelum mengatakan apa yang kau janjikan padanya!" Satoru mengengkram lengan Nagisa, mencegahnya pergi, juga memaksanya untuk kembali saling bertatapan muka.

"Itu bukan urusanmu!" Nagisa melepas tangan Satoru dengan mengayunkan lengannya kuat-kuat.

"Kau setuju untuk menikahi Tagame sialan itu?!" Napas Satoru memburu, kemarahanya sudah mencapai ubun-ubun, juga pengendalian yang hampir rontok tersapu pemikiran negatif.

"Hah?" Nagisa membuka mulutnya lebar saat mendengangkan keterkejutan. Tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Jelaskan padaku bahwa itu tidak benar! Kau tidak boleh menikahi siapa pun!"

"Apa hakmu melarangku menikah?!" Nagisa mulai mengerti apa yang dimaksud Satroru. Tersulut emosi dengan kesewanangan yang pria itu suguhkan.

"Kau, kau mencintaiku!" Satoru terbata-bata.

"Kau juga mencintaku. Tapi kau menikahi Haruka, lalu kenapa aku tidak boleh menikahi Tagame?"

"Kau tidak boleh menikahinya!"

"Bukan hakmu untuk memutuskan aku akan menikah atau tidak. Kau bukan siapa-siapa!"

"Aku tidak akan menikahi Haruka. Maka itu jangan menikahi Tagame."

"APA! APA KAU BILANG?!" Kini giliran Nagisa yang naik pitam. Mencengkram dan menarik kasar kaos bagian leher milik Satoru dengan penuh amarah. "Semudah itu kau membatalkan pernikahan hanya karena masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Pulanglah Satoru! Aku tidak mau melihat pria jahat yang menyakiti tunangannya hanya demi seorang simpanan."

"Haruka akan menikah dengan orang lain," pembelaan Satoru mendapati kemrahan Nagisa, membuatnya menciut takut, seperti seekor ular yang bertemu dengan anak landak berduri.

Nagisa melepas cengkramanya, mulai mengerutkan alisnya, ingin meminta penjelasan lebih.

Tanpa menggubris kondisi Nagisa yang masih syok, Satoru melanjutkan kisahnya, "Dia akan menikah dengan orang lain. Natsume sudah kembali. Mereka akan menikah," katanya menggebu-gebu. Mencoba memepengaruhi Nagisa untuk kembali memihaknya.

"Dan anakmu?" tanya Nagisa, mulai dapat mengeontrol emosi.

Satoru menggelengkan kepalanya lesu. "Dia anak Natsume. Bayi Haruka bukan anakku."

"Jadi ini kebohongan yang lain?" kesimpulan Nagisa. Memulai lagi perdebatan mereka yang belum usai, dengan masalah yang baru.

"Itu tidak ada hubunganya—"

"Kalian membohongiku—"

"Aku tidak peduli dengan Haruka. Sekarang giliranmu. Kau tidak boleh menikahi pria lain."

Nagisa mendesah lelah, seribu argument ia kemukakan, akan ada seribu pembelaan yang akan Satoru nyatakan. Pertengkaran ini tidakakan pernah ada penyelesaian, tidak ada yang merasa bersalah, tidak ada yang mau mengalah.

Nagisa merasa Satoru benar-benar menjengkelkan sampai ubun-ubun. Setelah berteman begitu lama, tidak membuatnya tahu kepribadian pria itu sepenuhnya.

"Lalu kau ingin aku bagaimana Hasegawa-sama?" sarkas Nagisa.

"Ayo pulang. Ibu sudah merestui, kau bisa tetap pulang ke rumahku."

"Lupakan saja!"

Nagisa berbalik hendak pergi, tapi dihentikan oleh cengkraman tangan pada lengannya.

"Lepaskan, Satoru!"

"Nagisa! Kau tahu kalau aku mencintaimu."

"Aku akan menikah! Aku akan menikah. Kau dengar itu!" Nagisa melepaskan cengkaraman itu dengan paksa, membalikkan badannya sekali lagi. Memilih pergi meniggalkan Satoru yang masih dikuasai amarah.

Setelah tercipta beberapa jangaka, suara Satoru terdengar lagi.

"Nagisa!" teriak Satoru. "Kau ingin menjadi homo!"

Langkah Nagisa terhenti. Ia mendengar dengan jelas kata-kata terakhir yang laki-laki itu ucapkan. Detak jantungnya tiba-tiba cepat, napasnya memburu, juga matanya yang tiba-tiba panas.

Apa itu? Kenapa hatinya terasa hancur. Saat ucapan mengenai statusnya tiba-tiba diungkit lagi. Ketidakberhakannya untuk mencintai dibahas lagi.

Bagiamana Nagisa mencegah diri untuk tidak mencintai dan dicintai karena setatusnya yang tidak dapat diakui.

Dia sama sekali tindak ingin menjadi yang dituduhkan. Dia tidak ingin menjadi homo, tidak pula ingin menjadi lesbi. Jadi dengan siapa dia layak medapatkan cinta?

Nagisa mengis dalam diam. Kemudian dalam tekanan batin, ia mulai kehilangan kendali diri, tidak kuat menahan berat tubuhnya sendiri, ia meilih jongkok di tempatnya berdiri. Hatinya serasa ditekan kuat. Harga dirinya diperas habis. Jati dirinya diinjak-injak dan dicoreng oleh pria yang paling dia cintai. Dikatai telah melakukan tindakan menyimpang karena jenis kelamin yang tidak jelas. Sungguh merupakan penghinaan paling menyedihkan yang pernah ia terima.

Suara rintihan tiba-tiba mencapai pendengaran Satoru yang tadi kurang fokus. Mengetahui asal suara, Satoru segera berlari, dan menemui Nagisa yang telah berjongkok di tempatnya tadi berdiri.

"Nagisa?" tanya Satoru, langsung berlutut dan menatap Nagisa yang kalut. "Apa aku menyakitimu? Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengatakanya."

Pembelaan itu tidak berguna. Nagisa masih meneruskan tangisnya. Malah semakin meraung meliahat Satoru, tersangka utama yang telah menekan tombol kata-kata berbahaya yang selalu berhasil meyakitinya, seberapa kali pun diucapkan.

"Nagisa, aku mohon! Tampar aku! Pukul aku! Tapi aku mohon jangan menangis. Maafkan aku, maafkan aku."

Nagisa tidak peduli. Ia mencoba mengendalikan diri. Menghapus sisa-sisa air mata dan berdiri dari posisi berlutut. Satoru yang masih berjongkok di tempatnya, kehilangan daya untuk mencegah kepergian Nagisa.

"Nagisa ...," panggil Satoru pelan. Tidak benar-benar ingin mengehntikan langkah Nagisa yang semakin menjauh. Ia tahu, dia bersalah. Dia yang menyebabkan permasalahan lama muncul kembali.

Satoru menatap tanah kering dengan sedih. Ia bingung harus bagaimana lagi untuk meminta maaf. Belum selesai masalah lama, kini ia sudah membuat masalah baru. Sudah habis akalnya, sudah hilang kepercayaan dirinya. Bagaimana caranya untuk membuat Nagisa berhenti membencinya, atau setidaknya memaafkannya atas kebohongan yang ia lakukan.

Melihat betapa terpukulnya Nagisa terhadap kata-kata jahat yang terlontar secara tidak sengaja. Membuat Satoru sedikit banyak tahu, seberapa dalam luka yang ditimbulkan karena satu kata itu.

Frustrasinya meradang. Sampai tercermin dari seberapa kuat dirinya menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, memejamkan mata, seraya memukuli tanah dengan kepalan tangan berkali-kali.

Pikirannya penuh, tapi tidak dapat digunakan untuk berpikir. Betapa frustrasinya dia, hingga ingin membenturkan kepalanya sediri di atas tanah tandus. Kalau saja tidak dicegah akal sehatnya yang masih waras.

Cup.chocohip

Malam harinya Nagisa terlihat di mana pun dalam pengugsian. Tugas mengajar anak-anak dimpahkan pada Hanae—gadis manis yang sedari kemarin mencoba merayu Satoru tanpa henti.

Satoru tidak tahan lagi. Dengan keberanian yang ia paksakan, ia maju, dan memberanikan diri untuk berbincang dengan gadis berponi itu.

"Apa kau tahu kenapa Nagisa tidak mengajar hari ini?"

Hanae, gadis berponi itu terkejut saat Satoru tiba-tiba berada di sampingnya dan memutuskan untuk membuka pembicaraan. Ia yang tengah bersiap-siap untuk makan, kembali meletakan sumpitnya di atas tatakan.

Sadar dengan siapa dia berbicara, Hanae langusung melueskan senyum dan menyisir anak tambut yang terjebak agar kembali ke belakang telinga,

"Tidak ada yang gratis Tuan. Kau harus berjanji untuk menonton film denganku saat kita kembali ke Tokyo." Hanae memberikan senyuman penuh arti pada Satoru.

"Lupakan!" jawab Satoru hampir berbalik.

Tidak mau kehilangan kesempatan, Hanae segera menurunkan tawaran. "Kalau begitu temani aku jalan-jalan ke pantai besok pagi. Bagimana ....?"

"Hanya 30 menit," persetujuan Satoru.

"1 jam." Hanae unjuk banding.

"20 menit." Satoru sudah hampir tidak peduli dan akan pergi untuk bertanya pada yang lain.

"Ok, 30 menit." Hanae langsung setuju saat Satoru hampir berbalik, dan menggagalan semua kesepakatan.

"Lalu di mana Nagisa?" tanya Satoru tidak sabar, saat mengetahui Hanae malah senyum-senyum sendiri seraya melihatnya dengan penuh pengharapan.

"Nagisa demam. Dia sekarang berada di rumah Suster Morihata. Depan Gereja Santosu."

Setelah mendengar pernytaan tersebut, seperti lalat yang terusik kibasan tangan, Satoru langsung melesat pergi meninggalkan pengungsian yang penuh manusia-manusia yang mengurusi perut mereka. Laki-laki itu bahkan tidak peduli pada piringnya yang penuh makanan. Hanya meletakanya di atas meja, dan segera menghilang di balik pintu aula besar.


Bersambung ....


Kurang 3-2 episode untuk menjelang akhir. Privat cerita akan segera diterapkan.

Kita tungu episeode berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top