Apa pun Dirimu 28

Chapter 28

Kebijaksanaan

Boleh vote dulu?

Terimakasih .....

.

.

.

.

Satu bulan yang lalu, sebelum keberangkatan Nagisa menuju pulau Mitsushima.

"Bagaimana ini dapat terjadi? Dengan jelas aku tulis bahwa wanita hamil tak dapat ikut mendaftar."

"Saya tidak menemukan kejanggalan saat mendaftar."

"Itu karena Hanazawa-san mendaftarkan diri sebagai laki-laki."

"Secara hukum Negara, saya benar-benar laki-laki."

"Aghhhhh." Tagame menggaruk kepalanya kasar, frustrasi.

Saat ini, Nagisa dan Tagame sengaja bertemu untuk pertama kali untuk membicarakan perihal keberangkatan mereka ke pulau Mitsushima. Tagame sebagai ketua untuk grup kali ini, tidak bisa heran dengan kedatangan wanita hamil dalam tim mereka.

"Anda tidak bisa ikut program ini Hanazawa-san. Ini terlalu berbahaya bagi Anda. Pulau itu adalah pulau yang terisolir."

"Dan apa Tagame-san bersedia membayar biaya pembatalan yang mencapai 100 ribu yen? Jujur, saya tidak punya simpanan sebesar itu." Nagisa menyeruput lemon tehnya, menikmati ekspesi tertekan yang ditunjukan lawan bicara.

Tagame membenturkan kepalanya di atas meja caffe dengan debukan keras menyertainya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan untukmu? Aku pun juga hanya pria lajang yang menabung untuk hari pernikahan," jerit Tagame, dalam ketidakberdayaan sebagai penaggung jawab.

Nagisa tersenyum oleh keputusasaan Tagame. "Anda tidak punya plihan lain selain memasukan saya dalam program ini. Toh tidak ada yang tahu kondisi saya selain Anda."

Tagame sejenak memandang Nagisa yang masih saja menunjukan ekspresi baik-baik saja, sebelum ia menyerah dan tidak punya pilihan lain selain membawa serta ibu hamil itu dalam program bantuan sosial di pulau Mitsushima.

______Cupchocochip_____

Nagisa sampai di pulau mitsushima dengan teman-teman seperjalanannya sekitar pukul 08.00 pagi. Matahari bersinar dengan ceria, menatap para anak muda yang memiliki semangat membantu sesama. Satu pandangan berbeda diberikan yang lain pada sosok Nagisa yang membaawa beban berat diperut. Beberapa orang bertanya makud Tagame, membawa ibu hamil dalam sebuah tanah bencana, tapi hanya ditanggapi ketua pelaksana itu dalam sebuah senyum bisu.

Nagisa mengawasi kondisi sekitar dengan seksama. Semua orang tengah bergotong royong bersama. Bahan banguan, batu bata, adukan semen, semua telah tersedia, dengan para warga yang bergotong royong membangun desa. Namun ada yang aneh dari apa yang ia saksikan saat ini. Hampir 80% pekerja yang mengerjakan pekerjaan berat kuli, tukang banguan, dan mengangkut barang berat, dilakukan oleh kaum hawa. Sedang makhluk bernama laki-laki sangat jarang terlihat diantara mereka, selain anak-anak kecil yang sedang bermain bola di pinggiran pantai.

"Semuanya, setelah menaruh barang bawaan ke pengungsian, harap segera berkumpul di titik ini. Kita akan membicarakan pembagian tugas," ujar Tagame lantang. "Dan Nagisa, kalau kau lelah kau boleh isti-"

"Tolong jangan memperlakukan aku lebih istimewa karena kondisiku," protes Nagisa.

"Tentu saja kau harus diistimewakan. Karena ketika kau bekerja, kau tidak sendirian saat melakukanya. Dia, selalu bersamamu. Berusaha keras sepertimu. Tentunya, kau tidak ingin dia kelelahan bukan?" kata seorang wanita yang tiba-tiba ada dibelakang Nagisa.

Wanita itu berajah lembut, berusia empat puluh sampai lima puluh tahun, mengenakan pakaian biarawan, membawa satu ketel penuh minuman dingin, dan meletakanya di tempat istirahat para pekerja.

"Ini sudah tanggung jawab saya," elak Nagisa.

"Kau juga bertanggung jawab menjaganya." Sang biarawan mengatakannya seraya melihat pada perut Nagisa.

Nagisa tidak bisa mengelak bahwa dirinya memang lelah, hanya sja karena tidak ingin diremehkan, maka ia memilih memaksakan diri.

"Namaku Morihata Sato. Kau?"

"Nagisa Hanzawa."

"Baiklah Nagisa. Setelah perjalanan panjang, bayimu pasti lelah. Istirahatkan bayimu. Kalau kau mau, kau bisa tinggal bersamaku."

Entah kenapa Nagisa tidak dapat menolak keingnan wanita lembut itu. Lantas ia mengangguk dan mengikuti arah tujuan sang biarawan untuk bersama menuju rumahnya.

Setelah perjalanan yang tidak terlalu jauh, melewati reruntuhan banguan-banguan yang hampir roboh. Sampailah mereka pada satu-satunya rumah yang terbangun dari batu bata yang berdiri kokoh, sedang rata-rata yang lain berbahan dasar bambu atau kayu hingga mudah roboh oleh sapuan ombak. Sebuah rumah kecil dengan halaman dengan tanaman yang sebenarnya beragam, hanya saja kini dalam posisi porak poranda pasca bencana.

Setelah mereka memasuki rumah, hanya terdapat kursi dan perabotan tua. Tidak ada sekat antara dapur dan ruang tamu. Dua ruangan yang bersekat antara lain sebuah kamar dengan dua tempat tidur, dan kamar mandi di pojok kanan ruang tamu.

"Nagisa bisa menggunakan kamar tidur sebelah kanan. Aku akan menggunakan yang satunya. Sebenarnya kamarmu itu adalah milik seorang gadis yang juga ingin mengabdikan diri pada Tuhan sepertiku. Hanya saja, ia dipanggil terlebih dahulu saat tsunami minggu lalu."

Morihata menyatakan kisahnya dengan wajah yang tersenyum seperti biasa, yang juga membuat Nagisa membalas ketabahnnya lewat balasan serupa.

"Bisa saya bertanya sesuatu suster?" tanya Nagisa yang mendudukan diri di atas ranjang. Tentu saja dibandingkan dengan kamar tidur rumah Satoru yang seperti lautan bulu, kasur keras ini hanya seperti permukaan lantai yang ditutupi karpet tipis.

"Iya? Tunggu sebentar kalau begitu." Morihata keluar, kemudian kembali dengan membawa segelas susu dan kue kering di atas nampan.

"Saya jarang sekali melihat ada laki-laki di sini." Akhirnya Nagisa menyatakan apa yang selama ini mengganjal dalam hati.

Morihata meletakan makanan di nakas samping tempat tidur Nagisa, untuk merespon pertanyaannya. "Kebanyakan kaum laki-laki setelah menikah akan meninggalkan pulau. Sebulan sekali mereka akan pulang membawa bahan makan, barang-barang, dan uang. Sedangkan para wanita tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. Sangat kecil peluang bagi wanita untuk pergi dari pulau, dan meninggalkan anak-anak dan orang tua mereka yang sudah tua."

"Mereka benar-benar melakukan tugas sebagai kuli, dan melakukan kerja kasar seperti pria?" tanya Nagisa, lagi.

"Memangnya kenapa kalau mereka dapat melakukannya, Sayang?"

"Saya hanya sedikit tidak tega saat melihatnya," jujur Nagisa.

Morihata tersenyum oleh pernyataan ketulusan Nagisa. "Tidak ada yang salah bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan laki-laki. Kita bisa melakukan semua hal. Hanya saja, kaum kita sering meremehkan diri sendiri karena merasa selalu membutuhkan dukungan pria. Juga beberapa pria meremehkan peran wanita dalam hidupnya."

"Padahal mereka harusnya bersyukur ada wanita dalam hidup mereka. Dan tiap wanita harusnya bangga dapat terlahir sebagi sebagai wanita. Karena kita lebih istimewa. Kita pencipta peradaban dunia. Kita dapat menampung perwujudan buah cinta kalian berdua. Satu hal yang tidak akan pernah dapat dilakukan para kaum pria."

Nagisa tertunduk oleh pernyatan Morihata. Entah kenapa merasa malu oleh apa yang dikemukakan biarawan itu. Karena semua itu adalah cerminan dirinya dalam memandang sosok wanita. Nagisa tidak bisa mengelak, bahwa alasan ia tidak ingin mengakui sisi kewanitaannya, adalah karena dia meremehkan kaum hawa.

"Kau tidak perlu merasa lemah karena menjadi wanita. Kita punya kekutan dalam bentuk yang berbeda dengan yang dimiliki kaum pria. Kekuatan untuk menjadi seorang ibu."

Nagisa semakin merasa tersentil. Diam-diam dia mengahapus air matanya. Bagiamana cara menyatakan perasaan ini, ia bahkan takut untuk meneruskan pikiranya. Ia hanya dapat mengusap perutnya perlahan dan menyimpan kata-kata Morihata dalam hatinya yang terdalam.

"Minumlah susu ini. Setelah itu istirahtalah sebentar, agar nanti malam kau bisa bergabung dengan teman-temanmu."

"Baik, Sus." Nagisa tersenyum dan meminum susunya. Kemudian merilekskan punggunanya yang kaku di tempat tidur.

"Bagiamana mungkin wanita hamil bisa tersesat di pulau tanpa dokter atau pun bidan? Berapa usia kandunganmu Nak?" tanya Morihata yang masih berdiri menunggu Nagisa menghabiskan rotinya.

"Tujuh bulan, Suster," jawab Nagisa yang masih mengunyah roti.

"Laki-laki atau perempuan?"

"Saya tidak tahu." Nagisa benar-benar tidak tahu perkembangan bayinya, setelah pemeriksaan terakhir yang menyatakan anaknya laki-laki. Namun ia tahu, tidak ada yang dapat memastikan itu sebelum bayinya lahir ke dunia.

"Apa pun jenisnya, aku yakin dia akan sekuat ibunya." Sekali lagi, kata-kata Morihata bagai kuntum bunga yang semerbak dalam hati Nagisa. Membuatnya tersenyum bahagia menatap wanita bijak itu dalam kekaguman.

______Cupchocochip_____

Kembali ke masa kini.

Pukul 07.00 malam hari. Semua orang tengah berkumpul dalam ruangan utama. Menanti makan malam yang sedang dibangikan beberapa petugas masak juga volentir yang sedang mendapat piket.

Nagisa ada di antara para pembagi menu. Membawa centongan sup besar di tangan kanannya, seraya mengaduk panci besar berisi sup ayam hangat yang mengepul di atas kompor.

Semua orang tengah mengantri, berbaris dengan rapi, menunggu giliran untuk memperoleh makanan.

Satoru memegang piringnya dengan canggung. Tidak pernah dirinya makan dalam kondisi seperti ini. Mengantri untuk menerima makanan gratisan, sungguh di luar imajinasi.

Satoru mendapat giliranya. Mendorong piring bentonya untuk diisi. Orang pertama memberikan satu nugget ayam yang terlalu kecil, selanjutnya nasi, dua teri kurus, tomat, dan selada yang sedikit layu. Satoru menatap semua makanan yang ia terima dalam pandangan lesu. Sebelum ia mencapai antrian terakhir pembagi makanan utama, sup ayam yang kini mengepulkan aroma harum yang menggiurkan.

Nagisa ada di sana, memberikan satu sendokan penuh sayur dan ayam yang dipotong-potong kecil. Sama sekali tidak menggubris Satoru yang memandang penuh harap.

"Kau selalu ingat bahwa aku tidak suka paprika," tukas Satoru mencari atensi.

Nagisa memajukan bibirnya sebal, hingga sendokan kedua yang diberikan adalah satu centong penuh paprika.

Satoru mendelik sedih, untuk berjalan menuju tempat duduk dan mulai menikmati makanan dalam desahan kekecewaan.

Walau masakanya tidak seburuk yang ada dalam bayangan, itu sudah cukup membuat membuat Satoru kehilangan nafsunya dengan sangat cepat, dan hanya memakan beberapa jenis yang masih dapat tolerasi lidahnya.

"Satoru-san, apa benar Nona Hanazawa itu pacarmu, Nak?" tanya sebuah suara di sampingnya. Satoru menoleh dan menemukan sosok wanita berbaju Suster (biarawati) duduk dan tersenyum ramah memandangnya.

"Emh ... dia belum setuju, tapi saya akan tetap berusaha," jawab Satoru asal-asalan.

"Dan anak yang ada di rahimnya adalah anakmu?"

"Iya," jawab Satoru, seraya menelan ludah kalut. Ia tahu perbuatannya salah secara agama, dan ia tidak ingin memahas hal itu dengan seorang pendeta.

"Ha ... sukurlah kalau begitu. Segera ajak Hanazawa pulang. Kau tahu kondisi kami. Di sini tidak ada dokter. Apabila terjadi apa-apa padanya, itu akan sangat berbahaya."

Satoru mulai dapat tersenyum ramah oleh penuturan ramah biarawan itu. Kemudian menjawab pertanyaan dengan seadanya, "kami bertengkar dan dia pergi. Sekarang dia tidak mau pulang dengan saya."

Si Biarawan tersenyum sambil mengagguk paham. "Wanita. Mereka selalu jual mahal pada awalnya. Jangan menyerah maka kau akan mendapatkan hatinya segera. Lagi pula dia membutuhkanmu. Kau ayah dari bayinya."

Giliran Satoru yang mengangguk setuju. "Semoga benar begitu, Suster," ujarnya.

"Panggil aku Morihata. Aku kepala biarawati di gereja samping pengungsian." Morihata mengulurkan tangannya.

"Satoru Hasegawa." Satoru membalas jabat tangan tersebut sebagai tanda perkenalan.

"Aku sudah tahu namamu. Sejak pertama kali kau datang, semua orang sudah berbisik-bisik tentang siapa nama pria tampan yang datang ke pulau kami."

Satoru hanya tersenyum saat menaggapi. Ia baru sadar beberapa gadis muda yang melirik-lirik malu, atau berharap besar padanya. Ia telah kenyang dengan situasi seperti itu. Tidak di sana, atau di sini, banyak perempuan yang tertarik pada fisiknya.

Namun semua itu tidak dapat membuat Satoru bangga. Kebahagiaannya adalah saat Nagisa bersedia pulang bersamanya. Untuk saat ini, segala urusan gadis berbisik, beberapa yang ingin berkenalan dengannya, atau yang tiba-tiba menyatakan cinta, sama sekali tidak penting.

Nagisa adalah prioritas utama.

______Cupchocochip_____

Ditengah pembuatan proyek besar tembok penghalang ombak yang kini dalam proses pengerjaan. Konsep yang diterapkan dalam pembutannya adalah, sebuah tembok tinggi melengkung menyerupai kubah lonjong panjang, berjarak 1 kilometer dari pantai. Banguan itu akan menjadi tempat perlindungan warga bila terjadi tsunami besar.

Satoru tengah mengangkat beberapa semen di punggunya. Ia sudah terlihat seperti tukang panggul sejati. Mengenakan helem keselamatan berwarna kuning, celana cokelat pendek berdebu, juga kaos dalam putih bernoda yang menunjukan otot-otot yang menyepul di balik kain tipis itu. Lengannya yang kekar mencengkram semen yang ia panggul di pundak, untuk ia letakan di depan para pengaduk adonan semen dan pasir.

Satoru memijat lenganya yang pegal sambil meringis sakit. Walau ia rajin fitnes demi membentuk kebugaran tubuhnya, ia belum pernah bekerja kasar seperti yang kini ia lakoni. Otot-totnya menjerit sakit akan pekerjaan kasar yang ia lakukan beberapa hari ini.

"Apa Satoru-san butuh handuk?" tanya seorang gadis yang berlari menemuinya.

"Atau air?" kata gadis lain yang juga tiba-tiba ada di belakangnya.

"Tidak, terimakasih," ujar Satoru kemudian beranjak untuk mengambil kantung semen lagi. Dengan dua gadis pengiring yang tetap setia membututi di belakang, tanpa menggubris sebuah usiran.

"Nagisa, apa kau sudah memikirkan jawabanmu?"

Satoru berhenti dari langkahnya yang terburu karena menghindari penguntitnya, setelah mendengar nama Nagisa disebutkan oleh suara seorang pria.

"Bagaimana ya? Beri aku waktu untuk memikirkannya."

Satotu kini dapat melihat jelas posisi mereka. Nagisa tengah bercakap-cakap dengan ketua dari bakti sosial ini. Setelah melihat keakraban mereka, tiba-tiba otak Satoru segera beraksi hingga mengingat nama pria yang sebenarnya telah ia lupakan sejak pertama bertemu. Tagame,  pria yang tengah berbicara terlalau akrap dengan Nagisa itu, tiba-tiba menunjukan tanda-tanda musuh di mata Satoru.

"Aku mohon. Pernikahan bukan suatu yang main-main," ujar Tagme. Langsung membuat mata Satoru membelak tidak percaya pendengarannya. Satoru langsung maju untuk mencari tahu lebih jelas percakapan mereka, juga tidak lupa untuk bersembunyi di belakang tong air besar bahan adukan semen.

Satoru mengintip sebentar, sebelum ia lebih geram ketika melihat senyum lebar Nagisa yang ia berikan untuk pria di depannya.

"Kumohon kau juga mengerti. Ini juga berat untukku."

"Aku sudah memberimu waktu satu minggu," desakkan Tagame mendapati peryantaan Nagisa yang hampir menyerempet penolakan.

Satoru menyatukan alis seraya mencengkram jemarinya dengan terlampau erat. Otot pelipisnya menyepul, dan bibirnya komat-kamit melontarkan kata-kata kotor dalam desisan. Ia tidak tahu masalah apa yang mereka bicarakan, tapi Satoru mendengar dari salah satu kata yang terlontar bernada 'pernihakan'? Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan. Yang pasti membuat hatinya tidak nyaman dan merasa tengah dicurangi.

"Baiklah."

Satoru menahan napasnya, tersekat oleh situasi yang menjadi titik balik amarah yang tengah berkobar tinggi, seolah siraman bensin di tengah nyala bara api.

"Terimakasih Nagisa. Aku mencintaimu. Aku akan pergi membantu yang lain. Jangan melupakan janjimu," setelah Tagame pergi dengan wajah berseri-seri dalam kemnenagan.

Beralih pada Satoru yang mulai bergerak dalam langkah Hulk yang ingin meremas tank menjengkelkan yang selalu menembakinya.

"Nagisa!" teriak Satoru pada Nagisa setelah berada dalam jarak dekat. Membuat yang terpanggil melompat terkejut oleh suara keras yang memanggil namanya. "Apa yang kau janjikan pada Tagame-san?!" Todong Satoru, seperti ingin Nagisa menjelaskan semua yang ia dengar dalam satu kata.

Bersambung .......

Banyak lho ya, 2000 k ini. Sudah mengobati kerinduan akan Nagisa dan Satoru donk pastinya ....

Jadi jangan lupa ....

Vote + Commentnya ya ...

Selalu tunggu episode selanjutnya ....

Love you all

Ruru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top