Apa pun Dirimu 25

Chapter 25

Petunjuk


Boleh vote dulu?

Terimakasih

Satoru mendapat 6 jahitan di telapak tangan kanan. Perban tebal kini melingkar rapat di sana. Dengan aroma antiseptik yang membuat Satoru mendenguskan napasnya berkali-kali. Dokter menyarankannya untuk istirahat hari ini, bukan hanya karena luka yang dia derita, juga karena kondisi fisiknya yang jauh dari kata prima.

Mengetahui bagaimana keadadaan anaknya yang setres dan terluka, Naomi pun tidak tega untuk meninggalkannya. Satoru yang enggan pergi ke rumah sakit, juga untuk pulang ke rumah, kini hanya duduk di atas sofa tempat kerjanya dalam pandangan orang yang masih kehilangan diri. Satoru bahkan tidak merasa apa-apa, termasuk untuk lukanya. Ia masih saja duduk di posisi yang sama, memandang tangan berperban dengan pandangan kosong.

"Apa tidak sakit?" tanya Naomi menepuk bahu anaknya, mencari perhatian dari lawan bicara yang tidak fokus.

"Ini tidak sakit," ujarnya. "Sudah mati rasa. Tidak sakit sama sekali," kata Satoru terdengar seperti mengomentari luka hati, ketimbang luka fisik yang ia alami.

"Pulanglah, Nak." Naomi mengelus puncak kepala Satoru dengan sabar. Melihat kondisi anaknya yang mengerikan. Matanya yang sayu kurang tidur, bibirnya yang pucat, tubuhnya yang sangat terliat lemah, dan semangat hidup yang hampir punah dalam sorot matanya yang kosong.

"Aku tidak mau pulang. Aku tidak ingin pulang ke rumah itu. Sangat tidak nyaman." Suara Satoru bergetar seolah tengah membendung seribu beban dan raungan yang sudah mencapai pangkal tenggorokan. Membayangkan betapa mengerikan rumah yang penuh dengan bayangan Nagisa saat bersamanya. Membuat hatinya lemah lagi.

Naomi yang melihat anaknya yang hampir menagis, langsung memeluk tubuh Satoru dalam keheningan yang menyesakkan.

"Sebesar itukah?" tanya Naomi, yang tidak lagi menutup mata pada situasi yang anaknya alami.

"Lebih besar dari cintamu padaku," jawab Satoru. Walau terkesan kasar, tapi sesunggunya tidak dimaksudkan untuk menyakiti.

"Begitu kah? Seharusnya aku marah karena ucapanmu itu. Kau tak tahu seberapa besar itu," sanggah Naomi, memahami.

Satoru telah dewasa. Ia baru menyadarinya. Seberapa dalam makna kata yang baru saja terucap dari bibir pria yang lahir dari rahimnya itu, hingga ia tahu bahwa waktu telah berlalu dengan cepat dan merampas haknya untuk dapat memanjakan anak-anaknya dengan baik.

Bohong, itu tidak pernah terwujud. Naomi tidak pernah memberkan anak-anaknya kasih sayang dari seorang ibu seutuhnya. Tiba-tiba saja mereka telah dewasa dan membencinya. Naomi sama sekali tidak terima. Bagiamana kedua anak-anaknya tidak ada yang menghormatinya. Tidak Satoru, tidak pula Fujiki, keduanya seolah bukan anak-anak yang terlahir dari rahimnya.

Apakah ia rela membiarkan semua ini berlarut terlalu lama hingga semua pergi?

"Pergi, cari dia. Temukan dan nikahi. Aku sudah tidak peduli," kata Naomi masih dengan nada ketus.

Satoru menoleh dengan cepat. Membuat lehernya berderik oleh aksi yang tiba-tiba.

"Benarkah?" cetusnya kemudian, dengan mata berbinar harapan.

Naomi mengangguk sanggup. Kemudian tersenyum tulus untuk anaknya.

Satoru bergeming. Tidak berkata atau melakukan apa pun.

"Kau minta apa lagi?" tanya Naomi setelah mendapat respon yang tidak sesuai dengan situasi. Satoru harusnya langsung pergi setelah mendengar ucapanya, tapi kenyataannya dia malah terbengong kaku seraya memandangnya takjub.

"Aku minta restumu," tukasnya mengakhiri tatapan kosong yang benerapa hari ini ia alami.

"Kau tuli? Apa perlu diperjelas?"

Satoru tersenyum bahagia oleh penuturan Ibunya. Dia bebas, dia tak lagi harus merahsiakan cintanya. Dia akan bersama Nagisa seumur hidupnya.

"Terimakasih. Terimakasih. Aku mencintaimu," ujar Satoru langsung menjatuhkan diri untuk memeluk Naomi erat.

"Kau tahu aku tidak terbiasa dengan ucapan itu. Ayahmu tidak seromantis itu untuk pernah mengatakan cinta padaku. Kau belajar dari teman-teman yang baik." Naomi, melepas pelukan mereka, untuk beranjak dan mengecup kening anaknya. "Hanya itu, dan kumohon. Mafkan Ibu."

Satoru mengangguk berkali-kali. Kemudian memeluk ibunya lagi. "I love you. I love you. I love you," ujar Satoru dilimpahi rasa syukur yang besar terhadap berkat yang dirasakan.

Naomi hanya menepuk-nepuk punggung anaknya dengan sayang, memberikan penguatan pada si bungsu, yang sedang bersuka cita dalam rindu.


Satoru sedang menyetir keliling Tokyo untuk sekali lagi. Sudah 3 minggu lebih setelah ia mendapat restu dari ibunya, dan pria itu memutuskan untuk lebih gencar dalam pencarian. Ia tidak akan menyerah sampai menemukan titik terang terhadap keberadaan orang yang ia cari, tapi Nagisa yang pailing ia kasihi, tak kunjung ia temukan keberadaannya.

Hingga pada malam ke- 31 pencariannya di tengah kota Tokyo malam hari di daerah Suginami, sebuah nada panggilan masuk mencapai telinga. Satoru menepikan mobil pada jalur bebas parkir yang tersedia, dan menerima tetefon yang ternyata dari sahabatnya, Natsume.

"Hallo?"

"Hallo. Satoru."

"Ada apa Natsume. Bagaimana kabarmu?"

"Baik, dan aku tidak menelefonmu untuk bertukar kabar. Aku mendengar kabar dari Haruka bahwa Nagisa menghilang. Apa kau sudah menemukannya?" tanya Orang di sebrang.

"Belum. Bisakah kau juga mencoba menghubunginya?"

"Sudah aku lakukan sejak kemarin dan tidak mendapat balasan. Tidak mngkin Nagisa bisa main petak umpet sebaik ini. Dia terlalu ceroboh untuk tidak membuat seseorang menyadari keberadaannya."

"Aku telah mencari ke mana-mana dan tidak menemukannya," balas Satoru seraya menghela napas berat.

"Kau sudah benar-benar mencari pada tempat-tempat yang familiar? Kau tahu, Nagisa orang yang ceroboh. Dia pernah menulis buku harian yang ia simpan di balik bantal tempat tidur. Akhirnya, anak-anak yang lain menemukanya dan membacakan keras-keras di depan kelas. Setelah itu Nagisa kapok dan tidak lagi menyimpannya di bawah bantal."

"Aku tidak mengerti kenapa kau menceritakan—"

"Jangan putus ceritaku dulu, Tuan Muda," tukas Natsume dalam sarkasme.

Satoru sangat benci saat Natsume memanggilnya seperti yang Tori lakukan padanya ketika kecil. "Ok, aku mendengarmu." Satoru mengalah.

"Nagisa menyimpan buku hariannya di lemari meja belajarnya yang tidak memiliki gembok ataupun kunci. Maka ia menggunakan selotip untuk merekatkan pintu itu, agar tidak ada yang bisa membukanya. Selotip warna biru dengan gambar boneka lucu yang ditempel di sekitar pintu lemari, tentu memancing semua anak untuk membuka isinya."

Natsume menyelsaikan ceritanya dan membuat Satoru sedikit banyak menangkap apa yang ingin dia sampaikan.

"Jadi maksudmu ...?" Satoru masih belum berani menyimpulkan.

"Ya ... sebaik-baik Nagisa menyembnyikan sesuatu, pasti ada klu di mana ia menyimpan rahasianya. Cari di tempat-tempat paling familiar baginya, tempat paling aman menurutnya. Kau mungkin akan menemukan petunjuk di sana."

Terdapat jeda di antara percakapan mereka. Saat kedua orang tersebut sama-sama berpikir di mana lokasi paling mungkin untuk menemukan petunjuk.

"Apa kau tahu di mana?"

"Kamarnya," ujar Satoru setelah pertimbangan matang. Tanpa aba-aba, pria itu langsung memutar kunci mobil pada kondisi menyala, dan segera menjalankan kendaraannya untuk pulang.

"Jadi apakah kau sudah pernah mencari di kamarnya?" tanya Natsume. Satoru telah memasang earphone pada telinga agar mereka dapat tetap terhubung.

"Tidak sama sekali. Aku tidak berani pergi ke sana."

"Apa? Kau sudah cukup tua untuk takut pergi ke kamar sendirian?!" Nartsume sedikit bercanda saat mengtakannya.

"Jangan bodoh. Aku hanya ... entahlah, mungkin aku memang sudah gila. Aku akan mencarinya segera. Apa kau masih ada perlu denganku?" Tidak mungkin baginya untuk mengatakan bahwa dia takut melihat bayangan Nagisa di kamar itu.

"Waw, kau mengusirku?"

"Iya, aku sibuk."

" Sabar sedikit. Aku punya berita utama. Aku besok akan kembali!" teriak Natsume dalam keceriaan.

"Kau pulang?" tanya Satoru datar.

"Iya, dan aku telah menemukan orangtuaku."

"Sungguh? Syukurlah."

"Hanya itu? Kau sungguh sahabat terbaik!" ujar Natsume tidak terima penyampaian Satoru yang biasa saja.

Satoru membuang napas sekali, memasuki halaman rumah, dan memarkir mobilnya. "Kau minta apa?" cetusnya kemudian.

"Haruka," jawab Natsume spontan.

"Ambil semua. Aku tidak butuh. Sudah, aku sibuk."

"Hey tunggu aku belum—"

Satoru memutus telefonnya. Memasuki rumah dan disambut oleh para pembantu. Tanpa basa-basi ia segera pergi ke kamar Nagisa dan mencari barang yang mungkin dapat menjadi petunjuk keberadaannya.

Dalam lemari masih tersisa beberapa barang, tapi lebih banyak berupa baju. Lemari kaca samping kamar terdapat beberapa buku hiasan. Satoru tidak menggubrisnya, tahu bahwa Nagisa bukan tipe-tipe pembaca. Di laci hanya terdapat alat-alat kantor dan obat-obatan. Selain itu ada beberapa charger.

"Dia tidak membawa charger?" Satoru bermonolog.

Ia melanjutkan pencarian, sampai pada kolong tempat tidur, bahkan di balik klambu. Namun tak dapat ia temukan apa-apa yang dapat memuasakannya keingintahuannya.

Satoru menjatuhkan diri di atas kasur tempat Nagisa biasa tidur. Kamar tamu yang didesain elegan dan cerah. Dominasi warna putuh dan kuning pada kelambu juga bedcover yang tertata rapi, menjadikan hatinya semakin rindu.

"Di mana aku bisa menemukanmu?"

Bagaimana cara menemukan petunjuk itu? Apakah benar ada petunjuk yang dapat mengatarkanya pada Nagisa. Kamar ini saja tidak mampu mengungkap di mana dia. Ke mana lagi ia harus mencari? Kamar yang lain?

Satoru langsung bangun dari tidur. Berlari keluar kamar Nagisa untuk menuju kamarnya sendiri.

"kau mengisi celenganmu lagi?"

"Iya, ini untuk sumbangan amal."

Ingatan akan percakapan mereka membuka sebuah kesempatan baru.

Satoru membuka lemari kaca tempat celengan-celengan Nagisa berjajar rapi. Nagisa tidak dapat menyimpan celengan-celenganya dalam kamarnya sendiri karena tidak ada lemari kosong di sana. Maka Satoru meminta Nagisa untuk membiarkan celenganya tetap berada dalam kamarnya.

Satoru mengeluarkan satu persatu celengan itu dengan hati-hati. Dari mulai si katak, lebah, ayam, dan mobil sport. Tidak ada yang mencuigakan di sana selain satu. Celengan mobil sport yang ia belikan, memiliki lebel baru.

'Subangan Pulau Mitsushima'

Satoru memandang celengan tersebut dengan mata berbiar cerah. Akhirnya dia menemukannya. Lokasi yang mungkin dikunjungi cintanya.

Bersambung ....

Hallo semua ....

Maaf lama tak up date untuk AD. Aku sedang sibuk saat ini. Doakan tulisanku tidak mangkrak ya.

Terutama Putra Yakuza karena aku belum menulis sampai tamat di sana.

Akhir kata 

Vote + Coment ya ....

Terimakasih. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top