Apa pun Dirimu 24
Chapter 24
Kenangan
Boleh vote dulu sebelum baca?
★
Terimakasih
Setelah berputar-putar mencari Nagisa yang tak kunjung ia temukan keberadannya. Akhirnya Satoru mengehentikan pencarian untuk pagi ini, dan langsung pergi ke kantor untuk bekerja.
Pukul 09.00 malam, Satoru pulang. Memasuki rumah yang penuh dengan aroma sedap sup tomat kesukannya.
Satoru langsung lari sekuat tenaga menuju dapur dan berteriak dengan antusias, "Apakah hari ini kau membuat sup tomat, Nagisa?"
Namun bukanlah Nagisa yang ada di depanya, para pembantulah yang ada di sana. Masing-masing langsung membungkuk memberi penghormatan untuk kedatangan tuan mereka.
Satoru langsung kehilangan selera makan, dan pergi ke kamar untuk tidur bahkan tanpa makan malam.
Pagi harinya, Tori mengantarkan sarapan saat jam masih sangat pagi ke kamar Satoru. Ia menyatakan bahwa Satoru tidak sarapan dan makan malam kemarin. Namun Satoru hanya meminum susunya sampai habis, kemudian langsung mandi dan berngkat ke kantor.
Sebelum berangkat ke kantor. Seperti kemarin, Satoru berkeliling di jalanan selama satu jam untuk mencari Nagisa. Namun, harapanya sia-sia. Ibu hamil itu tak terlihat di mana pun sepanjang jangkauan matanya.
Kesibukan kantor lagi-lagi terjadi, sejenak membuatnya lupa akan situasi. Hingga ia mencapai rumah lagi. Sekali lagi pikiranya penuh dengan kenangan saat bersama Nagisa dalam rumah itu.
Ruang tamu tempat Nagisa sering mengelus Tama yang kini tidur diatas sofa kesukanya. Apa kucing itu tidak rindu pada pemiliknya? Atau dia berpikiran sama seperti Iruka yang berpendapat, Nagisa akan lebih bahagia tanpa dirinya.
Memikirkan hal itu saja sudah membuat Satoru muak segera beranjak menuju kamarnya untuk istirahat.
Membuka kamar pribadinya, Satoru masih saja melihat suilet Nagisa yang duduk di atas lantai sambil merentangkan tanganya untuk meminta gendong. Kejadian saat Ibu hamil itu tengah berpura-pura sakit dan membuat Satoru langsung pulang cepat untuk memeriksa keadannya.
Satoru tidak tahan dan langsung menjatuhkan dirinya di atas kasur. Satoru hampir gila. Ia bahkan dapat mendengar napas lain di sampingnya. Menoleh dan mememukan Nagisa yang tertidur pulas di sampingnya.
Satoru mencoba untuk tidak tergoda. Ia tahu bahwa itu tidaklah nyata. Sekian lama berlalu, bayangan itu tetap ada di tempatnya. Maka ia bertaruh pada takdir untuk menyentuh sosok damai di sampingnya. Namun, sebelum sampai pada kulit halusnya, sosok itu langsung hilang tak bersisa dari hadapan, seperti kumpulan asap yang tersapu angin.
Hatinya tidak terima, berkali-kali bayangan yang sama mencapai otaknya dan menghilang dengan mudahnya. Seperti saat Nagisa pergi dan tak memberitahu di mana dia.
Satoru mengambil smartphone untuk sekali lagi mencoba menelefon, meng-SMS, me-Line, me-WA, me-E-mail orang yang ia cari tiga hari ini. Namun satu pun tidak ada yang mendapat jawaban, dibaca, ataupun dibuka. Tidak ada tanda-tanda bahwa Nagisa menyentuh alat komunikasi itu.
Kepalanya pusing, terlalu berat baginya. Tidak pernah seumur hidupnya, merasakan tekanan yang luar biasa seperti yang sedang ia alami kini. Satoru mengmbil kunci mobil, kemudian langsung keluar dari kediaman bahkan tanpa berpamitan.
Tori mengejarnya, bertanya Tuanya hendak ke mana. Namun satu kata pun tak keluar dari mulut yang tertutup rapat.
Tokyo malam hari yang indah sekaligus menyesakkan. saat suasana ramai yang masih menyelimuti kota yang tiada tidur itu, Satoru mengalami hal sebaliknya yang disebut kesepian.
Jalan-jalan bergemerlap lampu kendaran maupun lampu jalan, juga orang-orang modis yang berlalu lalang hanya seperti boneka sawah yang tak bernyawa. Pikiranya terbawa ke mana-mana, mencari-cari sosok di anatara semua yang melewatinya. Si rambut coklat yang ia rindu setengah mati.
Tubuhnya lelah namun otaknya tak pernah mau mati untuk berpikir kemana dia harus mencari. Memantau satu persatu tiada henti. Namun yang ia temukan selalu saja mencekik hati. Yang di cari tak ditemukan setelah sekian lama menelusri jalan luas tak berujung. Seolah mencari jarum dalam tumpukan semak berduri. Sangat sukar dan menyakiti hati.
Satoru merasa raganya terlalu lelah utuk dia ajak komporomi. Ia memutuskan untuk istirahat, tapi tidak ingin pulang ke rumahnya. Satoru membanting setirnya dan langsung melesat menuju kantor.
Gedung tinggi itu terlihat sepi, seluruh karyawan telah pulang karena jam telah menunjukan pukul 02.00 pagi.
'Aku tidak mau kembali pada kantor yang terdapat tanda 'disita' di depanya,' lagi-lagi suara halus itu keluar dari kepalanya.
"Di mana tempat di dunia yang akan membuatku bebas dari bayanganmu?" tukas Satoru mengeluh pada diri sendiri.
Satoru membuka ruang kerjanya. Menatap kondisi sepi yang kini menyelimuti. Ia beranjak menuju kulkas disamping meja, mengambil beberapa minuman keras dan es batu dari sana. Membawanya menuju meja depan sofa penerima tamu. Mendudukan diri di atasnya untuk menikmati minumannya.
'Sofamu bahkan lebih empuk dibanding kasurku.'
Semakin suara-suara itu terngiang, semakin merana dirnya. Ia sudah tidak lagi menggunakan gelasnya, memutuskan untuk meminum langsung dari botol. Sama sekali bukan kebiasan bagi Hasegawa untuk mabuk secara sembrono seperti yang ia lakukan kini.
Setelah efek keras minuman yang ia tegak berlebihan mulai terasa, Satoru merasakan ngantuk pada kedua kelopak mata. Ia merebahkan perlahan tubuh pada sofa tempatnya duduk. Memandang langit-langit yang temaram oleh samar-samar cahaya dari lorong depan ruangan.
"Kemana pun kau pergi, hanya ragamu yang pergi, kehadiramu tak akan pernah mati," kata-kata yang terucap dalam mabuk itu menjadi penutup malam panjangnya hari ini, untuk ia bawa ke alam mimpi.
________cupcocochip________
Pagi-pagi sekali Asami dan Tori datang ke kantor mengantar pakaian dan sarapan bagi Satoru. Mendapati Tuan mereka yang jauh dari kata baik-baik saja. Tubuhnya bau alkohol, kantong mata hitam, wajah pucat, juga ekspresi yang sangat jauh dari kata bahagia.
"Sampai kapan Anda akan tinggal di kantor, Tuan?" tanya Tori yang memasukan sebuah bantal pada lemari kosong di samping lemari berkas, juga tumpukan baju bersih yang telah ia bawa.
"Aku tidak tahu," jawab Satoru dengan suara serak.
"Silahkan dimakan Satoru-sama. Saya sengaja memasakan sup tomat kesukan Satoru-sama."
Jujur Satoru sebenarnya lapar. Namun setelah melihat dan mencium bau sup tomat, ia jadi mengingat orang itu. Langsung hilaglah nafsu makanya lagi.
"Aku tidak lapar."
"Satoru-sama. Bila Anda sakit, siapa lagi yang akan mencari Nagisa-sama?" Tori mentok bagian paing penting yang menjadi topik alasan Satoru kehilangan nafsu makanya.
Satoru menimbang sebentar, sebelum mulai mengambil sumitnya. Tori dan Asami yang masih ada di sana merasa sedikit lega melihat majikan mereka bersedia memakan makanannya.
Setelah Satoru menyelesaikan sarapan, Tori dan Asami hendak pergi. Sebelum Asami berbalik dan menunjukan iktikatnya. "Tuan, saya bersedia 24 jam untuk membantu Satoru-sama mencari Nagisa-sama," tawaran Asami pada Satoru yang masih duduk terdiam di atas sofa.
"Terimakasih, tapi aku tidak butuh bantuanmu," jawabnya ketus.
"Saya hanya ingin Nagisa-sama segera ditemukan. Saya takut terjadi apa-apa padanya. Dia tengah hamil dan sendirian. Saya sangat ingin menemuk—"
"APA KAU BUTA?!" teriak Satoru yang telah berdiri dari tempatnya, dan langsung marah pada Asami yang sesungguhnya tidak salah apa-apa. "Kau pikir apa yang aku lakukan empat hari ini kalau bukan mencarinya? Bagaimana mungkin pria menyedihkan ini hanya santai-santai saat belahan jiwanya hilang entah kenama! Kau siapa, hah? Berani-berani mengingatkanku tentang tanggung jawab!" Satoru hampir menerjang dan ingin mencekik Asmi kalau saja Tori tidak menghalanginya.
"Tuan, sadar. Anda sedang emosi," kata Tori seraya memegangi tubuh tauannya agar tak lagi meluapkan amarahnya tanpa kendali.
Satoru menata napasnya yang tak beraturan oleh luapan emosi untuk kembali duduk di sofa yang tempatnya tadi duduk. Menuang secangkir bir ke dalam gelas dan langsung meneguknya degan kasar.
"Kalau begitu kami pamit, Tuan," cetus Tori yang segera berpamitan sedangkan Asami yang masih syok dengan kejadian yang baru saja terjadi, bergeming ditempatnya dan tidak dapat bereaksi. Tori mendorongnya untuk segera bergerak dan keluar dari ruangan kantor Hasegawa muda.
Belum semenit para pembatunya pergi, lengkingan suara lain kembali memenuhi ruangan, membuat Satoru ingin menyumpal lubang telinganya lagi.
"Satoru." Naomi Hasegawa datang dengan sebuah bungkusan setelan jas baru merek terkenal untuk dia bawa menemui anaknya. "Kau lihat apa yang aku bawa? Baju pernikahanmu. Ingat, kau akan menikah seminggu lagi?" Naomi meletakan pakaian itu di atas meja depan anaknya, dan mebukanya dengan hati-hati.
"Kau lihat? Ini pilihan Haruka. Kau tahu kalau seleranya sama denganku. Ibu harap kau segera menikah dengannya, sehingga kami bisa terus shopping sama-sama."
Satoru malas menanggapi. Hanya menenggak minumannya untuk kesekian kali.
Naomi yang tidak kunjung mendengar balasan dari lawan bicara, memutuskan untuk mendongak melihat kondisinya.
"Kau kenapa, Nak? Kau pucat sekali," celocos Naomi baru saja menyadari kondisi anaknya. Ia segera beranjak dan duduk di samping si bungsu. "Kau semakin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri sebelum hari pernikahan?" Naomi mengelus pipi anaknya dengan sayang. Kemudian menyimpulkan alasannya. "Aku tahu! Ini pasti gara-gara makhluk ambigu itu pergi. Kau harusnya bersyukur dia per—"
Pyarrr ...
"Hentikan omomng kosong Ibu!"
Gelas yang bir yang tadi ia gunakan minum, kini telah menjadi serpihan di atas meja. Tepatnya, Satoru menggebrak gelas itu di atas meja hingga pecah dan melukai tangannya sendiri. Serpihan besar gelas itu kini menancap di telapak tangan, menurunkan perlahan tetes-tetes darah kental yang jatuh berceceran.
Naomi syok, sekaligus ingin marah. Namun segera ia urungkan setelah melihat tetes demi tetes darah yang keluar dari tangan anaknya.
"Ya Tuhan, ya Tuhan. Apa yang kau lakukan, Satoru? Bagiamana ini? Aku akan memanggil dokter." Naomi yang panik, segera bertindak dan menelephon dokter keluarga untuk segera datang menemui mereka.
Satoru hanya diam di tempatnya duduk. Mengawasi dengan pandangan kosong pecahan kaca dan darah yang tak kunjung berhenti.
Sedikit menyesali tindakannya, karena amarahnya tadi, ia lagi-lagi harus berjalan menuju lemari belakang, untuk mengambil gelas yang baru.
Sama sekali tidak peduli akan diri maupun kondisi mengenaskannya saat ini.
Bersambung ...
Maaf no edit, lagi sakit gigi. Hauh ....😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top