Apa pun Dirimu 23
Chapter 23
Kepribadian
Kembali ke masa kini.
Nagisa bingung harus bereaksi. Apa yang ia rasakan kini jauh dari kata kecewa. Seperti beribu kupu-kupu terbang di perutnya. Atau bunga-bunga tengah disebar di sekitar kamar. Hati yang membucah oleh rasa yang sekian lama tak ia jumpa. Bertolak belakang dengan situasi mereka kini. Nagisa merasakan sesuatu yang ia sebut 'bahagia'.
"Jadi, Raito, Raito adalah anakmu?" Suara ketidakpercayan terdengar disana.
Satoru mengangguk perlahan. Mencari celah saat ekspresi Nagisa terlihat sedikit melunak dari cerita yang baru ia sampaikan.
Nagisa berdiri. Masih dalam ekspresi yang sama. Ia mentap Satoru tajam, saat mereka telah sejajar dan berhadapan.
PLAK
"Kau menipuku brensek!" Tanpa aba-aba dan peringatan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Satoru. "Seberapa lama kau merahasiakan ini padaku! Kau membuatku harus merasa jijik pada tubuhku sendiri. Menerima benih dari lelaki yang tidak aku ketahui. Kau sungguh membuatku muak!" Ia berusaha mendalami peran. Kemarahan palsu yang ia tekan agar meyakinkan. Dipernyata dengan deru napas cepat keluar masuk melalui mulut. Juga wajah yang memerah oleh teriakan-teriakan yang baru ia lakoni.
"Nagisa, maafkan aku. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk jujur padamu. Aku bermaksud memberitahumu setelah aku dan Haruka menikah."
Nagisa seketika kehilangan rasa bahagia dari kebenaran mengenai anaknya. Tergantikan dengan radang hati yang menjadi-jadi. Bagimana sebenarnya cara Satoru memandang dirinya? Serendah itukah harga diri Nagisa, hingga setelah ia dihamili, tak ada sedikitpun getaran hati yang dirasakan pria itu untuk memepertanggungjawabkan perbuatannya?
"Dan kenapa harus setelah kau menikahinya? Kau benar-benar bermaksud akan membuatku menjadi simpananmu?" tanya Nagisa.
Satoru terdiam, tertohok dengan kebenaran yang tercetus dari lawan bicara yang kini menuntukan tatapan introgasi.
"Luar biasa Satoru. Kau sangat membuatku terkejut dengan kepribadianmu itu. Satu hal Satoru, setelah kau mengikat cintamu bersama Haruka di altar pernikahan, jangan pernah membayangkan wujud anakmu. Karena satu kedip pun, aku tidak akan pernah memberikan kesempatan bagimu untuk melihatnya. Selamat tinggal."
Dalam hatinya, ia tidak berani meminta Satoru menikahinya. Ada Haruka yang juga membutuhkan pria itu. Biralah dia yang mengalah. Membiarkan dua sahabatanya untuk bahagia.
Setelah ata terakhir itu, Nagisa langsung menjangkau tas kopernya, untuk diboyong menuju pintu keluar.
"Nagisa! Mafkan aku Nagisa ... Nagisa ...."
Brak
Nagisa menutup pintu dan mengunci Satoru dalam kamar.
Teriakan bersaut-sautan dari dalam kamar. Memanggil-manggil namanya tanpa jeda. Memohon dan meminta pengampunan. Namun tiada ingin Nagisa gubris lagi, tidak ingin ia takluk lagi. Pada pesona pujangganya, rengekan sia-sia dari sosok itu.
Nagisa tiada henti melangkah kaki. Menjauhi rumah besar Hasegawa untuk kedua kali. Tanpa Satoru yang membututi, tanpa jas hangat Satoru yang menyelimuti.
Ia duduk di depan halte bus kosong dengan penerangan yang kurang baik. Smartphonenya tidak berhenti berdering. Ia tahu siapa di sana. Oleh karena itu, ia enggan untuk sekedar mengeceknya.
Nagisa menegelus perutnya yang semakin bertumbuh. Memejamkan matanya sebetar untuk menghalau rasa yang campur aduk dalam hati. Kemudian mengatakan kata-kata penghibur bagi diri maupun si jabang bayi.
"Mafkan ibu Raito. Ibu harus memisahkanmu dari ayah kandunngmu. Ibu sangat mencintai Satoru. Ibu sangat berterimakasih karena dia adalah ayahmu. Aku sangat bahagia mendengar dia adalah ayahmu. Aku sangat-sangat bahagia."
Dalam setiap bait yang terucap.
Dalam hati semu yang mengatakan kata cinta pada kekasih yang diikhlaskan.
Mana kala cinta terbalas pada saat yang tidak menguntungkan.
Cinta mereka.
Mungkinkah akan memiliki masa depan yang bahagia pada akhirnya.
Bahkan sang takdir pun setengah mati ingin memisahkan.
Dapatkan mereka mengintip garisan sang pencipta.
Untuk mengetahui bahwa masing-masingnya dapat berjalan dalam garis jodoh yang sama.
Ditakdirkan atau tidak.
Mereka hanya berharap satu.
Terbaik untukmu.
-----------------------cupchocochip----------------------
Pagi datang.
Satu demi satu langkah cahaya matahari untuk merambat pelan pada permukan lantai kamar milik tuan muda Satoru yang masih saja duduk di atas kamar tidurnya.
Duduk, bukan tidur, dan tidak bisa tidur.
Sepanjang malam dalam posisi yang sama, dan pikiran yang sama pula. Termenung pada kejadian saat Nagisa meninggalkannya. Cintanya pergi. Dalam tamparan yang sangat menyakiti.
'Bagaimana cara membuatnya kembali?' adalah satu-satunya hal yang ia tanyakan pada pikiran gerundelnya sepanjang malam.
Ia muak berpikir. Berdiri dari posisi dan mengambil kunci mobil yang ada dalam pot kecil atas nakas. Bergerak cepat menuju mobil bahakan sebelum para pembantu dan tukang kebun bangun untuk menyiapkan sarapan.
Kemarin, setelah dibukakan pintu oleh , Satoru segera ingin mencari Nagisa di manapun Ibu Hamil itu berada. Namun, Tori mengehentikanya. Pelayan itu meyakinkan Satoru untuk mencari Nagisa esok hari. Karena mungkin ibu hamil itu butuh waktu untuk menenangkan diri. Dari rayuan itu, Satoru pun menyanggupi, dan mencoba bersabar hingga pagi datang.
Tetapi kini, bahkan sebelum matahari sempat mengucapkan selamat pagi pada dunia. Di subuh hari, apa yang dipikirkan Satoru untuk pergi menuju panti asuhan?
Pagi yang sangat dingin di musim gugur. Suasana masih sangat sepi. Gerbang depan panti asuhan masih tertutup. Satoru yang tidak ingin membuat keributan hanya menunggu dalam mobil sambil menyalakan penghangat.
Saat jam telah menunjukan 07.00 pagi, Iruka terlihat keluar dari balik pepehonan rindang taman luas depan bangunan panti, untuk membuka gerbang pintu masuk.
"Iruka-san!" cetus Satoru yang langsung menyongsong Iruka di depanya, membuat lawan bicara heran dan terdiam di tempatnya berdiri.
----------------cupchocochip--------------
"Dia tidak datang kemari," kata Iruka setelah Satoru menyatakan maksud kedatangannya.
"Aku hanya ingin berbicara sebentar. Ijinkan aku untuk menemuinya-"
"Sungguh Satoru. Dia tidak datang dan menghubungiku sama sekali tadi malam. Percuma kau bertanya padaku di mana Nagisa. Aku pun tidak tahu." Iruka langsung memotong ucapan Satoru yang mengira dirinya tengah berbohong mengenai ketidaktahuannya.
"Kalau begitu kemana dia pergi?" kata Satoru bermonolog pada diri.
"Ada lima kemungkinan di mana Nagisa. Pertama rumahmu, rumah Haruka, Natsume, apartemenya, terakhir, di sini. Bila dia tidak ada di mana pun. Maka dia memang sengaja menyembunyikan diri. Yang berarti, dia tidak ingin menemuimu."
"Apa kau tidak mencemaskannya?" tanya Satoru saat mendapati ekspresi Iruka yang terlihat tidak menunjukan tanda-tanda kekhawatiran.
"Aku lebih cemas bila dia tetap bersamamu," jawab Iruka, dalam penekanan.
Satoru menunduk malu. Ia tahu siapa Iruka. Bila pria itu dengan tega berkata kasar, berarti hal tersebut sudah termasuk dalam kategori keterlaluan. "Sebegitu burukah aku padanya?"
Iruka menatap Satoru dalam ekspresi penyesalan. Bukan karena menyesali ucapannya, melainkan karena Satoru yang ia harapkan untuk mendampingi Nagisa, bukanlah laki-laki yang ada di hadapannya.
"Lebih dari yang kau pikirkan. Kau menjadikan Nagisa bunga hiasan di samping tempat tidurmu, di saat ada bunga lain di atas ranjang. Kau membuatnya rela untuk menyaksikan pernikahan orang paling ia cintai. Kau membuatnya harus patah hati berkali-kali."
"Saya hanya menikah sebentar," kilah Satoru.
"O yaeh? Apakah setelah itu kalian akan bercerai?"
"Itu hanya sebuah upacara. Bukan apa-apa."
Pernytaan itu sungguh membuat Iruka ingin memutar kepala Satoru ke arah sebaliknya. Bagaimana mungkin, seorang Satoru yang sedari kecil ia kenal paling rasioanal, ternyata menyimpan pemikiran rendah seperti yang baru saja ia ungkapkan.
"Apa sebenarnya arti pernikahan bagimu, Nak?" tanya Iruka naik pitam.
"Itu hanya sebuah janji untuk hidup bersama. Tentunya tidak ada peraturan, yang tidak memperbolehkanku untuk mengajak orang lain tinggal bersama kami bukan? Maka itu, aku akan membawa Nagisa masuk dalam keluargaku."
"Jadi kau juga bermaksud menikahi Nagisa? Poligami?" Iruka masih sekuat tenaga mengendalikan diri.
"Untuk apa menikah? Bukankah kami sudah bersama-sama?"
"Lalu Natsume? Apakah dia juga akan tinggal bersama kalian?" tebak Iruka.
"Tentu, dia juga telah bersama Haruka."
'Jadi mereka adalah anak-anak hasil didikan panti asuhan ini.' Iruka ingin menagis saat memikirkannya.
"Dia setuju?" tanya Iruka lagi.
"Kami belum mengkorfimasinya."
"Kalian berempat?" Iruka merasa hatinya tercengkaram sebuah tali tak terlihat. "Jadi kau akan membuat Nagisa menikah dengan Natsume?"
"Untuk apa aku melakukanya?!"
"Lalu bagimana kalian menjelaskan alasan, mengapa kalian tinggal berempat?"
"Kami, kami bersahabat." Satoru sedikit tergagap oleh jawaban yang kurang ia yakini.
"Apa masyarakat akan menerima alasan itu?" teriak Iruka jengkel pada anak asuh yang menurutnya paling dewasa, yang ternyata paling kekanakan yang pernah ia temui sepanjang hidupnya.
"Aku tidak perduli pada opini," jawab Satoru terlalu menyederhanakan permasalahan.
"Bila suatu saat Nagisa menemukan kebahagian lain selain bersamamu, apa kau akan melepasnya?"
"Maksudmu?" Satoru mencoba mengingkari pemahaman.
"Bila Nagisa menemukan tambatan hati selain-"
"Itu tidak mungkin!" Satoru menyalak keras, tidak terima akan opini Iruka tentang hubungannya degan Nagisa.
"Itu sangat mungkin," balas Iruka geram. Marah pada pria sembrono di depanya, mengacamnya dengan tatapan yang kekecewan mendalam. "Dan aku selalu berdoa akan kemungkianan itu. Aku berarap Nagisa menemukan seseorang yang mampu menjaganya, seutuhnya," Iruka mengakhiri kalimatnya.
"Aku akan menjaganya," ujar Satoru tiada rasa bersalah.
"Tanpa ikatan?"
"Tanpa ikatan," teriak Satoru matap, penuh keyakinan.
Iruka membuang napas sekali untuk meyeimbangkan antara rasa marah dan penyesalan. Ia mencoba mengendalikan diri, untuk ia sampaikan dalam beberapa kalimat pencerahan. "Kau tahu hakikat pernikahan Satoru. Pertama untuk menyatukan dua insan, dan yang lain, untuk menyatakan pada semua orang, bahwa seseorang telah resmi bersamamu dan menjadi tangguanmu.
"Bila kau tidak menjalaninya, hal itu sama saja menyatakan, bahwa kau dapat melepas pasanganmu kapan pun juga, dan di mana pun juga. Bila kau memang bermaksud melepaskan Nagisa saat kau sudah tidak membutuhkannya. Maka cintamu hanyalah semu. Tidak berguna!" Iruka mengucapkan kata terakhirnya dalam amukan.
"Tapi-"
"Aku mohon Satoru." Iruka tidak memberi kesempatan lagi untuk Satoru membela diri. "Tidak usah lagi berhubungan dengan Nagisa. Jangan memberikan harapan palsu, untuk selalu bersama. Biarkan dia menemukan seseorang benar-benar mencintainya. Seseorang yang mampu menyatakan pada dunia, bahwa dia mencintai seorang Nagisa." Iruka mengakhiri dialognya dengan sebuah permohonan yang diiringi air mata yang jatuh perlahan dari mata yang sedari tadi telah memerah oleh kekecewan.
Satoru mendapat penyesalan, yaitu saat membuat Iruka-orang yang sudah dia anggap orang tuanya sendiri itu kecewa padanya. Ia hanya bisa terdiam dan tak dapat menanggapi atau pun menghibur pria itu dengan mengalah, karena dirinya sendiri tidak menyesal untuk menyatakan pendapatnya, dan tidak pula ingin mengoreksinya.
"Aku permisi." Satu kata terakhir yang ia ucapkan sebelum pergi dan tanpa menoleh lagi, pada Iruka yang masih menginginkan untuk anaknya itu sedikit mengerti apa yang ada dipikirannya.
Satoru melangkah cepat. Memasuki mobilnya dan mulai menyalakan mesin.
Kata-kata Iruka masih membekas dalam benak. Apa selama ini teorinya salah mengenai pernihakan? Lalu bagaimana dengan perceraian? Bila ikatan pernikahan sangatlah kuat, untuk apa ada perceraian di dunia ini?
Satoru masih belum mendapat jawaban. Ia masih beranggapan bahwa pernihakan hanya sebuah ritual penyatuan yang tidak berarti apa-apa.
Menurutnya, yang paling penting dalam sebuah hubungan adalah rasa cinta. Ia yakin 100% bahwa cintanya akan bertahan bahkan tanpa pernikahan. Kekuatan cinta, dapat melebihi semua ikatan yang ada di dunia. Atau setidaknya itu yang ia percayai.
Bersambung ....
.
Nah ini dia yang perlu kalian cermati. Satoru dan kepercayaannya pada pernikahan. Ini adalah momok pelik yang tidak kalian sadari. Dari masalah sepele di chapter 2 tentang arti pernikahan bagi Satoru, sampai menjadi masalah berat level L saat ini.
Hmmm ....
#Siapa dari kalian yang sudah menyangka Satoru akan bersikap sebegini bebal?
Jangan malas Vote + Comment ya ....
Nanti aku juga males up date..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top