Apa pun Dirimu 22

Chapter 22

Kejujuran

Properti cerita ini seluruhnya adalah akal-akalan Ruru.

Jangan Copy cerita ini.

Vote duluan juga boleh.

"Nagisa!" teriak Satoru saat memasuki kamar. Mendapati sang empunya sedang mengepak barang-barang dengan terburu-buru. Satoru merasa hatinya seolah diperas kuat-kuat. "Apa yang kau lakukan? Kembalikan barangmu pada tempatnya."

"Apa lagi Satoru. Apa lagi yang kau inginkan dariku Tuan Hasegawa?" kata Nagisa, tidak menghentikan kegiatan mengemas barang-barangnya bahkan saat berbicara pada Satoru.

Si Pria mendekat dan mencengkram pergelangan tangan Nagisa untuk menghentikan tindakan ibu hamil itu.

"Jangan pergi, aku mohon, jangan pergi. Kau tidak perlu mendengarkan ucapan ibuku. Kau tahu siapa dia. Mulutnya lebih berbisa dari racun ular kobra."

"Hahaha ... kau membuatku tertawa Satoru. Aku ini sudah cacat, dan sekarang kau memintaku untuk jadi tuli?!" kata Nagisa seraya memukul dada Satoru sedikit keras. Nafasnya berat dan kemarahanya tibul pada tatapan mata yang diperlihatkan pada lawan bicara.

"Kumohon, kau sudah tahu siapa dia. Dia itu ...."

"Satoru, dengarkan aku." Nagisa mencengkram bahu Satoru kuat-kuat, untuk menekankan apa yang hendak ia sampikan selanjutnya, "Ibumu benar. Ini terlalu berat bagimu, harus menampung diriku yang cacat, dan bayiku yang kemungkinan akan bernasip sama sepertiku.

"Dan Ini juga terlalu berat bagiku, harus membuatmu menaggung malu karena ... karena aku dan bayiku, yang bukan siapa-siapamu, yang hanya akan memberikanmu beban, yang akan ... menjadi masalah bagi keluargamu kelak, dan benalu—" Nagisa tak sanggup melanjutkan kalimat, ia membekap di mulutnya sendiri, tersekat oleh tangis dan air mata yang keluar bergiliran. Ia terduduk di pinggiran kasur dan melingkupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menahan penyesalan yang kian parah mendera hati.

"Nagisa ...." Satoru mendekat, kemudian memeluk Nagisa yang masih mengis dalam dekapannya. "Nagisa, dengarkan aku. Aku sama sekali tidak malu. Aku sama sekali tidak keberatan. Ini adalah tanggung jawabku. Dia anakku Nagisa."

"Cukup!" teriak Nagisa, langsung merepas pelukan mereka dengan kasar. "Dia bukan anakmu! Tidak akan aku biarkan dia dipermalukan lagi, bahkan oleh ibumu. Tidak akan aku biarkan lagi kelaurga Hasegawa menyentuhnya." Nagisa sudah sangat kecewa dan tidak tahan dengan segala penghinan yang bayinya terima.

"Kau tidak boleh melakukan itu."

"Apa? Apa hakmu melarangku? Kau bukan siapa-siapa bagi anakku. Tidak akan aku biarkan dia berhubungan dengan Hasegawa."

"Itu tidak mungkin Nagisa. Hasegawa telah mengalir dalam darahnya. Dia adalah keturunan Haesegawa."

Seperti hanya sebuah cemeti yang di lecut di udara, atau petir yang menyambar saat tidak ada awan di udara. Nagisa hamir tersedak oleh ludahnya sendiri. Tidak mempercayai telinga yang diberikan Tuhan padanya. Ia ingin ada siaran ulang terhadap kata-kata itu. Kejujuran yang menjungkirbalikkan semua teori yang ada. Pria di depanya, adalah ayah dari bayinya?

"Apa maksudmu Satoru?" tanya Nagisa menurunkan intonasi dan memandang Satoru dengan lebih intens.

"Raito adalah anak kandungku."

Tersambar petir dua kali dalam satu hari. Bahkan lebih dasyat dari badai yang terjadi saat liburan mereka di pantai. Itulah yang Nagisa rasakan saat ini. Terpatung dan tidak menyangka dengan apa yang baru saja diterima.

"Kau bohong. KAU BOHONG! Jangan berharap dengan kebohonganmu itu, mampu membuatku untuk tidak pergi dari sini," kesimpulan Nagisa setelah menimbang kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Satoru berlutut dan mengenggam tangan Nagisa untuk menekankan segela kebenaran yang ada.

"Aku tidak bohong Nagisa. Laki-laki yang telah menghamilimu adalah aku, Hasegawa Satoru, adalah ayah kandung dari Hasegawa Raito."

Kali ini Nagisa benar-benar gagal respon. Dia merasa telah berteleportasi pada dimensi yang berbeda. Bagimana mungkin dengan sangat mudahnya sebuah kenytan terlontar membuat semua hal menjadi sangat jelas dan terlampau baik untuk ukuran hidupnya yang sangat menderita.

Melihat tidak adanya respon dari lawan bicara, Satoru memutuskan untuk melanjutkan ceritanya, "malam hari setelah kepergian Haruka ke Hawai, saat kita mabuk, dan menyesali kekonyolan Haruka yang kabur dari tanggal pernikahan yang ditentukan ...."

.

.

.

.

.

CupChocochip

.

.

.

.

.

7 bulan yang lalu ....

.

.

.

.

.

"Nagisa? Kau tidur?" ujar Satoru, menepuk-nepuk pipi merah Nagisa yang kini telah mabuk berat.

"Hm ...," sahut lawan bicara, tak mampu mengangkat kepalanya dari atas meja.

Apartemen lama Nagisa yang beratakan. Dengan kaleng-kaleng bir kosong, juga cemilan yang dibawa Satoru saat datang, haya bersisa bungkus-bungkus kosong dan beberapa kaleng yang untuh.

"Ayo aku antar ke kamar," kata Satoru sempat berpegangan pada tembok untuk menyeimbangkan tubuh.

"Hm ...."

Satoru hendak menagkat tubuh Nagisa yang masih enggan beranjak dari posisi. Mencoba memapah Nagisa untuk menuju kamar.

Setelah sampai di tempat yang dituju, Satoru langsung menjatuhkan Nagisa di atas kasurnya. Posisi Nagisa yang mencengkram erat kerah baju Satoru, membuat Satoru yang dari awal ingin segera melepaskan tubuh Nagisa, ikut terpelanting dan jatuh tepat di atas tubuh berbaring sahabatnya.

Mereka kini dalam posisi saling menindih antara dua tubuh kecil dan besar, tatapan mereka lurus, menatap satu sama lain seolah saling menikmati keindahan masing-masingya.

"Kau tampan Satoru," kata Nagisa tiba-tiba.

Kata-kata Nagisa menyadarkan Satoru pada posisinya saat ini. Wajah Nagisa hanya berjarak 10 cm dari wajahnya. Mereka saling berpandangan dengan posisi bertindihan.

"Pantas saja semua gadis jatuh cinta padamu. Andai saja aku bisa setampan kau. Aku mungkin akan ... akan ... mampu membuatmu tertarik padaku." Nagisa mengakhiri kalimatnya dalam tawa getir dan mulai memejamkan matanya yang semakin berat.

"Aku bukan homo Nagisa. Aku tidak tertarik pada pria tampan," jawab Satoru mulai mengangkat kepalanya, hingga kini berada tepat di atas wajah Nagisa yang hanya dapat sedikit membuka matanya.

"Hahaha ... tentu saja. Kau adalah playboy paling berjaya. Sudah menaklukan 1000 wanita, tak mungkin akan tertarik pada lelaki," kata Nagisa hampir kehilangan kesadaran.

"Kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau pernah tertarik pada pria?" tanya Satoru.

Nagisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menyatakan jawabanya dengan gamblang, "Iya. Aku sering iri padamu. Kau terlalu sempurna. Apa itu terhitung dalam kata tertarik?."

"Hm ... kalau hal seperti itu dihitung. Mungkin kau benar-benar tertarik padaku," jawab Satoru, mengelus anak rambut Nagisa dengan lembut. "Tapi benar-benar aku tidak pernah tertarik pada pria."

"Hahaha ... Jadi sekarang kau berkata bahwa aku hanya bertepuk sebelah tangan?"

"Tidak, aku tidak pernah mengatakanya padamu sebelumnya, tapi aku sama sekali tidak pernah menganggapmu seorang pria." Satoru mencubit pipi merah Nagisa dengan gemas.

"Hm ...?" ujar Nagisa linglung, menempis cubitan Satoru dengan gerangan lelah. Tidak kuat untuk mempertahankan kesadaran diri lebih lama lagi.

Sementara Nagisa hampir kehilangan kesadran diri, Satoru malah semakin sadar hingga menytakan kebenaran yang selama ini ia rahasiakan, "aku tidak pernah mencintaimu sebagai seorang pria," ujarnya, tulus.

"Kau mencintaiku? Itu manis sekali." Nagisa mengacak-ngacak rambut Satoru dengan gemas.

Lalu tanpa peringatan, Satoru mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Nagisa dengan lembut. Sedikit lama hingga Nagisa hampir kehilangan rasa terkejutnya, untuk segera meggantinya dengan raut wajah memerah padam oleh rasa malu.

"Aku mencintaimu sebagai seorang interseksual, yang hampir mendekati wujud perawan sejati, wanita yang aku idamkam sepenuh hati," lanjutnya dengan kesungguhan yang terpancar dari tatapan seorang pria pada wanita pujannya.

"Satoru ...," ujar Nagisa, ekspresi bahagia jelas terpancar dari sinar matanya. Ia memandang Satoru bagai kekasih lama yang kini bersatu kembali. Menanti datangnya suka cita dari kebersaman mereka berdua.

Satotu mendekatkan wajahnya lagi. Kini ia memilih bibir ranum milik Nagisa sebagai sasarannya. Ia raup dengan rakus rekahan merah itu dengan bibirnya sendiri. Membukanya perlahan dengan lidah, kemudian menjelajahi tiap sela dalam mulut lawan yang kini tiada berdaya.

"Satoru ...." Desahan Nagisa saat cuman panas mereka berakhir, dan menyisakan sesal napas seperti orang habis berlari.

"Milikku, aku akan memilikkimu. Malam ini, dan seterusnya. Tidak akan aku lepaskan, tidak akan lagi aku lepaskan," kata Satoru mulai melucuti lawan yang tidak berdaya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ini adegan 18+ yang terkemas dalam puisi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sense of Love

"Nagisaaa ...."

Desahan kata yang menjadi awal pergulatan mereka malam itu.

Saat dua tubuh menyatu.

Mata terpejam dalam kenikmatan dunia.

Napas yang tersengal oleh cinta yang diungkapakan secara bertubi-tubi.

Kecacatan yang tiada terlihat oleh cinta murni.

Hujaman rasa, penekanan dari tulus cintanya.

Menyemai pada tempat tertentu.

Meningkatkan tiap tarikan napas yang menderu.

Pada sepasang insan yang beradu.

Ciuman hangat dan ikatan yang tercipta.

Desahan dan ucapan yang tiada bermakna.

Hingga keduanya mencapai titik bahagia.

Surga dunia milik mereka.

Cinta malam itu, sangatlah bermakna.

Namun hanya bertahan dalam mimpi oleh Nagisa.

Mimpi yang hilang terhapus pagi.

Dan disesali hingga kini.

.

.

.

.

.

.

.

Kembali ke masa kini

.

.

.

.

.

.

Bersambung ....

Ketipu! Wkwkwkw

Vote + comment jangan lupa.

.

.

.

.

.

#Biuh, awas kalian minta ena-ena ke aku. Cukup Putra Yakuza yang penuh dosyah.

#Hari ini aku sedang sedih nih. Nggak ada yang mau kasih balon?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top