Apa pun Dirimu 21


Chapter 21

Ibu

.

Properti dari cerita ini, seluruhnya adalah akal-akalan ruru.

CupChocochip.

  Jangan copy apa pun dari cerita ini.  

.

Liburan berakhir. Pemandangan musim dingin di jepang hampir berakhir. Haruka maupun Satoru kini sudah mulai sibuk menyiapkan pernikahan. Bahkan Nagisa yang sedari kemarin telah menerima keadan, kini murung kembali.

Satu bulan lagi, tepatnya. Pernikahan yang sama sekali tidak ia harapkan akan terjadi. Ikut sibuk dan pura-pura masuk dalam suka cita mereka adalah yang paling menyiksa. Namun, disisi lain ia juga tidak dapat egois dan hanya mementingkan kepentingan perasannya sendiri.

Haruka cukup baik. Membuat Nagisa memilih beberapa dekorasi yang akan digunakan dalam pernikahan. Atau membantu Satoru memilih jas yang akan digunakan saat sumpah setia. Kebaikan yang sia-sia. Karena yang Nagisa rasakan hanya penderitan yang semakin kuat tiap harinya.

Mobil sport merah berhenti tepat di depan kediaman Satoru Hasegawa. Membawa seorang sang ibu dari pemilik rumah untuk memasuki pintu depan yang sudah terbuka dari sejak pagi tadi. Langkahnya yang anggun, membuat semua maid membungkuk takluk, menunjukan kesetian.

"Haruka sayang," panggil Naomi Hasegawa saat melihat orang yang ingin ia temui. Memeluk calon menantu dengan bangga.

"Ibu?" ujar Haruka setelah melepas pelukan selamat datang mereka. "Aku dengar dari Shota, Ibu sedang berlibur di hawai bersama teman-teman Ibu."

"Bukan liburan. Ada acara amal di sana. Hm ... benar-benar menyenangkan, banyak tempat yang kami kunjungi, dan aku banyak berbelanja untuk bayi kalian. Apa Satoru sudah pergi ke kantor?"

'Acara amal? Tapi jalan-jalan dan banyak belanja,' sindir Haruka dalam hati.

"Iya, dia pergi pagi-pagi sekali. Ada rapat penting katanya."

Kemudian Naomi mengipas-ngipaskan telapak tangan pada wajahnya.

"Huft ... aku butuh sesuatu yang dingin. Hey! Kau! Oh, Nagisa," ujar Naomi, sedikit menurunkan nada bicara saat meneyebutkan nama Nagisa, terlihat cukup kecewa.

Nagisa yang baru saja turun dari lantai atas, menghadap seseorang memanggilnya, yang langsung ia sesali saat mengetahui siapa.

"Bisakah kau mengambilkanku jus jeruk?" perintahnya.

"Baik, akan segera saya ambilkan," jawab Nagisa, langsung pergi menuju dapur bahkan tanpa interupsi. Jujur, dia lebih menyukai tetap berada di luar jangkauan Naomi, wanita itu lebih berbisa, dari ular derik di padang Zahara. Itu adalah pendapat Nagisa, juga Natsume jika dia ada di sana.

Setelah kepergian Nagisa, kedua wanita itu beranjak dan memilih mengenyahkan diri di atas sofa ruang keluarga.

"Ibu harusnya tidak menyuruh-nyuruh Nagisa seperti itu. Dia tamu di rumah ini," protes Haruka.

"Hah? Tamu? Tamu apa yang menginap di rumah sampai berbulan-bulan? Tamu kurang ajar? Suka memengfatkan kebaikan teman? Tidak tahu malu? Benalu?" Naomi memperbaiki posisi duduk sambil menyilangkan kakinya anggun. "Jangan kau pikir aku tidak tahu apa-apa. Segala yang terjadi di rumah ini, aku tahu semuanya," lanjutnya.

"Ibu, Nagisa itu sahabat kami."

"Yah, sahabat yang merepotkan sekali. Sampai kapan kau akan memanggil manusia itu sahabat? Sampai dia melahirkan sesuatu yang tidak jelas pula dari dalam perutnya?" tantang Naomi.

Haruka tidak terima dengan olok-olok Naomi, hanya dapat menahan amarah, dan mencetuskan kalimat dengan lebih hati-hati, yang ada didepannya adalah seorang penyihir wanita. Demi apa dia mau punya calon mertua seperti dia?

"Ibu tahu, yang ibu sebut makhluk tidak jelas itu, akan diadopsi Satoru saat dia lahir," jawab Haruka mencoba membalik situasi.

"APA?"

"Ini jusnya, Nyonya," kata Nagisa hampir menyamai nada seorang maid yang melayani majikan. Ia tiba tepat saat Naomi perlu mengkonfirmasi informasi yang baru saja ia terima.

"Oh, terimakasih. Tapi, maukah kau berbincang denganku sebentar?" pinta Naomi, menggunakan nada legit gula buatan, yang terlalu manis, dan menyakiti tenggorokan.

"Saya harus segera pergi ke panti asuhan," alasan Nagisa, mencoba lari.

"Sebentar saja, 10 menit, tidak, 5 menit."

Nagisa menimbang sebentar. Tidak sopan menolak mentah-mentah sebuah permohonan. Maka dari itu, ia akan mencoba bersabar, dan menuruti permintan Ibu Satoru. "Baiklah."

"Duduklah," tawar Naomi kepada Nagisa yang masih berdiri sambil menyangga perutnya yang besar dengan telapak tangan.

Sejenak keheningan tercipta, sebelum Naomi mulai bersuara.

"Jadi, Satoru berjanji padamu, akan mengadopsi anak yang sedang kau kandung," celocos Naomi langsung pada inti.

"Iya, dia berkata demikian pada saya," jawab Nagisa apa adanya.

"Dan kau setuju?"

"Iya, saya sangat berterimakasih padanya."

Naomi tersenyum sinis. Memandang Nagisa dengan penuh tanya. Sudah tidak lagi wajah pengampunan, yang ada hanyalah ekspresi kebencian. Ibu Satoru telah menanggalkan topengnya, benar-benar menunjukan ekspresi asli dirinya di depan calon menantu dan Nagisa. Wajah cantik yang benar-benar berbahaya.

"Sangat ... sangat memuakan. Tidak malu? Selalu menjadi benalu? Sejak kapan kau dan anakmu mulai bermimpi untuk mejadi anggota keluarga Hasegawa? Sudah merasa pantas?" tandasnya tanpa pengendalian.

Wanita itu jelas-jelas menunjukan tatapan benci pada Nagisa, dan hanya dapat dibalas korban dengan menunduk malu dan ingin segera pergi dari sana.

"Saya ... tidak pantas," ujar Nagisa, tak mampu membela diri. Ia lebih memilih pasrah untuk segera mengahiri pertemuan mereka.

"NAH, itu kau tahu. Dan apa yang kau tunggu lagi. Katakan ketidaksetujuanmu pada Satoru. Kau anak baik, aku tahu itu. Kau tidak akan pernah membuat keluargaku malu. Siapa kau dan siapa anakmu. Kau harusnya tahu itu, sebelum memasuki rumah ini."

"Ibu, apa yang Ibu lakukan?! Ibu tidak berhak—"

"DIAM HARUKA! Dia harus disadarkan tentang posisinya. Ini peringatan terakhir Nagisa. Kau dan anakmu harus segera angkat kaki dari rumah ini," potong Naomi pada perkatan Haruka yang mencoba menengahi situasi.

Namun, Haruka sudah hilang kesabarannya. Tidak dapat lagi mengusai otaknya, kali ini nuraninya yang bereaksi. "IBU TIDAK BERHAK MENGUSIRNYA!" ujarnya lantang berdiri dari kursi dan menantang sang mertua yang duduk di sampingnya.

"Haruka?" Naomi kaget dengan bentakan Haruka yang tiba-tiba. Calon menantunya bertindak kurang ajar padanya.

Haruka mencoba mengendalikan emosi, duduk kembali di kursi dan melanjutkan penjelasan, "ini rumah Satoru. Ini juga akan menjadi rumahku kelak. Kami bersedia menjadi orang tua asuh bagi anak Nagisa. Ibu tidak berhak untuk mengatur apa yang kami inginkan atau lakukan. Dia telah menjadi keluarga kami, tidak ada yang dapat mengusirnya termasuk Ibu."

Naomi memainkan bibirnya dengan gusar. Ia masih terkejut dengan bagaimana Haruka yang ia kenal sangat cerdas, cantik, dan bijaksana, kini membangkang dan berkata keras padanya. Ini sama sekali tidak dapat di terima.

"Kalian berdua, benar-benar sudah gila. Apa kalian tidak berpikir? Bayi yang akan kalian adopsi, merupakan bayi seseorang yang cacat. Bagaimana bila bayi yang dia kandung mengalami hal yang sama dengan ibunya. Dan apa yang kalian harapkan, dari bayi yang terlahir dari seorang yang jenis kelaminya tidak jelas? Laki-laki yang dapat mengandung, wanita yang punya pejantan. Bayi cacat seperti itu. Apa kalian akan menampungnya di rumah ini?" Kemarahan Naomi tak terbendung. Langsung menyatakan keberatanya bahkan di depan Nagisa yang notebenenya adalah seseorang yang menjadi subyek olok-olokannya.

"Saya, saya akan pergi," kesmpulan Nagisa. "Saya akan pergi dari rumah ini." Tanpa menunggu jawaban dari Haruka, Nagisa yang tidak tahan dengan segala cercan yang diunkapkan Naomi, memilih kalah. Mungkin ia akan menyesal nanti, tapi setidaknya ia tak perlu lagi berjumpa dengan wanita menyebalkan itu lagi.

"Ya, itu keputusan yang bijak. Lebih cepat lebih baik. Orang sepertimu hanya akan membebani keluarga ini," celetuknya lagi.

Nagisa yang sudah tidak peduli, memilih berpaling untuk menuju kamar. Sebelum kalimat panas lain terucap lagi.

"Orang tua dan anak sama-sama tidak berguna."

Nagisa terhenti di tengah perjalanan. Mengepakan jarinya kuat-kuat, tidak dapat lagi menahan amarah yang sedari tadi ingin mendominasi.

Sudah cukup.

Cukup dirnya.

Jangan anaknya.

"Anda tidak berhak menghina anak saya!" celocos Nagisa telah berbalik dan menatap Naomi dengan kebencian yang setara. Ia kini dalam mode sorang ibu, seorang induk ayam yang akan menyerang manusia, bila mereka mengganggu anak itiknya.

"Kau tidak terima? Hm ... aku mengerti perasanmu. Kenyatan memang selalu menyakitkan," jawab Naomi tak terkalahkan.

Selalu seperti ini. Namun kali ini, ia tidak akan mengalah, demi anaknya.

"Kenapa Anda menghakiminya bahkan sebelum ia lahir? Saya pun menginginakan dia untuk sempurna. Tapi bila takdir berkata lain, apa hak saya untuk mengingkari. Saya hanya dapat menerimanya apa adanya, menyayanginya, dan membuatnya bahagia," pembelan Nagisa, ditanggapi Naomi dengan memutar bola matanya, bosan.

"Ya-ya-ya, aku mengerti posisimu. Sebaiknya kau megajarkan anakmu untuk tahu siapa dirinya, dan tidak menjadi benalu seperti ibunya," ujarnya lagi. Lebih menyakiti, lebih tidak berperasan, tidak bernurani.

"Tentu saja, saya akan mengajarkanya semua hal yang saya tahu." Nagisa tidak akan lagi menundukan kepala. Tidak akan ada lagi cerita bahwa Nagisa mengalah. Menerima penghinan bertubi-tubi dari Naomi.

Dia telah menyerah untuk tinggal di rumah ini, berarti dia akan siap mengahiri hubunganya dengan para Hasegawa. Dari pada keluar dengan wajah tertunduk oleh penghinaan, ia lebih memilih menyerang, dan pergi dengan wajah terangkat penuh percaya diri.

"Saya sangat menantikan hal itu. Menungguya lahir, menyusuinya, menunutunya berjalan, menyupinya saat makan, berdongeng sebelum tidur. Seperti yang ibu saya lakukan pada saya." Nagisa tersenyum di tengah cerita sedihnya. "Dan saya berjanji, tidak akan membuatnya menagis sendirian saat sakit, meninggalkanya sendirian di tengah mall karena terlalu asik berbelaja, atau tidak tahu bahwa anaknya tengah terjatuh di kolam karena asik menelefon."

"Kau! Beraninya kau mengeritikku!" Nomi naik pitam oleh potongan cerita yang Nagisa paparkan.

Apa yang dikatakan Nagisa adalah pengalaman pribadi Satoru dan kakaknya. saat Satoru sakit dan tidak ada yang menemaninya di rumah selain para pembantu. Atau Satoru kecil yang tersesat hilang di mall besar karena kelalaian Naomi yang tertarik dengan produk baru. Juga seorang Fujiki—kakak Satoru—saat berusia 5 tahun yang pernah kritis karena terjatuh di kolam saat tengah bermain dengan ibunya yang asik menelfon teman. Pengalaman-pengalaman pilu yang Nagisa tahu dari pertemanannya dengan Satoru.

"Saya bersyukur, Satoru mirip dengan Ayahnya. Karena apabila dia seperti Anda, saya ragu, apakah Haruka akan bersedia menikahinya," pancing Nagisa sekali lagi.

"Dasar ... Dasar lak ... perem ... Hahaha .... Bahkan aku kesulitan menyebutkan jenismu. Hahaha ... pernah berpikir? Bagaimana pendapat teman-teman anakmu nanti? Kau cukup beruntung karena memiliki Satoru dan Haruka. Karena tanpa mereka, kau mungkin tidak akan memiliki teman satu pun.

"Tapi, cukup sampai di sini. Aku tidak akan membiarkanmu terlalu masuk dalam dunia mereka. Tidak akan akan aku biarkan," peringatan Naomi, dengan otot pelipis yang menyepul, dan tatapan kebancian. Sedikit menunjukan umur sebenarnya dari wajah mulus yang ia punya.

"Saya," Nagisa menata napasnya sebelum melanjutkan bicara, "saya tidak menginginkan ini, Nyonya. Saya tidak menginginkan terlahir cacat. Tapi anda meneyebutkan seperti saya mempunyai pilihan. " Nagisa menyeka dengan kasar air mata yang mengalir tiba-tiba. "Anak dalam kandungan saya pun begitu. Dia akan menjadi seperti apa yang Tuhan kehendaki. Saya yakin teman-temanya akan mengerti. Seperti pertemuan saya dengan Haruka, Natsume, dan Satoru. Saya yakin dia akan menemukan jalan untuk bertemu dengan para manusia baik, yang tidak akan memandang hanya pada kekurangan yang dia miliki.

"Namun, lebih dari itu, saya dapat memastikan suatu hal kepada anak saya, dan pada Anda! Yaitu saya akan menjadi ibu yang terbaik baginya. Bagaimana pun anak saya kelak. Berupa seperti apa pun dia, cacat, buruk rupa, serupa monster pun, saya akan mecintainya sepenuh hati." Nagisa tak dapat membendungnya lagi. Kata-kata terahirnya tertutup oleh tenggorokan yang tersekat, dan mata yang masih mengalir. Setiap apa yang ia nyatakan langsung berasal dari hatinya. Dan tak akan dapat dibantah oleh siapa pun juga.

"Kau dengar Nak. Apa pun dirimu anakku. Aku akan menerimamu apa adanya, apa pun dirimu," kata-kata yang diucapkan Satoru untuknya, ia teruskan pada anaknya.

Dari kata panjang itu, Nagisa langsung berpaling, dan pergi meninggalkan Naomi bersama Haruka yang kini memegangi kepalanya, frustrasi.

Haruka merogoh sakunya, kemudian menekan angka dua sedikit lama, yang merupakan panggilan cepat pada Satoru.

"Hallo, Satoru. Pulanglah. Ada hal buruk terjadi," ujar Haruka pada telephon. "Penjelasannya di rumah saja."

Setelah mengatakan maksudnya dengan singkat, Haruka langsung mematikan telephonnya untuk memandang wanita tua yang masih bergeming di sampingnya.

"Aku tahu Ibu tidak menyukai Nagisa. Tapi aku merasa Ibu sudah sangat keterlaluan padanya."

Naomi tidak menggubris pernyatan Haruka. Memilih mengambil jus jeruk di atas meja dengan gemetar, dan menyedotnya sedikit untuk ia letakan kembali.

Wajahnya terlihat lebih pucat dan mata yang memerah oleh sebab yang tidak diketahui. Namun tiba-tiba ia mendekap mulutnya sendiri dan menangis dalam diam.

"Ibu? Ibu mengis?" kekhawatiran aneh yang Haruka rasakan pada wanita mengerikan di depannya. Bukan berarti ia dengan mudah memaafkan kesalahan wanita tua itu, tapi melihat Naomi, wanita angkuh yang meangis di depanya, bukanlah hal yang biasa saja, bahkan dapat dikatakan hal yang luar biasa.

Haruka segera bertindak dan memberikan saputangan yang ia punya pada Naomi, yang diterima oleh yang lebih tua dengan rasa syukur.

"Ada apa Ibu? Kenapa Ibu menangis?" tanya Haruka. Merasa tidak dapat menangkap perubahan mendadak emosi wanita itu.

"Aku malu," jawab Naomi, seraya mengusap lembut pipinya dengan sapu tangan.

'Apa Ibu merasa dipermalukan oleh kata-kata Nagisa? Harusnyakan Nagisa yang paling dipermalukan di sini?' pikir Haruka mencoba menebak arti perkatan Naomi.

"Bukan seperti itu," jawab Naomi seolah mengetahui pikiran Haruka. "Besar cintanya membuatku malu. Aku sungguh malu," sanggahan dari Naomi langsung menohok hati Haruka.

"Ibu?" panggil Haruka melunak oleh kelembutan yang tiba-tiba Naomi tunjukan.

"Aku tidak pernah mencintai anak-anakku sebesar itu," lanjutnya, diiringi rembesan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

Haruka mendekat dan mendekap wanita yang lebih tua dalam perasan yang campur aduk, antara perasan lega dan bangga.

'Aku tidak percaya. Kau benar-benar dapat mengalahkanya, dengan ketulusanmu,' ungkapan kekaguman Haruka dalam hati, untuk Nagisa, dan cintanya yang luar biasa.

Bersambung ....

.

Cinta Nagisa memenangkan hati Naomi Hasegawa. Gimana menurut kalian? Nangis nggak? Aku sih nangis...

O iya. Apa kalian sudah jenuh dengan cerita ini? Aku lihat Vote + Comment nya makin dikit aja. Kalau udah jenuh, aku akan berhenti disini dan fokus sama Putra Yakuza aja.

Kalau masih mau lanjut, Vote + Comment jangan lupa ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top