Apa pun Dirimu 20
Chapter sepesial ulang tahun Satoru bagian 2
.............cupchocochip...............
Mereka telah selesai makan malam dalam kamar. Kondisi Nagisa yang masih lemas setelah acara muntahnya, membuat ketiganya enggan keluar kamar. Setelah meminum pil perada mual, Nagisa kini sedang duduk berselonjor di atas sofa sambil menonton TV. Haruka yang sudah tenang karena badai dan petir yang berhenti, kini mulai bermain dengan smartphonenya lagi, dan Satoru seperti biasa, tengah asik mandi dalam jangka waktu yang tidak diketahui.
"Hari ini kita tidur di kamar ini," kata Satoru membuat kedua orang yang lain menoleh padanya. Satoru tengah mengenakan kaos biru dongker, dan celana trinig abu-abu cerah. Rambutnya basah dan harum segar menguar pada tubuhnya. Walau bukan wangi sabun dan shampo yang biasa ia pakai sat di rumah, tapi sudah cukup memuat Nagisa ketagiahan untuk mengambil nafas lebih dalam menikmatinya.
"Bertiga?" kata Haruka menyadarkan Nagisa dari lamuanan.
"Un, bertiga," jawab Satoru singkat.
"Baiklah Nagisa ayo kita tidur di kasur, biar Satoru tidur di sofa,"
"Haruka!" Nagisa merasa tidak enak dengan Satoru.
"Tidak apa-apa, dia yang mengusulkan pertama,"
"Tapi aku...." Nagisa bingung mencari pembelan.
"Kau hamil Nagisa, tidak akan nyaman tidur di sofa," Satoru mencoba meyakinkan.
"Tapi kau juga pasti tidak nyaman."Nagsia menunduk, merasa tidak enak telah merepotkan kedua sahabantnya. "Aku bisa kembali ke kamarku saja."
"Sampai kau keluar dari kamar ini, aku akan menyalakan lilin di kamarmu lagi," jawab Satoru dalam penekanan kuat. Nagisa yang hendak berdiri dari sofa terduduk kembali dan menelan ludah takut.
"Tapi apakah kau tidak apa-apa tidur di sofa," kata Nagisa masih belum menyerah.
"Kau ingin aku tidur di kamarmu?"
"TIDAK!" Haruka dan Nagisa bersama-sama. Nagisa yang merasa tidak enak hanya tidur berdua bersama Haruka, dan Haruka yang melihat sisa-sisa kilatan cahaya dari langit, sama-sama tidak terima Satoru meninggalkan kamar mereka.
"Ok deal." Satoru membantu Nagisa turun dari sofa dan mengatarnya untuk tidur di ranjang kingsize bersama Haruka. Kemudian langsung menghempaskan diri di atas sofa yang menjadi tempat tidurnya malam ini.
"Liburan paling melelahkan," kata-kata terakhir Satoru sebelum mulai mengistirahatkan matanya. Meringkukkan diri pada sofa yang tidak sebanding dengan tinggi badan Satoru. Sedikt membuatnya tidak nyaman, walau akhirnya ia terlelap juga oleh rasa kelelah yang tertahan.
................................
PYARRRR
Satoru membuka matanya dengan paksa. Mengucek mata yang ngantuk berkali-kali karena kegelapan total kini berada dalam pengelihatannya. Tidak ada setitikpun cahaya terlihat disana. Bahkan Satoru mengira dirinya buta tiba-tiba sat membuka matanya tadi. Sebelum ia melihat suilet kilat dari arah gorden jendela.
"Nagisa! Haruka! Kalian baik-baik saja?" tanya Satoru duduk dari posisi tidurnya untuk mencari samartphone yang ia letakan di atas sofa.
"Emmm.... kenapa gelap sekali," kata Haruka masih setengah sadar.
"Jam berapa ini, lampunya tidak bisa menyala," terdengar suara tekanan pada tombol lampu tidur yang engagan menyala walau telah di pencet oleh Nagisa berkali-kali.
Satoru mengaktifkan aplikasi senter pada smartphone, dan mampu sedikit menerangi kegelapan total dalam ruangan.
"Sepertinya ada masalah dengan pembangkitnya," kata Satoru menyimpulkan.
"Apa? Apanya yang bangkit?" Nagisa mulai panik dalam kegelapan. Mencari-cari Haruka untuk berlindung.
"Eits. Mulai lagi parnonya," kata Haruka mengerti kondisi Nagisa yang sangat takut pada yang namanya mahluk tak kasat mata, menepuk lengan Nagisa menenangkan. Kemudian tak lupa untuk mengaktifkan mode senter pada smartphonenya.
"Kalian berdua di sini dulu, aku akan mencari bantuan,"
"Kenapa tidak telfon saja," tanya Nagisa mencegah kepergian Satoru.
"Tidak ada sinyal sama sekali," jawab Satoru singkat setelah membuka pintu.
DORR
Tembakan keras terdengar, menggema di seluruh penjuru hotel. Membuat ketiga penghuni di kamar nomor 1230 melonjak dalam kegelapan.
"Suara apa itu?"
"Waaa."
"Diam. Tetap di tempat!" perintah mutlak Satoru membuat Haruka maupun Nagisa terdiam di tempat dalam perasan was-was. "Tunggu di sini, aku akan memeriksa kondisi di luar."
Satoru berdiri, memandang sekitarnya dengan konsetrasi maksimal. Ia tidak dapat membiarkan satu inci pun terlewat dari pengawasan. Dia punya dua orang yang harus dilindungi.
Perlahan Satoru membuka pintu. Keluar kamar dengan perlahan, kemudian mengunci pintu dari luar. Menggunakan senter pada smartphonenya, Satoru mulai mengambil langkah pertama.
"Tuan Satoru!"
Suara panggilan yang Satoru ketahui berasal dari supir pribadinya, Asami, menghancurkan fokus maksimal yang ia lakukan. Segera saja, Saroru berlari menuju sumber suara. Di tengah perjalanan ....
DOOR
Suara tembakan kedua mengiringi perjalanannya menuju tempat yang ia tuju. Namun, sebelum sempat rasa terkekejutnya sirna dalam kegelapan, ia dikagetkan kembali oleh sosok terkapar bergelimang darah di lantai koridor depan kamar Asami.
Cahaya minim yang hanya berasal dari smartphone, tidak dapat menerngi secara total tubuh itu. Namun, masih dapat mengenali sosok yang tengah terlentang besimbah darah di atas lantai.
"Asami!" teriak Satoru mendekati Asami yang terbaring di depannya. "Apa yang terjadi, siapa yang melakukan ini padamu?"
"Tuan," sebuah desisan liri khas orang yang tengah menahan kematian terdengar. Membuat Satoru mendekatkan telinganya untuk mendengarkan penjabaran dari supirnya itu. "Haruka-sama, Nagisa-sama ... dalam bahaya," kata terakir Asami, menyudahi kesadaranya.
"Asami! Bangun Asami. Apa yang terjadi padamu!" teriakan Satoru tak cukup membangunkan Asami dari pingsan. Satoru yang teringat kata-kata terahir Asami, segera berdiri dan segera berlari menuju kamarnya.
Tidak memerdulikan kegelapan yang semakin mencekam, atau tersangka yang mungkin tengah mengincar nyawanya, Satoru hanya berpikir mengenai keselamatan Nagisa dan Haruka.
"Nagisa!" teriaknya saat telah mencapai kamar.
Namun, apa yang ia dapati saat ini adalah kesunyian yang mencekam. Tidak ada satu orang pun di sana. Tidak ada tanda-tanda manusia. Sosok ibu hamil dan wanita yang ia ingin lindungi telah sirna.
"Nagisa! Haruka!"
Satoru terdiam. Mencoba menganalisa apa yang tengah terjadi. Sebelum sebuah gerakan membuatnya langusng bertindak otomatis mengrahkan cahaya pada sosok yang tidak diketahui dan mendapati seseorang di sana.
"Apa yang anda inginkan, Harada-san?" tanya Satoru penuh penekanan.
Laki-laki dalam kegelapan itu mendekat. Mengacungkan sesuatu tepat di kepala Satoru. Benda hitam berpelatuk, senjata api yang siap melontarkan peluru pada korbannya.
"Menyadarkan Anda," celetuknya saat mereka telah berhadapan. Ujung pistol telah menyentuh pelipis Satoru, dengan pemicu yang siap sewaktu-waktu.
"Dimana Nagisa dan Haruka?" tanya Satoru masih dalam suara tenang yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh manusia normal ketika dalam posisinya.
"Anda tidak takut mati?" tantang Harada.
Satoru menelan ludah kasar. Mencoba menganalis keadan sekali lagi. "Tidak ada alasan bagi anda untuk membunuh saya. Tidak ada keuntungan yang akan Harada-san dapatkan saat menyakiti saya. Kita tidak memiliki dendam pribadi."
"Anda lupa Hasegawa-sama, Anda melupakan siapa saya. Sat ini dua orang paling berharga bagi Anda ada di tangan saya. Sedikit saja anda melakukan pemberontakan, bukan hanya Hasegawa-sama yang akan menerima imbasnya, mereka pun juga akan bernasip sama."
"Lepaskan mereka," permintan putus asa Satoru. Sat itu pula senter smartphone yang ia gunakan telah kehabisan battrey dan mati.
"Bagaimana kalau kita lakukan penawaran. Pilih salah satu kepala yang ingin anda korbankan. Pilih salah satu kepala seseorang yang ada dalam ruangan ini. Setelah itu, saya akan membebaskan kalian semua."
"Satoru!"
"Satoru."
Dua teriakan yang Satoru dengar dari pojok ruangan. Nagisa dan Haruka telah berada di sana. Ketakutan dan menyudut tembok.
"Silahkan pilih Hasegawa-sama, atau Anda akan mengorbankan mereka berdua."
Napas Satoru memburu. Ia tidak dapat mengorbankan Nagisa ataupun Haruka, tapi dengan mengorbankan diri, tidak menjamin keselamatan dua orang yang paling berharga di hidupnya itu.
Apa yang harus ia lakukan? Siapa yang harus ia pilih?
"Waktu habis. Anda harus menjawabnya dalam waktu lima detik, atau semua peluru akan terbagi sama rata untuk masing-maing orang dalam ruangan."
Satoru tidak dapat berpikir lagi. Posisinya tengah terjepit, dan nyawa semua orang dalam ruangan dipertaruhkan.
"Lima ...."
.
.
"Empat ...."
.
.
"Tiga ...."
.
.
"Dua ...."
.
.
"Sa—"
"Saya ... saya." Satoru menelan ludah. "Saya memilih kepala Anda Harada-san!"
"Hah?"
"Saya memiliki tipe mini gun yang anda miliki. Berisi maksimal enam peluru. Pistol telah ditembakan dua kali. Sisa empat peluru. Anda mengatakan akan membagi rata tiap peluru pada masing-masing orang dalam ruangan. Kami hanya bertiga. Maka yang Harada-san maksud membagi peluru, berarti termasuk diri Anda sendiri. Maka saya melilih kepala Harada-san."
Kesunyian sejenak tercipta. Bulir-bulir keringat mengalair deras pada pelipis Satoru. Ia telah menantang perang. Pikiranya mengtakan, apa pun pilihanya, tidak akan mengubah nasip sialnya. Memilih kepala Harada, sama saja telah memilih kepalanya sendiri. Setidaknya itu lebih terhormat dibanding dengan menjatuhkan harga diri di depan lawan. Ia masih tetap dapat menegakanan kepala saat menyambut dewa kematian.
"HAHAHAHA ... Luar biasa. Sangat-sangat cerdas. Pilihan yang cermat. Tapi, ada satu kejutan lagi untuk Anda."
"Nobi-chan."
Sebuah suara lirih terdengar tepat di depan Satoru. Dalam kegelapan ia tidak dapat mengetahui apa pun yang ada di depanya. Namun, ia secara pasti dapat tahu, Nagisa kini tepat berdiri di depannya.
"Nagisa-sama, Anda akan menerima kehormatan untuk menjadi yang pertama."
Pistol telah teracung tepat diantara mereka.
"KAU! JANGAN MACAM-MACAM! ATAU AKU—"
Pelatuk telah ditarik, dan pemicu telah ditekan, tepat di depan Nagisa ....
Cklik.
"NAGISA!" teriak Satoru dalam keputus asaan.
Bukanlah peluru yang keluar dari dalam pistol, melainkan api kecil bagai nyala lilin. Kemudian menulari nyalanya pada lilin lain berbentuk angka 25 di atas kue tart.
"HAPPY BIRHDAY SATORU!"
Seluruh lampu telah menyala. Menunjukan semua orang yang telah mengenakan baju pesta. Nagisa masih memegang kue ulang tahun yang baru saja dinyalakan lilinnya.
"Oh Tuhan. Siapa lagi yang mampu membodohiku selain Serigala itu," celetuk Satoru, menjatuhkan diri di atas sofa yang ada di belakangnya. Mengelap keringatnya yang bercucuran sembari menyesali kebodohan yang ia lakukan.
"Hahaha ... kau terlalu berlebihan memujiku," balas Haruka mengetahui siapa yang Satoru maksud.
"Bagaimana caranya kalian dapat bekerja sama untuk mengerjaiku?" tanya Satoru.
"Sebuah sisat sederhana sebelum perang. Aku sengaja membuat perjanjian dengan Harada-san sebelum datang kemari. Membuat alasan bahwa Nagisa butuh liburan untuk membuatmu bersedia ikut dalam rombongan."
"Suara pistol? Tentunya itu bukanlah rekaman dari rekorder," tuntut Satoru kembali.
"Saya menggunakan milik saya Tuan." Asami yang masih berlumuran darah palsu masuk ruangan dengan santai sambil memamerkan pistolnya. "Anda tidak mengecek bahwa darah yang ada di tubuh saya hanya sekaleng jus strowberi."
"Oleh karenanya kau langsung membuatku kalut dengan mengtakan Haruka dan Nagisa dalam bahaya, untuk membuatku ceroboh dan tidak mengecek kondisi lingkungan dengan seksama," tebak Satoru.
"Tepat sekali. Kalau itu, merupakan ideku," kata Haruka congkak.
"Dan kebenaran siapa saya, juga merupakan kebenaran." Kini giliran Harada yang bercerita, "Anda lupa, saya adalah teman SD Anda. Hasegawa-sama bisa memanggil saya Tama-chan karena saya sangat gendut saat kecil dulu."
"Setidaknya saya masih bisa bersyukur, hal itu tidak benar-benar membuat anda dendam terhadap saya, Harada-san."
Kemudian pesta berjalan dengan sangat seru. Semua orang merayakanya dengan karaoke dan minum-minum untuk melepas penat. Tentu saja kecuali Nagisa yang telah tertidur di atas sofa. Satoru menggendong Nagisa ala putri, kemudian menidurkanya di atas kasur.
Satoru duduk di sampingnya, menyelimuti dengan hati-hati si Ibu Hamil, untuk memberikan kecupan hangat di kening sebagai penutup hari.
"Terimakasih untuk hari ini. Tidak perlu berlebihan untuk memberikan sesuatu. Dengan satu kecupanmu saja, pasti akan membuatku menjadi orang paling bahagia di dunia," cetus Satoru seraya mengelus kening dan surai Nagisa dengan penuh pengertian.
"Apa kau tidak ingin berterimakasih padaku?" tanya Haruka yang tiba-tiba ada di smpingnya.
"Kau tidak perlu terimakasihku. Kau hanya perlu menerima pembalasan dendamku!" Satoru segera memberikan tatapan kematian pada wanita yang telah lari sebelum Satoru mampu menagkapnya. Pesta sepesial yang kini mereka rayakan bersama. Menjadi kenangan tersendiri baik untuk Haruka, Harada, Satoru, bahkan Nagisa.
Bersambung ....
Selamat ulang tahun Sasuke dan Satoru.
Kemarin ada yang tanya siapa image Harada dalam cerita ini. Jawabanya adalah Gara-san.
Next bakalan balik ke cerita inti ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top