Apa pun Dirimu 17

Chapter 17

Derita

Sesampainya Nagisa di panti asuhan, karena ia merasa tidak ingin pulang ke rumah Satoru saat ini, Iruka-sensei langsung menjatuhi sebuah pelukan padanya. Entah apa yang sedang gurunya pikirkan, tapi ia seolah tahu apa yang sedang dibutuhkan Nagisa.

"Aku mendengarnya dari berita, Haruka hamil anak pertama Satoru," kata Iruka, menjelaskan semua tindakan anehnya. Kemudian hanya di balas senyuman oleh Nagisa dengan ketenangan batin yang juga membuatnya heran sendiri.

Ternyata dirinya memang benar-benar membutuhkan teman berbicara, dan Nagisa sangat berterimaksaih pada Asami untuk hal ini.

Menyibukan diri adalah hal terbaik untuk melupakan luka, kini menjadi motto sementara dalam hidup Nagisa. Ia mengajar, mengurus, dan mengabiskan ¾ waktunya berada di panti asauhan. Berangkat pukul 08.00 pagi, pulang ke kediaman Hasegawa pukul 09.00 malam, dan langsung tidur setelah sampai di rumah. Tidak menciptakan peluang bagi dirinya untuk dapat bertemu atau berbincang dengan Satoru. Ia merasa lebih baik seperti ini, karena akan lebih mudah baginya untuk melupakan harapanya, melupakan rasanya, dan yang terpenting melupakannya.

"Iruka-sensei, ini selebaran apa?" tanya Nagisa mendapati sebuah pamflet di atas meja kerjanya.

"Volentir di sebuah pulau bernama Konami, mereka membutuhkan banyak relawan untuk membantu korban Tsunami. Sepertinya pemerintah acuh tak acuh pada pulau itu. Karena sudah ke tiga kali dalam setahun ini pulau itu disambangi bencana yang sama,"

Nagsia menatap selebaran itu dengan antusias. Sejenak berfikir sebelum menyatakan pendapatnya.

"Bagaimana kalau aku mendaftar program ini?"

Dan Iruka hanya mampu terpatung tanpa bisa menjawab.

Cup.Chocochip

"Maafkan aku karena membuatmu menunggu, aku harus mengurus beberapa hal sebelum pulang," kata Nagsia saat masuk dalam mobil jemputannya.

"Tidak apa-apa Nagisa-sama. Sekarang sudah pukul 09.30 malam. Sebaiknya kita segera pulang," Asami langsung melajukan mobilnya tanpa persetujuan Nagisa.

Hubungan antara keduanya berjalan normal kembali. Asami memposisikan diri seolah melupakan semua yang telah ia dengar di atap rumah sakit, dan Nagisa mendapatkan sahabat baru yang bersedia mendengar keluh kesahnya. Semua berjalan dengan baik-baik saja, walau itu tak mapu menutupi lubang hati yang terus saja menganga. Tapi Nagisa memilih membiarkanya membusuk tanpa pernah mencoba memperbaiki ataupun mengisinya dengan hal baru. Karena ia tahu, apapun yang ia lakukan tidak akan pernah dapat memunuhi hatinya, kecuali cinta orang itu.

Nagisa telah beberapa kali memukul-mukul dadanya dengan keras hari ini. Merasakan adanya pembengkakan dan nyeri atau ngilu yang entah karena apa. Selama ini frekuansi nyeri yang ia rasakan hanya terjadi beberapa kali dalam seminggu, tapi hari ini rupanya merupakan hari saat nyeri itu datang bertubi-tubi. Membuatnya panas dingin merasakan ngilu luar biasa di dada depannya.

Sesampainya di rumah, Tori mengingatakanya untuk segera memakan makan malam yang telah disajikan untuk Nagisa di meja makan. Walau sudah terlalu larut malam untuk makan, tapi Nagisa sadar akan kewajban memenuhi kebutuhan dirinya dan anaknya. Ia ingin menjadi Ibu yang baik, menjaga anaknya secara fisik dan mental, melindunginya, dan menyayanginya. Nagsia memakan makanannya dengan lahap, walau terkadang mual menyerang. Maka ia akan berhenti sejenak untuk minum, kemudian melanjutkanya lagi dengan santai.

Nagsia sadar dirinya tidak dapat bergantung pada siapa-siapa selama ia mengandung, tidak dapat bersikap manja dan dimanjakan oleh orang yang menyayanginya. Bayinya hanya punya dirinya, dan sudah sepatutnya bagi Nagisa untuk lebih mandiri demi menjaga diri maupun anaknya.

Ia sering tertawa ketika melihat adegan mengenai seorang istri yang hamil dan dimajakan oleh suaminya secara berlebihan. Menertawakan kehidupanya yang jauh dari alur-alur drama roman yang sering diperlihatkan dalam novel-novel atau film-film bertemakan cinta. Andai hidupnya sesimpel itu. Sayangnya sang penulis takdir punya rencana yang lebih rumit dan menarik untuk cerita hidup Nagisa.

"Hayalan pemirsa!" katanya sambil mengelus-elus perutnya yang kenyang. Rasa nyaman membuat Nagisa menguap lebar-lebar, menyadari betapa mengantuk dan lelah tubuhnya. Ia bangkit dari kursi dan beranjak meninggalkan ruang makan, dengan Tori yang menemuinya untuk membereskan piring-piring kotor bekas tempat makan Nagisa.

Hingga sama-samar terlihat oleh mata mengantuknya, sosok yang telah berdiri mematung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Laki-laki tegap yang beberapa hari ini ia rindukan, bersilang tangan dengan wajah garang preman yang sedang meminta uang pada mangsanya.

"Kau menghindariku lagi," kata sosok itu dalam nada penuh ancaman.

"Hanya perasaanmu saja," Nagisa hendak melewati Satoru untuk kembali ke kamar, ketika sebuah tangan mencapai pergelangan tangannya. Kemudian menariknya paksa untuk masuk dalam dekapan.

Pelukan itu, membuat Nagisa merasa utuh kembali. Rasa kosong yang selalu menyiksa dirinya sebulan ini, dalam waktu datu detik telah penuh dengan cara paling sederhana. Kenyamanan yang membuanya lupa, mencandunya, menentramkan hati, dan serakah ingin memiliki.

"Jangan menghindar lagi. Kau menyiksaku dengan itu," Satoru berkata sambil mempererat dekapanya.

Nagisa terdiam menerima keberuntungan yang harus segera ia akhiri. Memohon pada otaknya untuk sejenak mengalah pada hati. Dalam pemulihan rasa yang hilang karena aturan diri. Sejenak saja, ijinkan hatinya tentram dalam damai. Satu detik saja, memohon untuk dapat mersakan cinta seperti dalam drama-drama yang ia gemari.

"Sudah cukup. Kau sudah melihatku bukan? Sekarang lepaskan!" Nagisa kembali pada keputusannya. Mencoba melepas pelukan pria itu menggunakan seluruh tenaga.

"Tidak akan," katanya singkat, lebih mempererat pelukan mereka. Mencoba memenuhi hati, memuaskan keserakahan sang rindu.

Nagisa terus memberontak dengan seluruh tenaga, tapi tetap tidak bisa. Ia mulai merasa tidak nyaman lagi. Dadanya ngilu kembali, dan rasanya kali ini sangat menghancurkan. Dekapan Satoru lebih memperburuk kondisinya, saat dadanya tertekan perut keras Satoru. Bayinya pun merasa hal yang sama, ia bergerak tidak nyaman, merasakan ibunya yang kesakitan.

Satoru mulai melepas pelukanya saat mendengar suara tangis lirih yang ia dengar dari seorang dalam dekapan. Ia menatap Nagisa yang mulai memijat dan memukul-mukul dadanya dengan keras.

"Nagisa, Ada apa?" tanya Satoru kalut.

"Ini sangat sakit, ungh..." Nagisa hamir terjatuh ke lantai sebelum Satoru menangkapnya kembali.

"Nagisa, mana yang sakit?"

Tapi tidak ditanggapi oleh Nagisa yang kini masih meringis menahan sakit. Satoru segera mengangkat, menggendong Nagisa, berlari menuju kamarnya, dan membaringkanya di atas kasur. Nagisa masih tetap kesakitan oleh rasa nyeri yang Satoru curigai tengah menyerang dadanya.

"Nagisa, apa yang sakit? Kumohon jawab aku!" Satoru memohon sambil menggenggam tangan berkeringat Nagisa, sangat kawatir dengan kondisinya.

Nagisa menjawab dalam gerangan lembut tapi cukup menyakitkan bagi yang mendengarnya. Ia mulai menyilangkan kedua tangan ke dada dan menekanya dengan kuat. Seakan mencegah sesuatu untuk kabur dari tubuhnya.

"Apa kau sesak," kesimpulan Satoru sambil terus menekan tombol di smartphonenya. "Halo, Ito-sensei. Nagisa tiba-tiba saja sakit. Dia terus memegang dadanya, tapi tidak mau memberitahuku bagian mana yang sakit," Satoru berkata dengan sangat cepat dan penuh kekhawatiran. Tapi rupanya masih dapat dicerna sang dokter, dibuktikan dengan tidak ada permintaan pengulangan kalimat darinya.

"Baik Sensei, saya tunggu kedatangan anda segera," Satoru memutus hubungan telfonya. Kemudian beralih menatap Nagsia kembali. Bulir-bulir keringat dingin menempel di kening, dan wajah pucatnya menciptakan kecemasan. Satoru menyelimuti tubuh Nagisa, dan mengusap keringatnya dengan tisyu yang tersedia.

"Katakan padaku apa yang sakit. Aku akan berusaha semampuku untuk membantumu," suara Satoru bergetar oleh kesediahan, keinginan untuk dapat berbagi sedikit saja sakit yang dialami Nagisa, tak mendapat persetujuan dari si penderita. Satoru membelai poni Nagisa dengan sayang, menyinkirkannya agar tidak menutupi matanya yang kini terpejam. Ia marah karena merasa tidak berguna saat Nagisa benar-benar membutuhkannya.

"Satoru apa yang terjadi?" suara seorang wanita terdengar dalam kamar. Haruka yang masih memakai kemeja kerja, lengkap dengan tas yang terselempang di pundak, masuk dalam ruangan, dan memandang Nagsia dengan kecemasan tersirat dalam wajah lelahnya.

"Aku tidak tahu, dia tiba-tiba kesakitan. Tapi tidak mau memberitahu bagian mana yang sakit,"

"Nagisa, mana yang sakit? Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dari kami."

Lagi-lagi tidak ada balasan. Nagisa malah semakin meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri seerat mungkin. Membuat kecemasan Satoru bertambah besar, dan terbersit di pikiranya untuk memaksa Nagisa bercerita.

"Nagisa, aku mohon katakan padaku," Satoru menyeka kepalanya dengan cukup keras oleh tertekanan. Tidak sanggup melihat kondisi Nagisa yang kesakitan. Merasa tidak cukup mampu menjadi orang yang dapat dipercaya oleh sahabantnya.

"Kenapa kau tidak mau membagi deritamu?" kata Satoru, penuh keputusasaan.

Cup.Chocochip

"Hasegawa-sama," kata Dokter Ito sesaat setelah keluar dari kamar Nagisa.

"Sensei, bagaimana keadaan Nagisa? Apa yang terjadi padanya?" Satoru memberondong pertanyaan yang sedari tadi mengendap dalam pikiran.

"Tidak ada yang terlalau serius, tapi bisakah kita duduk dulu," tawar Dokter Ito.

Mereka beranjak menuju ruang tamu kediaman Hasegawa. Baik Haruka maupun Satoru tidak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan, mereka hanya menunggu pernyataan apa yang akan Dokter sampaikan mengenai kondisi Nagisa.

"Nagisa memohon padaku untuk tidak bercerita pada kalian," kata Ito.

Satoru hendak memprotes apa yang baru saja dikatakan Ito, sebelum sang Dokter meneruskan kalimatanya.

"Tapi, aku rasa walinya layak untuk mengetahui kondisinya. Dia tidak punya siapa-siapa selain kalian." Sebuah jeda terjadi. Menciptakan situasi yang rumit dalam penantian datangnya kebenaran. "Kalian tidak perlu setegang itu. O iya, saya ingin mengucapakn selamat untuk Hasegawa-sama tentang bayi laki-laki yang dikandung Nagisa."

"Laki-laki? Benarkah? Nagisa sama sekali tidak bercerita mengenai hal ini pada saya," kata Satoru, sangat terkejut hingga menegakkan posisinya yang semula menyandarkan diri pada sofa.

"Em ... sepertinya, permasalahan kalian sedikit berat. Coba bujuk dia untuk lebih terbuka, akhir-akhir ini dia sedikit setres. Itu akan memperburuk kondisinya, terutama saat dia hamil."

"Saya telah mencoba semaksimal mungkin. Saya sudah habis akal oleh karenanya." Satoru lagi-lagi menghembuskan napas dengan frustasi. "Dan bagaimana kondisinya saat ini? Kenapa dia kesakitan seperti tadi?" kata Satoru kembali pada topik.

"Nagisa hanya mengalami sedikit perubahan yang menyebabkan adanya rasa sakit pada bagian yang sedang bertumbuh. Payudara Nagisa tumbuh oleh pengaruh hormon estrogen berlebih saat masa kehamilan."

Baik Satoru dan Haruka terbelak kaget dengan informasi yang baru saja Ito katakan. Ini bukalah masalah besar, kenapa Nagisa bisa sangat tersiksa oleh hal tersebut, dan enggan menceritakannya pada mereka.

"Jadi Nagisa kesakitan hanya oleh payudaranya yang bertumbuh?" Haruka mengingat bagaimana dirinya ketika proses itu terjadi saat dirinya masih berumur 11 tahun. Walau juga masih sering merasakanya saat menjelang menstruasi. Dan itu tidak separah seperti saat Nagisa mengalaminya.

"Karena payudara Nagisa mulanya tidak didesain sebagai penghasil ASI, maka rasa sakitnya akan lebih seperti memaksa sebuah benda masuk pada permukaan daging datar yang berotot," menjawab pertanyaan yang belum Haruka tanyakan, seolah telah mengerti rasa penasaran wanita itu.

"Dan karena hal itu, dia tidak ingin menceritakan tentang sakitnya padaku," kesimpulan Satoru.

"Mungkin seperti itu. Dia masih menganggap dirinya laki-laki, memperlihatkan pertumbuhan payudara pada seorang peremuan pasti sangat memalukan, dan pastinya akan lebih memalukan lagi apabila seorang laki-laki yang melihatnya,"

Satoru menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa. Merasa kecolongan pada hal terpenting dalam kehamilan Nagisa, dan kurang bertanggung jawab sebagai ayah bagi bayinya.

"Jadi dia ingin menyimpan penderitaanya sendiri?" Satoru ingin membentak Nagisa atas keegiosanya, kerendahan dirianya, ketidakpercayaannya pada Satoru.

"Aku mendengar bahwa kalian telah bersahabat dengan Hanazawa-san cukup lama. Dan pasti tahu bagaimana cara interseksual memandang dirinya. Kebanyakan dari mereka merasa sendirian di dunia karena tidak memiliki kecondongan pada salah satu golongan. Membuatnya merasa terdiskriminasi secara mental. Dan memandang rendah pada diri sendiri." Ito-sensei berhenti sejenak di tengah penjelasan untuk melihat reaksi pendengar. Setelah merasa tidak ada interupsi, ia meneruskan dialognya lagi.

"Saat ini Nagisa sedang miskin rasa percaya diri pada fisiknya. Karenanya ia sangat butuh dukungan moril dari orang-orang paling dekat dengannya. Dia tidak memiliki keluarga, aku sangat terkejut saat mendapati Nagisa bisa menjadi laki-laki normal dalam kondisinya yang berbeda. Kebanyakan orang yang memiliki situasi yang sama, biasanya tumbuh menjadi seorang introvert yang tidak dapat terbuka bahkan pada orang tua mereka. Tapi Nagsia tumbuh menjadi seseorang periang dan hampir menerima tubuhnya secara almi. Aku menduga semua itu berkat dukungan kalian, sahabat-sahabatnya. Dan tugas kalian lagi untuk meyakinkan Nagisa agar menerima perubahan fisik yang akan terus berlanjut selama proses kehamilannya." Dokter Ito mengakhiri penjelasan.

Rahang Satoru mengeras, mengepakan tanganya erat sambil memejamkan mata. Hanya sejenak, hingga rileks kembali setelah satu tarikan nafas.

Melihat situasi yang sunyi untuk beberapa lama, akhirnya Haruka bersuara.

"Saya akan berusaha Dok, saya akan mencoba meyakinkan Nagisa untuk menerima kondisinya," kata Haruka bersngguh-sungguh.

Dokter Ito tersenyum oleh ketulusan yang terpancar dari perkataan wanita di depannya.

"Iya itu akan sedikit sulit, tapi dukungan secara moril lebih ia butuhkan saat ini. Tentang kondisi fisiknya yang berbeda dari laki-laki normal, mungkin nasehat dari Hasegawa-sama akan lebih ia terima, karena kalian sama-sama laki-laki," Ito memandang ke arah Satoru yang telah fokus kembali.

Satoru kini memicingkan mata seraya mencerna penjelasan dari dokter di depannya dengan seksama.

"Tidak dokter,"Jawab Satoru setelah kembali pada ekspresi datarnya. "Maaf, tapi sejak awal. Saya tidak pernah menganggap Nagisa seorang pria," paparnya penuh kesungguhan.

Bersambung ....

Ini udah panjang kan pemirsa ....

O iya, aku punya pola yang sama untuk menjadwalkan Up Date ku. Ada yang bisa menebak?

Siapa tahu bisa nolong Up date cepat .... wkwkwk

Tebaknya di Koment ya....

Jangan lupa Vote ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top