Apa pun Dirimu 16

Chapter 16

Hujat


.

"Nagisa!" sebuah suara melatarbelakangi saat Nagisa pertama kali masuk dalam ruang inap VVIP.

"Haruka, apa kau baik-baik saja?" Nagisa melngkahkan kakinya lebar-lebar untuk segera mencapai sahabatnya, dan memeluknya.

"Baik, hanya sedikit kelelahan. Satoru baru saja pergi untuk mengurus beberapa hal yang terlantar oleh sakitku," kata Haruka melepas pelukan Nagisa. "Dan, aku hamil," kata Haruka sedikit ragu saat mengungkapkannya.

Nagisa tercengang di tempat. Tidak mengerti bagaimana cara dirinya harus bereaksi. Ini kejutan yang luar biasa. Bagaimana caranya untuk bersikap pada Haruka saat ini? Karena saat kalimat 'hamil' terucap dari mulut manisnya, lengkaplah sudah, alasan dirinya untuk tak lagi mengharapkan cinta dari Satoru.

"Se-selamat. Selamat Haruka. Aku turut bahagia atas kehamilanmu. Kurasa, aku harus mengucapkan hal yang sama pada Satoru. Aku akan mencarinya sekarang juga." Nagisa langsung berbalik dan hendak pergi dari kamar Haruka.

Bukan karena ia ingin menemui Satoru. Alasan sesungguhnya adalah agar air matanya tidak tumpah di depan Haruka. Ia harus segera pergi, atau semua akan tahu persaan sesalnya saat ini.

"Ehem ... kau di sini?" sebuah suara menyadarkan Nagisa akan keberadaan orang lain selain dirinya dan Haruka. Orang ini benar-benar akan pelengkap penderitaannya hari ini.

Wanita berperawakan tinggi, kecantikan 29 tahun dalam usia 45 tahun, mata lentik hitam kelam, hidung mancung angkuhnya menantang Nagisa, rambut merah kecoklatan tergelung tinggi dengan satu untai terbebas di samping pipi tirus.

Bergerak luaes mendekat pada mereka yang menatapnya terkejut. Kemeja biru muda, dengan rok panjang berbelahan dua warna, dongker dan putih menciptakan kesan elegan. Menampilkan sosok yang terlalu sempurna, terlalu indah, dan membuat iri.

"Nyonya Hasegawa," Nagisa menegaskan keberadaan Naomi Hasegawa—ibu Satoru—yang telah berada dalam ruangan bahkan sebelum dirinya datang.

Setelah mencapai jarak aman, Naomi mengawasi situasi sekitar. Kemudian mengintrogasi Nagisa dengan cara memandang tubuh Ibu Hamil itu dari kaki sampai kepala dalam tatapan merendahkan.

"Ah ... apa yang terjadi pada perutmu Nagisa-kun?" tanya Naomi seraya menyipitkan mata. Tatapan intimidasi itu yang selalu membuat Nagisa risih saat bersama Ibu dari Satoru.

"Sa-saya hamil," Nagisa berkata sambil menundukan pandangan karena malu.

"Ha? Benarkah? Setahuku kau itu ... laki-laki?" cercanya. "Apa aku salah?"

"Saya, interseksual," jawabnya cepat, tapi lirih.

Naomi mengangkat sebelah alisnya tinggi, tidak mengerti istilah rumit yang baru saja Nagisa katakan.

"Saya punya dua-duanya, baik itu organ reproduksi laki-laki maupun peremuan."

Naomi tercengang. Dia tertawa sebentar mendengar jawaban Nagisa, sebelum menanggapi.

"Wah... menarik sekali. Jadi sekarang kau memilih mengencani pria. Dan kalau boleh aku tahu, siapa ayahnya?" lagi-lagi dengan menggunakan nada yang sengaja dimanis-maniskan.

Nagisa menelan ludah keresahan, dengan gugup menajwab pertanyaan dari wanita di depannya.

"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu siapa yang menghamili saya," ucap Nagisa, sangat lirih dan masih dalam keadaan menunduk.

"Ayolah, tidak usah sungkan. Kau pasti sudah bersenang-senang."

"Ibu!" Haruka berteriak dari atas tempat tidur, bermaksud menghentikan hujatan calon mertuanya.

Tapi pembelaan Haruka nampaknya sia-sia. Hati Nagisa tetap teriris oleh perkataan wanita itu. Ia sudah tahu bahwa Ibu Satoru tidak pernah menyukainya. Apa lagi sekarang, setelah mengetahui jati diri seorang Nagisa.

"Tidak apa-apa, kau tidak salah Nagisa. Aku memahami kondisi ekonomimu," ujar Naomi yang rupananya belum puas menghujat Nagisa, menuduhnya sebagai tipe orang yang akan menjual diri hanya untuk sesuap nasi.

"Ibu hentikan! Nagisa bukan orang semacam itu," protes Haruka sedikit lebih keras dan hampir berdiri untuk menghentikan tindakan calon mertuanya.

"Ada apa sayang? Ingat kamu tidak boleh setres, kau sedang mengandung ahli waris keluarga Hasegawa, putra dari Hasegawa Satoru. Kesalahanku, membiarkanmu dan Satoru berhubungan dengan orang-orang yang tidak sejajar dengan kalian. Temanmu, Natsume telah memulai dengan menciptakan gossip tentang kedekatanmu dengannya. Dan aku tidak ingin kalian menambah daftar kesalahan yang lain, dengan terlalu dekat dengan sumber masalah untuk saat ini," katanya, sambil menatap Nagisa lekat-lekat, memperingatkan.

Nagisa tak mampu menyahuti. Hanya mampu bergeming menatap lantai-lantai kamar inap. Ia disadarkan sekali lagi. Kenytaan bahwa dirinya sungguh bukan siapa-siapa. Tak berhak berada di antara mereka semua. Sungguh kenytaan yang harus segera ia sadari, sebelum terlalu jauh untuk berharap setitik kebahagian dari persahabatannya dengan mereka.

Sungguh sia-sia. Sangat tidak berguna. Kisah bahagia yang hanya merupakan harpan semu, yang kan hilang terbawa debu.

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Sebelum Nagisa memulai kembali, dengan menggunakan suara yang pelan dan nada terkanan.

"Haruka, Nyonya Hasegawa, saya sedang buru-buru untuk ke panti asuhan. Saya pamit dulu," Nagisa beranjak menuju samping Haruka.

Haruka mampu melihat betapa merahnya mata sahabatnya saat itu. Merasa iba dengan kondisinya.

"Dan selamat atas kehamilanmu, salam untuk Satoru," lanjut Nagisa terdengar tulus.

"Nagisa," Haruka meraih tangan Nagisa, dengan pandangan penuh penyesalan.

Nagisa melepas tangan Haruka dengan hati-hati, kemudian segera melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan.

"Bye ..." kata terakhirnya sebelum pergi.

Namun sebelum itu, sebuah senyum sinis masih mampu terlihat oleh Nagisa. Senyum kemenangan oleh wanita yang sedari tadi merendahkannya. Membuat air mata yang sedari tadi ia tahan, mendadak turun merambati pipi tanpa dia sadari.

.

--CupChocochip--

.

Atap rumah sakit penuh oleh seprei-seprei putih yang terjemur rapi. Terbang tertiup angin seolah bendera penanda kekalahan. Nagisa berdiri tepat di antara batas banguan dan pinggiran gedung. Memandang sesuatu yang entah apa pun itu, karena pikirannya tidaklah ada di tempatnya berdiri.

Angin keras menerpa wajah Nagisa. Mengeringkan air mata yang sedari tadi terus meluncur tanpa ampun. Sedikit meringankan sesak nafas yang sedari tadi ia rasakan, oleh beban hati yang tidak kunjung berkurang, malah semakin menumpuk. Hingga Nagisa merasa paru-parunya telah penuh air, air matanya sendiri.

"Kenapa kau kemari?" tanya Nagisa pada orang di belakangnya.

"Nagisa-sama." Asami mendekat, tidak ingin pikiran kalut Nagisa menciptakan situasi serius.

"Ah ... baru pertama kali dalam hidupku. Aku sangat menginginkan sake. Hahaha .... Apa aku boleh meminumnya seteguk saja?" kata Nagisa terdengar sangat biasa untuk ukuran sesorang yang bermaksud mencelakakan jabang bayinya.

"Anda sedang hamil Nagisa-sama, dan Tuan Satoru menyuruh saya untuk mengantarkan anda pulang," balas Asami, mengerti ucapan Nagisa hanyalah gurauan.

"Oh sudahlah! Biarkan aku di sini sebentar. Anginya segar sekali." Nagisa menegadah bebas menikmati angin yang menerpa seuruh tubuh. Semakin mendekatkan diri pada pembatas yang tak terlalu tinggi di depanya. Seperti sebuah layang-layang yang menanti datangnya angin untuk menerbangkan tubuhnya segera.

"Nagisa-sama," Asami bergerak gesit menarik Nagisa menjauhi pagar pembatas. Kemudian membaliknya untuk saling berpandangan mata.

Terlihat oleh Asami, jejak air mata yang mengering, mata sembab setelah tangis, dan padangan sayu dalam oleh penderitaan.

"Baik, ayo kita pulang," kata Nagisa singkat, segera berbalik menuju pintu masuk ke dalam gedung.

"Anggap saya Tuan Satoru," perkataan Asami dilatarbelakangi oleh hembusan angin keras yang membuat siatuasi mereka lebih dramatis. "Anda tidak perlu memendamnya sendiri. Saya tahu anda sedang membutuhkan seseorang, untuk bicara."

"Hem? Aku tidak mengerti maksudmu," kata Nagisa tidak sepenuhnya jujur.

"Lampiaskan semua pada saya. Lemparkan semua, saya akan menerimanya, semuanya," pancing Asami, sekali lagi.

"Hentikan! Ayo pulang."

"Nagisa-sama."

"Lalu dengan kau menjadi Satoru apa yang harus aku lakukan? Megucapkan selamat atas pernikahanmu? Mengucapkan, selamat untuk anak pertama kalian?" Nagisa berteriak tepat di depan wajah Asami, menunjukan gerbang amarah yang kini terbuka lebar-lebar. Bulir air mata itu kembali terjatuh dari mata coklatnya. Ditemani isakan memilukan dan suara tangis yang pecah oleh penderitaan hati.

"Aku tidak seharusya berada di antaramu dan Haruka. Aku bodoh, aku bodoh sekali, huuuu ...." Nagisa memukul-mukul kepalanya sendiri dengan beringas.

"Tidak Nagisa-sama, pukul saya saja. Jangan menyakiti diri anda." Asami memegang kedua pergelangan tangan Nagisa, menghentikan tindakan kasar Nagisa pada dirinya sendiri.

"Kau sangat baik padaku. Kenapa? Kenapa kau sangat baik padaku?" pertanyaan kosong Nagisa dalam suara lirih. Namun hanya sebentar hingga amarahnya kembali lagi. "Berhenti! Kumohon berhenti terlalu baik padaku. Atau aku -aku, akan mencintaimu. Aku akan semakin mencintaimu .... Jangan baik padaku, atau aku akan semakin ingin memilikimu." Nagisa menunduk dan kemudian menjatuhkan diri ke lantai, karena tidak kuat berdiri. Asami bersyukur masih memegang pergelangan tangan Nagisa, hingga ia bisa mencegah Nagisa untuk menjatuhkan diri dengan terlalu keras.

"Kemarin malam, kau masih ingat? Kau menawariku sebuah posisi dalam hidupmu. Lebih dari seorang sahabat yang selalu menyusahkan. Kau tahu seberapa senang aku saat kau menawariku untuk menjadi ... simpananmu?"

Asami tersentak kaget oleh pernyataan yang baru saja diterlontarkan Ibu Hamil itu. Tidak percaya Tuannya mampu memberikan penewaran serendah itu pada seorang Nagisa.

"Hahaha ... Simpanan, pelacur, selingkuhan, geisyamu*. Aku tidak perduli apa pun itu, asal aku bisa bersamamu," sebuah tawa yang menggema dalam tangis. "Benar kata Ibumu. Ia menyebutku pelacur. Aku akan menuruti sarannya. Aku akan menjualnya, berapa pun itu. Kau dengar! Be-ra-pa-pun. Asal itu KAU! KAU SATORU!"

[*istilah untuk wanita penghibur di Jepang.]

Tanpa aba-aba, Asami langsung berlutut mensejajarkan dirinya dan Nagisa, kemudian dalam tatapan khas seorang laki-laki yang menaruh hati pada wanita pujaannya, pelahan mengahapus jejak air mata Nagisa dengan tangannya dan memeluknya perlahan dengan kesungguhan hati.

Mungkin ini yang sangat Nagisa perlukan saat ini. Karena tubuhnya tidak menolak perlakuan Asami terhadapnya. Ia membutuhkan sebuah pundak untuk menangis, dan Asami memberikanya pada waktu yang tepat.

Namun bagi Nagisa, sefokus apa pun dirinya menatap dada Asami yang memelukanya, tetap saja hanya bayangan seorang Satoru lah yang terlihat di sana.

Bersambung ....

Sudah muncul 'Devil' di cerita ini, yaitu Emak-nya Satoru. Menderitalah semua para pembaca setia cerita ini.

Yang tidak kuat harap menghapus cerita ini dari perpustakaan kalian.

Atau Vote + Coment untuk melanjutkan ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top