Apa pun Dirimu 14


Hai teman ...

Aku kembali, tapi tidak tahu kapan kembali lagi. HUAAAAA ....

Aku pengin nangis. Nulis itu seperti barang langka sekarang. Aku sudah jarang bercerita dengan keyboard.

jadi hayati cerita ini dengan semaksimal mungkin. Karena aku tidak tahu kapan akan up date lagi. Tapi mungkin kalau kalian semangat vote + comment, aku juga jadi semangat.

Semoga ....

Akhir kata, Ruru persembahkan ....

Apa pun Dirimu

Bagian 14

Perjanjian

Nagisa mendesah sekali lagi mendapati dirinya terjebak diantara pilihan yang membingungkan.

"Anda pilih yang mana, Nona?" Nagisa mengernyit sebal saat wanita di depanya menyebutnya Nona. Tapi wanita itu juga tidak dapat disalahkan, karena saat ini dia tengah menggunakan baju hamil untuk wanita, dengan luaran jaket rajut tipis, dan celana kain longgar nyaman. Jangan lupa sebuah pita lucu berbentuk kelinci putih terkait pada rambut pendeknya.

Yang patut disalahkan atas semua yang terjadi pada Nagisa saat ini adalah Haruka. Pagi-pagi sekali ia harus dibangunkan oleh rengekan wanita itu untuk menemaninya berbelanja. Maka dengan malas karena menggembol beban berat di perut, Nagisa menuruti dan berakhir dengan Haruka yang mendandaninya sebagai perempuan agar perutnya yang besar tidak di pandang aneh seperti saat ia berpenampilan sebagai laki-laki.

"Nona?" tanya pramuniaga wanita itu sekali lagi.

"Aku tidak tahu. Apa tidak ada warna yang lebih gelap dan tidak ada hiasan-hiasan lucunya?" tanya Nagisa sopan.

"Aku suka yang warna pink. Aku akan ambil untukmu. Juga yang disana itu, di situ, dan yang biru juga boleh. Bungkus semua untukku," celetuk Haruka, membuat Nagisa terkejut karena wanita itu tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Untuk apa kau membelikan semua baju itu? Sudah cukup Satoru membelikanku baju-baju dengan warna feminim, sekarang kau malah memilihkanku baju-baju hamil wanita," amuk Nagisa.

"Kau akan semakin cute dengan semua itu. Dan aku melakukannya sebagai ucapan terimakasihku pada Satoru," kata Haruka santai.

"Kalau kau ingin berterimakasih padanya, harusnya kau membelikanya hadiah, bukan malah membelikanku!" protes Nagisa.

"Aku merasa hadiah terindahnya ada didepanku," kata-kata mabigu Haruka.

"Hm?"

Nagisa menoleh ke belakang tubuhnya, menemukan sebuah jaket coklat muda berbulu dengan tudung yang terdapat telinga beruang yang dimaksud Haruka. "Ini?" tanya Nagisa menunjuknya. Dan dibalas Haruka dengan senyman penuh arti.

.

Cup.chocochip

.

Tok-tok-tok

"Masuk," sahut sebuah suara setelah Nagisa mengetuk pintu ruang kerja Satoru.

Nagisa masuk dengan ragu. Menampakan wajah bersemu merah menahan malu. Satoru memandang ke arah tamunya, dan mendapati Nagisa yang mengenakan jaket beruang coklat muda berbahan beludru halus yang hangat. Jangan lupa wajahnya yang imut, perutnya yang membuncit, dan telinga beruang madu yang kini ada di atas kepalanya. Membuat Satoru ingin langsung melompat dan memeluk tersangka.

"Emmm ... Haruka memintaku memakainya, sebagai rasa terimakasihnya padamu. Tapi, aku tidak mengerti kenapa dia malah menyuruhku untuk ... memakainya?" kata Nagisa mencoba mencari jawaban.

"Kemarilah! Aku ingin tahu hadiahku," perintah Satoru.

"Kau ingin aku melepasnya?"

"Jangan. Kemari saja,"

Nagisa berjalan mendekat pada Satoru dengan gugup. Entah kenapa ia merasa Satoru telah menatap dirinya seolah ingin menelannya hidup-hidup. Nagisa bergidik memikirkannya.

"Apa itu nyaman?" tanya Satoru pada Nagisa.

"Um ... halus dan hangat."

"Aku ingin merasakanya sendiri. Kemarilah dan duduk di sini," Satoru menepuk pahanya.

"Kau ingin aku duduk di pangkuanmu?"

"Hm ... tentu saja aku ingin melihat hadiahku. Kemarilah!" Satoru memaksa.

Wajah Nagisa langsung memerah.

"Aku bisa melepasnya," elaknya lagi. Hampir melepas jaket yang ia pakai.

"Kemari!" perintah mutlak Satoru. Membuat Nagisa langsung maju dan dengan hati-hati duduk di atas pangkuan Satoru.

Satoru memeluk Nagisa dan merasakan halus dan hangat jaket yang ibu hamil itu kenakan. Walau tindakan itu membuat jantung Nagisa kembali berdetak tidak terkontrol, tapi setidaknya itu adalah salah satu hal paling menyenagkan yang pernah ia laukan. Ia menyandarkan kepala pada dada bidang si pria, dan mulai mengantuk oleh perasaan nyaman yang ditumbulkan.

"Haruka selalu punya selera yang bagus dalam memilih hadiah," suara Satoru membangunkan Nagisa yang hampir tertidur dalam pangkuan.

"Apa kau akan memakainya nanti. Kau akan lucu sekali memakai benda ini," Nagisa mendongak menatap Satoru.

"Tidak, kau yang lebih cocok mengenakannya," balas Satoru.

"Tapi ini milikmu!"

"Iya, kedua-duanya milikku, jadi tidak masalah,"

Nagisa bingung. 

'Hadiahnya hanya ada satu bukan?'

"Apa kau tidak meneruskaan pekerjaanmu?" tanya Nagisa.

"Setelah mengantarkanmu ke kamar." Satoru berdiri dan langsung mengangkat tubuh Nagisa dengan mudah, untuk menuju kamar.

"Turunkan aku! Aku bisa kembali ke kamarku sendiri,"

"Tidak hari ini. Haruka ada keperluan di luar kota, dan aku tidak ingin tidur sendiri,"

"Heeeh ...."

.

Cup.chocochip

.

Suasana kamar utama Satoru mendadak sangat kaku. Saat dirinya dan Nagisa kembali berbaring bersama seperti sedia kala. Hanya saja kini mereka merasakan hawa kecanggungan pekat di seluruh penjuru kamar, membuat keduanya enggan untuk memulai percakapan yang seharusnya telah tercipta dari beberapa menit yang lalu.

"Apa tidak sebaiknya aku kembali ke kamarku saja?" kata Nagisa, hendak bangun dari kasur sebelum Satoru membalasnya.

"Kau tidak perlu sekaku itu padaku hanya karena Haruka. Kau mencoba menjauhiku," kata Satoru tidak tahan oleh sikap Nagisa padanya sejak Haruka kembali seminggu yang lalu.

Nagisa mematung pada posisinya yang masih duduk di atas kasur. Kemudian kembali berbaring di samping Satoru untuk menjelaskan semuanya.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Kalian sudah dua bulan ini tidak bertemu. Aku hanya, berusaha memberikan kebebasan yang lebih pada kalian ... untuk dapat meluangkan waktu bersama," kata-kata yang terdengar kurang meyakinkan bagi Satoru.

Satoru menatap Nagisa dari posisi tidurnya, dan Nagisa pun melakukan hal yang sama pada sahabatnya. Hingga posisi mereka kini saling berhadapan dalam keseriusan.

"Aku dan Haruka memiliki dua perjanjian saat umur kami baru saja menginjak 14 tahun. Perjanjian pertama adalah perjanjian kami dengan orang tua kami, dan yang kedua adalah perjanjian di anatara kami berdua."

Nagisa menyimak penjelasan Satoru dengan seksama. Ia tahu Satoru tengah membicarakan sesuatu mengenai perjodohan dirinya dan Haruka. Namun Nagisa pun tidak tahu secara jelas mengenai hal itu, karena Satoru tidak pernah bercerita bahkan pada sahabat-sahabatnya.

"Pernikahan kami adalah murni sebagai perjanjian bisnis yang tercipta antara kedua keluarga. Aku maupun Haruka menyadari akan pentingnya hal tersebut dan sama-sama menyepakati perjodohan kami. Nasip sumberdaya alam, parawisata, industri yang menjadi salah satu penopang kemajuan perekonomian Jepang berada di tangan orang-orang seperti kami. Dan selayaknya kami mengemban tugas tersebut bahkan dengan mengorbankan kebebasan," Satoru mengubah posisi tidurnya menjadi lurus dan memilih menatap langit-langit sebelum melanjutkan cerita.

"Aku merasa sangat beruntung karena orang tuaku menjodohkanku dengan Haruka, yang juga merupakan salah satu sahabatku, dan dapat mengertiku sepenuhnya. Maka itu, selain perjajnian antara kedua keluarga, kami juga membuat perjanjian di antara kami berdua."

Jeda panjang terjadi, saat Nagisa menemukan ekspresi tertekan tercetak jelas di wajah datar Satoru. Ia sadar, apa yang diceritakan Satoru padanya saat ini adalah rahasia terbesar dalam hidupnya. Dan Nagisa merasa sangat terhormat menerima curahan hati sahabatnya yang terkenal tertutup ini.

"Perjanjian itu di dasari oleh kebebasan yang telah terenggut bahkan sebelum kami sempat merasakannya. Adalah masing-masing dari kami dapat memilih dan menjalin hubungan asmara dengan orang lain secara rahasia, walau kami telah menikah sekalipun."

Nagisa langsung terlonjak kaget dan bangun dari posisi tidurnya. Lalu tanpa basa-basi langsung mendekat ke arah Satoru, memandangnya dengan sangat serius, seraya mencengkram kedua lengan pria itu dengan kuat.

"Satoru, katakan padaku! Kau tidak benar-benar ingin melakukannya bukan?" tuntut Nagisa dalam nada ancaman. "Jawab aku Satoru! Kau tidak bermaksud untuk menghianati Haruka kan?" Cukup dirinya saja yang merasakan pedihnya cinta. Dia tidak ingin Haruka merasakan hal yang sama.

"Nagisa—"

"Berjanjilah padaku!" Nagisa menyela Satoru tanpa peringatan. "Kau tidak akan menyakiti Haruka apa pun yang terjadi, kau tidak akan menepati janjimu!" Nagisa memandang Satoru lekat-lekat, masih mencengkram kedua lengan laki-laki itu dengan lebih kuat, seraya  meminta persetujuan.

Satoru membalas pandangan tegas Nagisa dengan tatapan memohon. Kemudian menjawab pertanyaan Nagisa dengan pertanyaan yang lain.

"Bagaimana bila aku ingin kau yang menjadi simpananku?"

Nagisa terperanjat. Mencoba mencari tanda-tanda lelucon dalam perkataan Satoru. Namun, yang ia temukan hanya sebuah keseriusan, yang membuat persaanya campur aduk  dalam dilema.

Tidak kuat memandang Satoru lebih lama, Nagisa memutuskan untuk melepas cengkraman, untuk kembali pada posisi berbaring.

Ia memejamkan matanya sejenak, mencari ketenangan, sebelum mengemukakan jawaban.

"Carilah seorang wanita—" Nagisa mengambil nafas dalam, "—yang baik, dan aku percaya Haruka adalah wanita paling sempurna ... untukmu," lanjutnya. Menahan semua godaan untuk membahas tawaran Satoru beberapa saat yang lalu.

"Kau terlalu memandang tinggi Haruka. Dia hanya seekor serigala bertopeng kelinci."

Nagisa menarik napas lega. Penjabaran santai Satoru mengenai pribadi Haruka membuat Nagisa dapat kembali pada pribadinya.

"Setidaknya dia dapat mengimbangi seekor bauaya sepertimu."

"Tapi buaya lebih menyukai beruang coklat." Satoru tersenyum, memandang baju yang dikenakan Nagisa dengan penuh arti. Mencoba menerasfer pikirannya.

"Ha-ha-ha ... jadi yang dimaksud Haruka hadiah terbaik adalah karena kau menyukai beruang coklat. Aku bahkan tidak tahu kau menyukai hewan itu." tawa renyah Nagisa pecah, mememelencengkan arti tersembunyi dari penjabaran Satoru.

"Ah sudahlah, tidur saja," tukas Satoru, frustasi. Kemudian berbalik untuk tidur membelakangi si Ibu Hamil.

"Kenapa ngambek?"

Namun tidak ada jawaban.

Setelah kata terakhirnya, Nagisa menguap lebar, dan melajutkannya untuk menuju alam mimpi. Namun tanpa ia ketahui, di tengah tidurnya yang damai, ada yang masih terjaga, untuk memandang wajah, dan mencium kening halus si Ibu Hamil dalam kegelapan.

Sungguh malam indah yang ia rindukan telah kembali. Tidak rela rasanya untuk merelakannya pergi lagi esok hari.

.

Dan saya tidak rela untuk mengtakan ...

Bersambung ....

Lama nggak Up Date ....

Selanjutnya akan lebih lama.

Saya WB akut seakut-akutnya. Tidak ada satu karya yang saya sentuh. Ini merupakan simpanan. Jadi langsung Up Date.

Bagaimana ini?

HUAAAAAAAAA *Nangis

Kasih semangat guys ... saya membutuhkan sorakan keras dari kalian semua.

Sudah, aku mau meratapi nasip lagi. Sampai jumpa lagi ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top