Apa pun Dirimu 13
Bagian 13
Orang Ketiga
"Selamat pagi tuan muda, Nagisa-sama," sapaan Tori, saat mereka di ruang makan kediaman Takasaki.
"Selamat pagi Tori-san," kata Nagisa ceria setelah menyeruput sedikit susu bumilnya.
"Persiapan untuk konfrensi pers hari ini di Hotel Haneda telah selesai. Anda akan datang pukul satu siang di sana bersama Haruka-sama," kata Tori pada Satoru yang masih fokus pada sarapannya.
"Aku akan keluar dari kantor sekitar pukul 12 siang. Pastikan tidak ada sesuatu yang penting setelah sepeninggalku. Dan katakan pada Haruka aku akan menjemputnya," Satoru mengelap tanganya dengan sebet yang telah di sediakan, dan meminum jusnya dengan cepat sebelum berdiri dari kursi.
"Haruka pulang kemarin dulu, dan dia sama sekali tidak mengujungiku," cicitan protes terdengar dari orang sebelah Satoru.
"Dia sedang banyak pekerjaan Nagisa,"
"Ya... dan aku harus cuti kerja karenamu," kata Nagisa murung. Memperotes perintah Satoru yang melarangnya bekerja dip anti asuhan semetara waktu, untuk memulihkan kodisinya pasca insiden yang terjadi.
"Kemarilah!"
Nagisa berdiri, mendekat dengan malu-malu. Satoru memulai ritualnya. Memeluk dengan kokoh lengan panjang, melingkup sempurna tubuh si Ibu hamil besar. Mencium kening Nagisa dengan ketulusan yang menyebar dalam tiap volume relung hati, menyebar melalui tiap debaran yang tercipta, untuk segera beralih pada cuiman ada perut Nagisa dengan kelembutan.
Nagisa tidak menolak, tapi juga tidak merasa baik-baik saja. Pemahaman akan rasa cinta yang ia miliki, setelah kejadian gudang terkunci, membuat degub jantungnya semakin keras saat Satoru melakukan aksinya.
Tapi ritual tetap hanya sebuah ritual. Nagisa menerima perlakuan lembut Saroru oleh karena keberadaan janin dalam kandungan. Kepercayaan akan cintanya yang tidak akan pernah terbalas menjadi fondasi hubunganya dengan Satoru. Sehingga ia dapat sedikit menekan rasa, dan tidak berharap banyak pada perhatian sahabatnya.
"Kau benar-benar merindukannya? Aku akan mengajaknya pulang ke mari setelah kami selesai konfrensi. Kau juga bisa melihat kami di televisi." Sejenak satoru mengacak-ngacak rambut Nagisa dalam kelembutan, sebelum beranjak pergi dan meninggalkan tempatnya berdiri.
.
Cupchocochip
.
Hotel Haneda.
Salah satu gedung pencakar langit terbesar dan tertinggi di tanah Tokyo. Sebuah hotel kebanggan keluarga Yamamoto sebagai pemilik sah bangunan mewah berlantai 30. Ballroom hotel Haneda, didesaki ratusan manusia pembawa perlengakapan penagkap moment, baik itu kamera, alat perkam suara, dan benda sejenis. Telah siap sedia merekam informasi yang dijanjikan dalam konferensi.
Bisik-bisik penasaran para pencari tahu. Memadati aula tempat diadakannya konferensi. Sorak ramai yang sedari tadi tercipta, kini semakin mengeras dan ganas. Jepretan kamera yang bersautan, hingga lampu shooting yang menyala merah mengikuti gerak dua sosok manusia yang berjalan bersama, diikuti sepuluh bodyguard di belakang mereka.
Pasangan itu menunduk sebenar untuk memberikan penghormatan pada seluruh hadirin, sebelum duduk pada kursi yang telah disediakan di panggung—depan para wartawan. Setelah suasana mencapai titik kondisif, yaitu saat suara-suara tak bermakna tidak lagi bersautan, dan perbincangan antara sesama wartawan tak lagi terdengar. Maka dimulailah acara konferensi Satoru dan Haruka siang itu.
"Selamat siang semua," pembukaan Haruka. "Terimakasih atas kedatangan kalian. Saya, Haruka Yamamoto sebagai pembicara. Di temani oleh CEO muda tertampan impian semua wanita, Satoru Hasegawa," candaan Haruka membuat suasana yang awalnya tegang, menjadi sedikit releks.
"Tentunya CEO kita ini sudah terlalu sering tampil di televisi selama saya pergi. Dia bahkan sudah punya fangrils sendiri. Jadi sekarang biarkan saya saja yang berbicara mewakili kami berdua," kata Haruka, sangat santai untuk ukuran seseorang yang akan dibantai oleh para wartawan.
"Saya di sini karena janji yang saya buat pada kalian di bandara. Tapi sebelum menepatinya saya ingin membuat sebuah penawaran."
Semua orang terlihat bertanya-tanya dengan apa yang ingin disampaikan oleh Haruka. Pers sudah sangat paham siapa lawan mereka. Tidak ada yang tidak mengenal Haruka. Seorang anak pejabat yang pemikiranya hampir sama dengan seekor musang penipu.
"Seluruh aset perusahaan, bisnis, bangnan, dan tempat wisata yang dikelola oleh keluarga. Menghasilan 1 man yen dalam 1 menit. Dengan mengadakan acara ini, 60 menitku yang setara 60 man yen telah aku serahkan pada kalian. Jadi penawaranya adalah, kalian ingin 60 menit omong kosongku, atau uang 60 man yen milikku,"
(¥ 600.000,- = Rp. 72.000.000,-)
Haruka diam sejenak untuk memperhatikan ekspresi audiens, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku akan beramal dengan cara yang kalian kehendaki. Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan," Ia mengakhiri.
"Em... Yamamoto-san, e ... to ... kami disini ingin mewancarai anda, bukan untuk hal lain. Jadi bisakah kita mulai sekarang?" kata salah satu wartawan senior yang memakai kacamata tebal.
"Hey kau tidak bisa memutuskannya sepihak. Siapa tahu ada yang berpendapat lain," kata wartawan yang lebih muda.
"Hal lain apa? Kau ingin uangnya?"
"Kalau iya kenapa?"
"Hey, ingat tujuan awal kita!"
Sahut-sahutan terjadi dengan sangat heboh. Seluruh orang menyuarakan keinginannya dengan nada tinggi. Tidak ada perbedaan antara senior dan junior bila menyangkut soal royalti.
"O iya. Semakin lama kalian memutuskan semakin kecil nominal yang kalian dapat. Sekarang hanya tersedia 50 menit (50 man yen) untuk kalian bagikan," interupsi Haruka lewat interkom.
"Haruka, kau mempermainkan mereka?" tanya Satoru setelah mematikan sambungan pengeras suara, dan mendekatkan kepala untuk berbisik pada lawan bicara.
"Aku mengulur waktu bodoh!" jawab Haruka tidak kalah pelan. "60 menit. Kita bisa dibabat sampai akar bila memberikannya."
"Dan siapa yang menjanjikan hal itu?" sindir Satoru. Ditanggapi Haruka dengan menyibakan poninya malu-malu, seperti gadis lugu.
"35 menit, 35 man yen," kata Satoru melalui interkom. Membuat Haruka bahagia oleh persetujuan si CEO pada rencananya.
"Kita minta uang saja!" kata si A.
"Hey kau, jangan seperti pengemis!" kata si B.
"Memangnya kau tidak butuh uang?" Si A kembali menaggapi.
"Tidak, di bagi dengan semua dalam ruangan, tidak akan dapat seberapa," di jawab oleh si C.
"Kenapa tidak senior saja yang dapat?" Si D bereaksi.
"Kami juga termasuk dalam ruangan," Si C berpindah haluan.
"Sudah, minta uangnya saja 35 man yen bukan uang yang sedikit," tuntut Si E.
"30 man yen, lihat timernya," Teriak Si F.
"Hey jangan memutuskan sepihak, kita butuh informasi untuk bertahan disini," Si B kembali bersuara.
"Bisakah kalian bersikap professional!" kembali pada wartawan senior yang berkacamata tebal.
"Hey kau bahkan tidak lebih muda dariku," kata Si G.
"25 menit, 25 man yen," kata Haruka setelah menyembunyikan uapan yang lebar, tada mulai bosan.
Seluruh wartawan tersingkap oleh waktu yang telah terbuang percuma.
"TANYAKAN SESUATU!" Wartawan Senior berkacamata tebal berteriak pada seluruh orang dalam ruangan.
"Itu masih jumlah yang besar. Kami ambil uangnya. Siapa yang setuju denganku?" Si A kembali berulah. Tapi hanya enam orang yang mengangkat tangan setuju.
"Kalau begitu ¥ 20 man yen di bagi enam orang," kata Si A, seenaknya sendiri.
Wartawan senior berkacamata tebal meremat sebuah kertas dari dalam buku catatan, kemudian melemparnya tepat pada kepala Si A dengan wajah gemas.
"Persetan dengan otak udangmu!" katanya dalam amarah memuncak, untuk meneruskan kalimanya pada subyek yang berbeda. "Yamamoto-sama mohon untuk tidak menciptakan kebingungan dalam situasi pers. Kami hanya seorang pencari kebenaran, bukan pencari sumbangan. Jadi mohon waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami," kata Wartawan Senior dalam ketegasan.
"Baik, kalian punya 15 menit tersisa. Silahkan bertanya sepuasnya," jawab Haruka, membenarkan posisi duduk untuk lebih tegak.
Lalu seorang wartawan muda mengangkat tangan dan memulai pertanyaan pertama.
"Yamamoto-sama kenapa anda pergi ke Hawai bersama Saudara Takashi Natsume?"
"Hey! Waktu kita tidak banyak. Jangan tanyakan hal sepele! Langsug saja. Yamamoto-sama, apa Natsume-san adalah orang ketiga dalam hubungan kalian berdua?" sang Wartawan Senior bertanya tepat sasaran.
"Dia sahabatku. Tidak ada cerita adanya orang ketiga atau keempat. Karena sebenarnya sejak awal kami empat sekawan," jawab Haruka serius.
"Lalu kenapa anda tidak pulang sebulan yang lalu bersama Hasegawa-sama?" pertanyaan lain.
"Aku memiliki sebuah proyek pembangunan resort di sana. Tidak mungkin aku pergi seenaknya sendiri seolah-olah sedang berlibur. Dan aku sangat kecewa saat tahu, Satoru terbang ke Hawai menyusulku hanya karena desas-desus menjengkelkan yang tersebar. Kami saling mencintai, dan aku mohon untuk tidak mempertanyakannya lagi!" Haruka memberikan tatapan peringatan pada seluruh hadirin.
"Lalu kapan pernikahan kalian akan di laksanakan?" pertanyaan selajutnya.
"Akhirnya kalian menanyakan hal itu. Padahal aku ingin bercerita banyak. Tapi waktunya hanya tinggal 5 menit. Maka langsung saja, jawaban dari pertanyaan akan saya serahkan pada Satoru. Silahkan," Haruka mempersilahkan Satoru memulai dialognya.
"Selamat siang semua," kata Satoru, berdiri dan memandang seluruh hadirin untuk mengalihkan fokus.
"Hari ini di depan semua orang yang hadir, dan seluruh pemirsa yang menyaksikan. Saya ingin menyatakan bahwa saya akan menikahi tunangan saya Haruka, 2 bulan lagi. Tepatnya pada tanggal 27 Januari tahun depan," kalimat Satoru menciptakan banyak spekulasi, pertanyaan, dan kebingungan. Seluruh ruangan kembali bising dengan bisik-bisik antar sesama wartawan yang penasaran.
Namun, sebelum salah satu dari mereka sempat memulai bertanya kembali. Haruka telah memakai mikrofon, dan mengkhiri wawancara hari ini, "Karena waktu yang kami jajikan telah habis. Kami mohon undur diri. Terima kasih,"
Sepasang kekasih itu turun dari podium presentasi dan segera dikerumuni para bodyguard yang siap menghalangi wartawan-wartawan yang hendak menyerbu pertanyaan yang lain.
"Tunggu Yamamoto-sama, anda belum menepati janji 60 menit anda,"
"Satu pertanyaan lagi,"
"Yamamoto-sama,"
Tidak menggubris kerumunan wartawan yang masih bersikukuh memita tambahan waktu, Satoru kini melingkarkan tangan pada pinggang Haruka dengan mesra.
"Hm ... Sekali-kali pers juga harus dipermainkan," kata Haruka bahagia.
"I love you Haruka," kata Satoru riang. Kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju mobil sambil tertawa bahagia.
.
Cupchococip
.
"Nagisa-sama, ada apa Nagisa-sama. Kenapa anda menangis?"
Tori segera berlari setelah mendengar bunyi benda jatuh dari arah dapur tempat Nagisa memasak. Namun malah menemukan ibu hamil yang mengis sambil menonton televisi.
"Bawangnya, bawangnya perih ... bawangnya perih. Huuuuuuu ...." Nagisa meletakan pisau yang ia gunakan mengiris bawang dan menggunakan tanganya untuk mengapus air mata yang tak kunjung berhenti.
"Aduh, perih. Ungh ...." Tangis Nagisa semakin keras, saat tangan yang ia gunakan menyentuh bawang sampai pada kelopak mata.
"Na-nagisa-sama, saya akan mengantar anda ke kamar. To-tolong jangan menagis." Tori kebingungan untuk menenagkan Nagisa yang semakin meronta.
"Tapi masakannya ...," kata Nagisa hampir meraba mencari pisaunya kembali.
"Tidak perlu, biar saya teruskan. Nagisa-sama istirahat saja."
Tori mengantarkan Nagisa menuju kamarnya atau kamar utama milik Hasegawa muda. Mendudukannya hati-hati di atas kasur. Menayakan sesuatu yang mungkin Nagisa butuhkan sebelum ia kemali ke dapur.Tapi teman tuan mudanya tersebut masih tetap menagis sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan tangan. Tidak menggubris perhatian yang ingin ia tawarkan.
Akhirnya Tori memilih keluar kamar dan mengambil obat tetes mata. Setelah mengambilnya di dapur, Tori bergegas kembali, dan menemukan Nagisa telah tidur sambil meringkuk di atas kasur. Pelayan itu memutuskan tidak menggangu tidur Nagisa dan kembali melanjutkan aktifitasnya.
Tori salah. Nagisa sama sekali tidak tidur. Tak ia ketahui bahwa kini Nagisa tengah menggigit bantal untuk meredam suara tangis. Mencoba sekuat tenaga menenangkan diri hingga bulir-bulir keringat dan air mata meluncur bersama-sama.
Setelah menyaksikan secara langsung wawancara Haruka dan Satoru dari televisi. Membuat dadanya tiba-tiba sesak, dan matanya pun menjadi perih. Ia paham pada apa yang tengah ia rasakan, dan pemhaman itu yang menciptakan peperangan dalam hatinya.
Hal tersebut terjadi karena otaknya tidak setuju. Ia harusnya bahagia. Ia harusnya bernafas lega. Mengetahui bahwa keinginannya melihat Satoru dan Haruka bersatu akhirnya terjadi.
Namun perasaanya kali ini, membuat Nagisa membenci hatinya sendiri. Ia ingin mengatakan hatinya. Ia ingin menjeritkan lukanya. Tetapi dia hanya dapat meangis bisu. Karena pelampiasan dalam amarah saja ia tidak berhak, apalagi meronta seperi yang direncanakan hatinya kini.
.
Cupchocochip
.
"Kau membuatnya tidur di kamarmu? Kau sungguh memanfaatkan semua moment dengan baik,"
"Diamlah! dia sedang tidur."
Suara seorang perempuan dan laki-laki, membuat Nagisa terbangun. Ketika matanya terbuka, Nagisa melihat sosok wanita cantik yang ia saksikan dari layar televisi beberapa saat yang lalu.
"Haruka," kata Nagisa, lirih, sambil mengusap mata yang perih hasil bagun tidur atau malah karena bekas tangis.
"Mushi-chan, kau sangat imut sekali. Lihat perutmu, sangat menggemaskan." Haruka memeluk Nagisa dengan rakus sambil mengelus-elus tonjolan di perut sahabatnya.
"Aku merindukamu," Nagisa menenggelamkan wajahnya ke atas pundak Haruka sambil mempererat pelukan mereka.
"Iya, aku juga," Haruka menepuk-nepuk punggung Nagisa untuk menenagkan.
'Pasti berat,' pikir Haruka.
"Kalian sudah pulang dari tadi?" tanya Nagisa menghilangkan keheningan.
"Kami mengemas barang-barang Haruka untuk dibawa kemari. Jadi butuh sedikit waktu dan baru sampai beberapa saat yang lalu," Satoru berkata dari pojok ruangan. Bersantai di sofa sambil menikmati angin semilir dari jendela yang terbuka.
Nagisa menelan ludah kasar oleh pernyataan Satoru. Menyadari kesimpulaan dari apa yang dilontarkan.
"Aku juga sebaiknya mengemasi barang-barangku," Nagisa langsung berdiri dan menuju ruang ganti tempat ia menyimpan pakaiannya di lemari besar Satoru.
Haruka bertemu pandang dengan Satoru. Mendesah pasrah sambil menatap sahabat prianya. Merasa suasana dalam kamar mendadak berubah menjadi sangat tidak menyenagkan.
Satoru akhirnya berdiri dan menemui Nagisa dalam kamar ganti. Si pria mengawasi ibu hamil yang mengambili beberapa barnganya untuk ia taruh dalam koper dengan susah payah. Memasukan barang-barang dengan buru-buru dan sembarangan.
"Aku telah menyiapkan kamar tamu untuk kau tempati," kata Satoru dalam kehalusan menghanyutkan.
"Iya," kata Nagisa pasrah. Berusaha sekuat tenagga untuk tetap tenang. "tapi apa tidak lebih baik aku kembali ke apartemen lamaku—"
"Tidak, kau tinggal di sini bersama kami. Kau hamil, kau butuh teman. Kau membutuhkanku," pernyataan mutlak Satoru, tak meggubris keinginan Nagisa.
Nagisa menghentikan kegiatannya dan menatap Satoru serius. "Aku tidak mau menjadi penggangu diantara kalian,"
"Hey... memangnya kau siapa? Orang ke tiga?" ucapan Satoru membuat Nagisa ingin menagis kembali. Walau itu adalah sebuah gurauan, tapi merupakan sebuah tamparan bagi Nagisa.
Kemudian Satoru melanjutkan, "Kami menyayangimu Nagisa. Aku menyayangimu. Ku mohon tetaplah bersamaku."
Nagisa bingung harus bereaksi seperti apa. Satoru benar, dalam kondisinya yang hamil, ia merasa membutuhkan banyak orang didekatnya. Ia sangat nyaman berada di sini. Bukan karena rumah besar atau fasilitas mewah, tapi karena ada Tori si kepala pelayan yang selalu ramah padanya, Hana si tukang kebun yang sering memberinya bunga segar, atau si supir yang bernama Asami, yang selalu mengantarkanya kemanapun ia ingin pergi.
Dan Satoru adalah alasan pertama dan utama kenapa dirinya terlalu betah untuk tinggal di kediaman Hasegawa.
Nagisa pun mengangguk pada tawaran Satoru, untuk tinggal di rumah ini selama masa kehamilannya. Dibalas Satoru dalam pelukan hangat, yang membuat ibu hamil itu terpatung dalam dekapan.
"Haruka telah kembali. Kau harusnya tidak melakukan ini lagi padaku," protes Nagisa terhaadap pelukan yang selalu Satoru berikan untuknya dan bayinya.
"Ini demi anak kita bukan? Kenapa tidak?" jawab Satoru cukup ringan.
"Satoru, dia tunaganmu!" Nagisa melepaskan pelukan mereka dengan paksa.
"Dan kau mengandung anakku."
"Anak angkatmu!"
"Ini adalah keputusanku. Kau maupun Haruka tidak berhak menentangnya. Apa kau mengerti!" kata Satoru tegas dan penuh penekanan.
Pertama kali dalam masa kehamilanya, ia melihat Satoru marah padanya, dan itu membuat Nagisa cukup tersakiti.
"Sekarang kemasi barang-barangmu. Aku akan menyuruh Tori membawanya ke tamar tamu," Satoru langsung pergi meninggalkan Nagisa yang merana.
Hari ini adalah hari sial pagi Nagisa. Harus menerima dua kabar gembira yang membuatnya sengsara, yaitu Satoru yang kembali pada Haruka, dan Haruka yang tinggal bersama mereka.
Seharusnya dia tidak boleh seperti ini. Ia merasa telah menjadi orang jahat, tokoh antagonis, pagar pemakan tanaman, yang mencintai tunangan sabatnya sendiri. Benar apa yang dikatakan Satoru, ia telah menjadi orang ke tiga di antara mereka.
.
.
Tbc
#Ayo ... siapa yang dukung Nagisa jadi orang ketiga perusak rumah tangga?
#Chapter yang nggak ada manis-manisnya. Aku bales bitter sweetnya di chapter depan.
****
Cuap-cuap penting!
Cao ... italia Neko dayo! Wkwwkwkwkwk
Ada yang tertarik baca cerita yang pasti tamat dalam waktu 100 hari? (karena harus tamat dalam 100 hari).
Monggo kunjungi cerita 'Mystical You' yang baru aku publish chap 2. Bercerita tentang Hantu yang menjadi comblang cinta.
Yang suka romance-romance labil. Tapi bukan tentang CEO atau Kekasih posesif (ini yang lagi membludak sekarang bukan?). Kamu akan aku ajak terjun pada dunia perdemitan, dan kisah cinta segi tiga.
Semoga kalian suka ...
Aku tunggu ....
Ruru
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top