Apa pun Dirimu 12

Bagian 12

Pengakuan

Brak... Brak...

Suara benda keras yang saling dipertemukan dengan paksa. Beberapa kali dibenturkan di pintu gudang yang terkunci. Hingga suara hantaman terakhir terdengar dan pintu dapat terbuka.

Cahaya yang menyilaukan dan angin segar menerjang paksa memenuhi ruangan yang tadinya pengap. Sisa-sisa kesadaran yang kian menipis hanya dapat ia gunakan untuk tetap membuka matanya yang kian menggelap.

Nagisa merasakan tangannya di tarik oleh seseorang. Juga, pipinya ditepuk-tepuk dengan lembut. Namun, sama sekali tidak punya kekuatan untuk menjawab atau membalas apa yang sedang bayangan hitam itu lakukan.

Sebenarnya siapa bayangan itu. Kenapa ia merasa pernah menjumpainya. Dapat menarik tangan dan menggendong Nagisa sangat dengan mudah, bahkan dalam kondisinya yang sedang mengandung.

Sang pangeran menggendong sang putri dengan penuh kasih dan ketulusan.

'Pangerannya Mori,' tebak Nagisa dalam hati. Teringat kisah yang ia ketahui.

"Bertahanlah Nagisa! Aku mohon," kata Pangeran itu.

Pandangan yang kian mengabur, tidak menutupi keterkejutan akan suara yang familiar. Sang pangeran yang selama beberapa jam lalu selalu ia nanti kehadiranya. Ia inginkan kedatanganya.

Adalah Satoru. Sahabatnya.

Nagisa mulai dapat menfokuskan penglihatan untuk melihat Satoru. Gurat kecemasan jelas di sana. Samar-samar ia mengucapakan kata-kata hiburan yang mungkin ia tunjukan pada Nagisa ataupun dirinya. Bahwa Nagisa baik-baik saja, dan akan kembali padanya.

Hati sang putri tersentuh oleh ketampanan dan kebaikan sang pangeran.

'Kenapa kau lagi? Kenapa harus berkali-kali,' batin Nagisa menjerit. Berapa banyak yang layak ia terima. Sebesar apa ia harus berhutang budi. Juga, sampai kapan ia mampu menampik persaannya sendiri. Perasaan yang selama ini ia halangi keberadaannya, ia bentengi penyebarannya. Untuk tidak berharap banyak, untuk tidak menjadi banyak.

Cinta itu tidak memandang apa pun dari sudut pandang mana pun. Bila sudah datang waktunya, dan sudah saatnya kau menyadari. Mungkin kau akan dibuat meangis atau tertawa olehnya. Dan aku berharap, kau tertawa saat itu.

Tetes demi tetes menyambung panjang melewati pipi Nagisa. Air mata itu turun deras menyambut kesadaran hati yang kian merapuh. Tersekat dalam tiap tarikan nafas yang semakin pendek dan cepat. Juga jantung yang kini mendentum keras bak pukulan godam yang bertalu-talu. Mendekap hatinya erat tanpa ampun, hingga tercekik oleh tiap rasa yang tersembunyi.

Penyesalan memenuhi hati Nagisa. Saat menyadari, seberapa tidak pantas dirinya memangku rasa ini. Ia yang seorang pria, miskin, yatim piatu, mengandung janin pria lain, dan cacat. Apakah layak berharap untuk sebuah cinta?

Nagisa, kau tidak perlu menjadi berguna untuk dapat berarti. Aku menerimamu apa adanya. Apapun Dirimu,

Hanya Satoru yang memiliki pandangan itu, dan hanya dia yang Nagisa harapkan untuk melakuaknya. Tidak yang lain. Bukan orang lain. Hanya dia, yang ada dalam hatinya.

Jadi, bisakah kau mengatakan, pada Iruka Sensei dan pangeranku, bahwa aku mencintainya,

Mungkin ini saatnya ia mengaku kalah. Pada lubang yang tertutup jerami. Sekali terperosok tak akan ada jalan untuk kembali. Nagisa lelah untuk bersembunyi. Hatinya teriris dalam penyesalan. Hingga bertekat untuk mengungkapkan.

'Aku mencintaimu, Satoru,'

Samar-samar pandangan matanya semakin menggelap. Titik yang sedari tadi menjadi pusat pandangan telah lama hilang. Jejak suara yang ia nanti telah pergi. Namun, kata hati itu, masih menjerit berkali-kali. Tiada henti, dan lancang tanpa permisi.

.

Kemudian gelap dan tenangnya dunia mendatangi.

Membawa kabar senja yang siap berganti malam.

Mengisahkan berakhirnya satu masa.

hingga esok akan dimulai kehidupan yang baru.

Seperti malam yang selalu ada di antaranya.

Begitupun kehidupan,

Cobaan ada sebagai persiapan datangnya kebahagiaan.

Sebagaimana malam yang mempersiapkan datangnya pagi.

Cup.Chocochip 28-11-2016

.

Cup. Chocochip

.

Kilatan-kilatan cahaya mengenai tubuh jenjang dan seksi seorang wanita berparas cantik yang saat ini ada di bandara. Menenteng sebuah tas koper yang nampak tidak terlalu berat, tapi masih terkesan berpose di hadapan kamera. Walaupun senyum yang terbentuk tidak mencerminkan ketulusan, tapi telah membuat para wartawan terpesona dan wartawati iri pada kecantikannya. Rambut merah gelap terkuncir ketat, bibir sewarna darah tersenyum anggun, dan hidung kecil nan mancung yang telah dikaruniakan, sejak 24 tahun kelahiran. Juga, mata indah berwarna coklat, yang berputar jenuh. Menatap risih berbagai pertanyaan-pertanyaan bising yang terlontar serempak dari para wartawan.

"Kenapa anda datang sendirian Nona? Apakah Tunangan anda tidak menjemput?"

"Baginama dengan hubungan kalian? Apakah kalian sudah putus?"

"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?"

"Apa sahabat yang bersama anda di hawai tidak ikut pulang hari ini?"

"Kenapa Nona Yamamoto Haruka tidak pulang selama lima bulan ini?"

Wanita yang dipanggil Haruka itu, sama sekali tidak tertarik menaggapi mereka. Tersenyum dalam kamera hanya sebagai sambutan selamat datang pada kampung halaman. Disambut oleh wartawan sama sekali tidak menyenagkan. Karena bukan mereka yang ia butuhkan sekarang, tapi tunangannya. Dari sejam yang lalu, kekasihnya itu sama sekali tak dapat di hubungi, bahkan tidak membalas pesan yang berisi ancaman-ancaman mengerikan darinya.

Risih dengan gerobolan para wartawan yang selayaknya semut yang bertemu lumeran madu. Akhirnya Haruka mencari cara untuk melepaskan diri.

Ia mulai memamerkan senyum paling indah sekaligus mematikan pada mereka. Sebelum berkata, "Wah, ini sangat seru .... Bukankah akan lebih menyenangkan, bila kita punya waktu sendiri untuk membicarakanya? Bagainana kalau lusa, di gedung konfrensi Hotel Haneda. Aku akan mengajak Satoru bersamaku. Setuju?"

Haruka mengakhiri kata-katanya dalam senyum hangat. Ia mengatakan hal itu dengan suara lantang dan penuh kepercayaan diri. Membuat seluruh rombongan berbisik ragu untuk tidak mempercayainya.

"Setidaknya Nona Yamamoto bersedia menjawab beberapa pertanyan dari kami terlebih dahulu," kata salah satu wartawan yang tidak rela kedatanganya ke bandara sia-sia.

"Bukankah itu sangat merepotkan. Kalian akan bekerja dua kali. Aku bahkan yakin, setelah mendapat jawabanku, kalian akan langsung terbang menemui Satoru. Dan yakinlah, Satoru tak akan mengtakan apa pun pada kalian," kata Haruka syarat penekanan. Membuat para wartawan berpikir dua kali untuk melanjutkan pertanyaan.

Ia tersenyum puas. Kemudian melancarkan aksi penutup. "Sekarang kalian tinggal pilih. Satu gigitan? Atau, sekali telan?"

Sontak seluruh grombolan diam tanpa suara. Cukup tertarik dengan wacana Haruka. Maka dengan kesepkatan bersama, mereka memilih melepaskan buruan mereka untuk saat ini. Untuk mereka terrkam di kemudian hari.

Haruka menikmati kemengangan. Melihat wajah-wajah pasrah dari mereka. Ia mulai menenteng tasnya lagi, untuk melanjutkan perjalanan pulang yang tertunda.

"Permisi," katanya sopan. Menggeret tas kopernya dengan anggun. Ditemani para wartawan yang menyingkir dengan suka rela, memberi jalan pada Haruka Yamamoto, kekasih, sekaligus tunangan si bungsu Hasegawa.

Hasegawa Satoru.

.

Cup. Chocchip

.

"Hallo." sebuah suara terdengar, dari telepon yang kini disambungkan Haruka menggunakan ear phone.

"Kau jahat Satoru, kau membuat para wartawan semakin memojokanku," kata Haruka, saat mengendari mobil SUV putih dalam perjalanan pulang. Sambil menelepon kekasih yang akhirnya dapat dihubungi.

"Oh .... Maafkan aku. Aku lupa kau pulang hari ini. Sekarang kau di mana Haruka?" Satoru memanggil nama panggilannya dengan fasih. Menandakan jelas akan kedekatan mereka sebagai sahabat maupun kekasih.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Haruka. Mendapti Satoru bersikap aneh hingga melupakan janji. Pasti ada sesuatu yang menjadi penyebabnya.

"Hari ini Nagisa keluar dari rumah sakit."

"Oh Tuhan, apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya?" Haruka mengerutkan kening, dan menunggu jawaban Satoru segera.

"Hanya sedikit kecelakaan. Kami sedang berada di perjalan pulang. Dia sudah baik-baik saja dan duduk di sebelahku. Ingin bicara padanya?" tanya Satoru.

"Boleh ...," jawab Haruka, antusias.

"Hallo *Bakappa? Kau sudah menjadi antagonis sekarang hah? Kau bahkan tidak lagi menghubungiku sejak kau pergi ke hawai. Awas kalau kau tak bawa oleh-oleh nanti," celoteh Nagisa, berdialog sebal pada satu-satunya sahabat perempuannya

"Hallo **Mushi-can. Tentu saja aku bawa oleh-oleh banyak untukmu. Semua itu adalah ucapan terima kasihku, karena kau telah menjaga Satoru selama aku pergi. Sekarang aku ingin mengambilnya kembali," jawab Haruka, dalam candaan.

Namun, tiba-tiba tidak terdengar jawaban sama sekali. Cukup lama hingga suara Nagisa terdengar lagi, tapi dengan intonasi lirih dan syarat kerendahan diri.

"Ah... Oh, iya. Aku akan menyerahkan telfonya pada Satoru," kata Nagisa, terbata oleh alasan yang sama sekali tidak Haruka mengerti.

"Hey aku masih ingin berbicara padamu! Aku belum menyakan kabarmu. Apa kau—"

"Hallo." Belum sempat Haruka menyelesaikan kalimat, suara di sebrang telah berganti.

"YAA... Aku masih belum selesai bicara, kenapa si Yowa-mushi itu menyerahkan telfonya padamu?" Haruka menggunakan nada tinggi dalam tiap kata.

"Mungkin dia pusing. Dia sudah tidur lagi di sebelahku," jawab Satoru.

"Oh, aku merasa ketinggalan banyak. Berapa lama lagi kau akan sampai rumah?"

"Mungkin dua puluh menit. Kami sedikit terjebak macet." Latar belakang suara klakson yang saling bersahutan, menjadi bukti nyata penjelasan Satoru.

"Bisakah kau datang ke apartemenku setelah mengantar Nagisa pulang?"

"Kenapa? Kau merindukanku?"

Haruka dapat mendengar jelas, tawa ejek dari si lawan bicara. Sedikit terkejut oleh perubahan Satoru pada selera humor.

'Ia cukup bahagia,' batin Haruka.

"Yang pasti, kau sudah cukup banyak mendapat kesenangan ketika aku pergi. Sekarang saatnyaa, aku berbagi kesedihan denganmu."

Haruka langsung menutup telfon tanpa mencari persetujuan. Kemudian menfokuskan kembali pandanganya pada jalan yang akan ia tempuh untuk pulang.

.

Cup. Chocochip

.

Situasi berubah kembali. 

Setelah mengatar Nagisa pulang. Satoru berangkat lagi. Menuju penthouse  sebuah apartmen mewah di pusat Tokyo. Ruangan besar berdekorasi mewah menjadi saksi bisu, dua orang yang duduk berhadapan dengan meja kotak nyaman sebagai pemisah. Di atas meja terdapat dua gelas kopi. Maing-masingnya masih menguap hangat. Namun yang terlihat di mata Satoru hanya Haruka, yang memandangnya untuk segera melempar pertanyaan.

"Kau ingat janjimu? Sekarang aku ingin kau menepatinya," celetuk Haruka, di awal percakapan.

"Kau berubah pikiran lagi," Satoru mendesah pasrah oleh keputusan Haruka. Menyandarkan tubuhnya dengan keras pada sandaran sofa yang tengah diduduki.

Penthouse mewah yang sudah 3 tahun menjadi tempat tinggal Haruka, masih terlihat bagus dan terawat walaupun sudah 5 bulan ia tinggalkan. Ruang keluarga yang berisi sofa empuk dan nyaman, televisi, beberapa pot bunga di samping jendela, dan ornamen-ornamen tambahan lain, membuat ruangan ini terlihat lebih indah dan nyaman di saat yang sama.

"Aku tidak punya jalan lain. Ayah mulai menunjukan kuasanya. Dan Natsume telah ia tandai," ujar Haruka, mengakiri kalimat dengan mendecihan sebal. Walau, masih tidak ada ketakutan dalam matanya.

"Kita hanya perlu seperti biasa. Lambat laun ia akan melupakan permasalahan kalian," kata Satoru.

Kediaman terjadi. Namun tidak lama. Setelah Haruka memandang lawan bicara dengan tatapan putus asa. Menjadikan Satoru lebih penasaran mengenai apa yang sebenarnya terj

"Seandainya waktu berpihak padaku." Haruka memejamkan mata dan menautkan alis sejenak, sebelum meneruskan kalimat. "Aku hanya punya dua bulan sebelum ayah membunuh Takashi, atau kami berdua."

"Apa yang kau maksud dengan 'dua bulan'?" tanya Satoru, tidak mengerti.

"Karena ia akan tahu kalau aku hamil."

Tawa Satoru pecah, melihat ekspresi Haruka saat mengatakan bahwa dirinya telah berbadan dua.  Tidak ada rasa bersalah atau nada menyesal di sana. Sangat biasa. Seperti mengoar mengenai seberapa buruk sarapan dietnya hari ini. 

Satoru bahkan merasa mengalami dejavu. Namun, terasa konyol untuk bagian ini. Sangat bertolak belakang dengan Nagisa saat mengetahui kabar yang sama.

"Jadi, ini alasan kau kembali?"

"Ya ... tapi tidak perlu buru-buru. Seperti yang Nagisa katakan padaku sebelum berangkat; 'Kau hanya perlu mengatakan tanggal. Dan seluruh persiapan akan terjadi sebelum kau mengatakan beres," Haruka mencoba menirukan gaya bicara Nagisa yang unik, tapi malah terdengar aneh.

"Sayangnya hari-hari kemudahan itu sudah berlalu. Nagisa juga hamil, dan ia masih tidak tahu siapa yang menghamilinya,"

Penjelasan Satoru, sontak membuat Haruka membuka mulutnya lebar dan memelototkan matanya tidak percaya. Ia mengusap puncak kepalanya sekali tanda frustasi, kemudian meniru gaya Satoru untuk menyandarkan diri di punggung sofa.

"Aku tidak menyangka kau seberensek ini," celetuk Haruka, kasar. Kemudian mencoba mengamati efeknya pada Satoru. Namun, karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa laki-laki itu ingin berbalas kata. Ia memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya, "tapi aku masih tidak akan mengalah pada Nagisa. Aku menginginkan bayiku tetap hidup, dan aku rela melakukan apa pun untuknya, bahkan dengan mengorbankanmu,"

Satoru menatap Haruka dengan tajam. Sebelum ia mengalihkan pandangannya pada cangkir kopi untuk mengangkatnya.

"Tidak perlu seperti itu. Aku masih memegang janjiku," kata Satoru, bersungguh-sungguh. Menyeruput kopi panas di tas meja, sebelum ia letakan kembali. Sejenak berfikir sebelum menyatakan keputusan.

Haruka yang paham akan situasi memilih diam dan menunggu. Tidak ingin memecaah ataupun menghalangi pemikiran awal Satoru. Namun, apapun hasilnya, Haruka akan tetap mewujudkan keinginannya, bagimana pun caranya. Mengalah, bukanlah kata yang dapat ia cerna.

"Aku akan menikahimu,"

Kata terakhir Satoru dan gelegar tawa lepas Haruka, mengakhiri pembicaraan penting malam itu.

Bersambung ....

*panggilan akrab 4 sahabat pada Haruka.

**panggilan akrab 4 sahabat pada Nagisa.

Edit nggak mkasimal. Ngantuk pol.

 Kalau ada tipo, ingetin ya cuy ....

Minggu depan libur. Nggak up date. Jangan nunggu. Tidur aja ....

Hoam ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top