~ Titik Terang & Ceramah Pagi ~
Tidak peduli bagaimana sulitnya, aku akan mengejar kebenaran.
Bukan hanya untukku, tetapi untuk dia juga yang kehidupannya sudah aku pinjam.
Tidak lama lagi, ini akan selesai.
Aku mohon, bersabarlah sekali lagi.
🍂🍂🍂
Janu memutus sambungan telepon setelah mengucapkan terima kasih berulang kali pada perempuan yang baru ditemuinya lagi untuk kedua kali. Ada tetes bening yang tidak sanggup ditahan. Ia berjongkok di depan pintu karena lututnya lemas. Faza yang berdiri di sampingnya mengira Janu oleng, langsung mendekat dan menunduk.
"Masih pusing? Balik ke rumah sakit, ya?" tanyanya khawatir.
Janu yang masih berusaha untuk menenangkan dirinya hanya sanggup menggeleng. Ia masih tidak percaya bahwa usahanya akan membuahkan hasil. "Kaki saya lemas."
Dengan sigap, Faza membantu Janu berdiri. Ia mengalungkan lengan Janu ke bahunya jaga-jaga jika lelaki itu kembali oleng. Kunci kamar Faza ambil alih. Ia membuka pintu dengan tergesa.
"Jangan sungkan untuk meminta bantuan. Saya siap membantu, toh yang Pak Tata lakukan juga untuk sahabat saya."
Janu menoleh ketika Faza menyebut dirinya sahabat. Hatinya seperti dicubit. Bulir bening kembali menetes, tetapi langsung dihapus dengan kasar olehnya. Ia mencapai tempat tidur berkat bantuan dari Faza.
"Makasih banyak. Maaf saya merepotkan. Setelah ini Mas Faza boleh pulang. Saya sudah tidak apa-apa."
"Obatnya masih belum diminum? Sudah makan?"
"Nanti saya minum. Masih ada yang harus saya kerjakan," jawab Janu dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Kalau begitu saya permisi pamit."
Faza langsung menuju pintu, ia bergegas keluar dan tidak lupa menutup pintu lagi. Kamar berukuran sedang itu memiliki satu tempat tidur dengan meja dan kursi yang berada di dekat jendela.
Janu beranjak dan duduk di atas kursi. Tangannya merogoh tas ransel dan mengeluarkan beberapa kertas yang dibawanya dari rumah Tarendra. Ia menatap lembaran yang berisikan surat pernyataan kesediaan untuk adopsi. Surat adopsi milik bayi bernama Dwi Januar dan berjenis kelamin laki-laki itu.
Setelah bosan mengingat, akhirnya Janu menyimpulkan kertas itulah yang dilihat Tarendra dan membuatnya marah. Kertas lusuh itu juga yang bisa membuat emosinya turun naik. Kemungikinan bayu bernama Dwi Januar itu sudah berganti nama menjadi Tarendra.
Setelah beberapa lama berkutat dan memandangi berkas itu, ia mendengar suara ketukan dari arah pintu. Mata Janu melirik ke arah jam dinding. Siapakah orang yang menemuinya lewat tengah malam seperti ini?
Ia lantas berjalan menuju pintu. Begitu terbuka, wajah Faza dengan senyum yang masih sama seperti dulu menghadap padanya.
"Apa saya terlalu lama? Nyari bubur malam-malam ternyata lumayan sulit. Untung ada ojol yang mau nerima orderan saya"
Tanpa dipersilakan, Faza mendorong pelan tubuh Janu supaya kembali ke kasur setelah pintu ditutup. Ia membuka bungkusan dan mulai mengaduk pelan untuk menghilangkan uap panas dari bubur di hadapannya.
Janu melihatnya dengan tatapan sendunya. Ia masih melihat kebiasaan yang sama dari sahabatnya itu. Faza tetaplah manusia tulus yang ia kenal sejak kecil. Faza sahabatnya itu memang paling peka jika menghadapi orang sakit.
"Dimakan kalau sudah agak dingin. Ini masih terlalu panas. Setelah itu minum obatnya dan baru tidur."
"Saya bilang pulang, kenapa kembali lagi? Nanti keluarganya nyariin."
"Justru kalau saya pulang, ayah dan ibu saya akan marah karena meninggalkan teman yang sedang sakit sendirian."
"Saya nggak suka bubur."
"Saya temenin makan biar habis. Ini saya beli dua," ucap Faza sambil mengeluarkan kotak kedua dari keresek yang dibawanya.
"Bubur itu buat orang sakit, Mas Faza."
"Sudah habiskan saja, Pak Tata."
Meski enggan, Janu mencoba untuk menghabiskan makanan yang dibelikan oleh sahabatnya itu. Memakan sesuap demi sesuap sampai akhirnya bubur di hadapannya itu habis tak bersisa.
"Akhirnya habis juga. Dengan niat, pasti habis," jawab Faza.
"Boleh minta tolong lagi? Bisa panggil saya Tata saja atau Tarendra tanpa embel-embel Pak? Kita ini seumuran. Nggak enak saya dengarnya."
Faza mengangguk dan membereskan kotak-kotak kosong ke kresek dan meletakkannya di tempat sampah yang disediakan. Ia beralih menyodorkan beberapa jenis obat ke hadapan Janu.
Tidak ada tempat lagi untuk beristirahat, Janu dan Faza akhirnya berbagi tempat tidur. Meski sedikit canggung, tetapi tidak ada jalan lain. Baru juga dua jam Faza menutup matanya, gerakan Janu di sisi kanan membuat Faza terduduk.
Ia melihat pergerakan Janu yang tidak nyaman. Bulir keringat membasahi keningnya. Ketika tangan Faza ingin membangunkan dan menyentuh lengan Janu, sensasi panas langsung membuatnya berjengit.
Dengan cepat ia membuka selimut yang menutupi tubuh Janu. Baju yang baru dipakai kurang dari tiga jam itu sudah basah dan banjir keringat. Faza tergesa mengambil handuk dan mengusap keringat yang membasahi tubuh Janu.
Ia juga mengompress kening dengan air hangat supaya panas dari dalam tubuh bisa keluar. Meski Janu tampak menggigil, Faza harus tega supaya panas tidak mengendap dan menimbulkan masalah lain.
"Disuruh balik ke rumah sakit nggak mau, bener kan? Malah demam tengah malem," ucap Faza dengan berbisik. "Batu banget, sih? Persis sama Janu."
Faza bisa kembali terlelap setelah azan subuh selesai berkumandang. Ia terbangun ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Faza melirik pada sosok di sebelahnya dan memegang keningnya.
Lumayan, udah turun. Ini siapa lagi datang jam segini, batin Faza.
Ketika ia beranjak, orang di sebelahnya bergerak dan menggeliat. Hal itu membuat handuk kecil yang dipakai mengompres keningnya, terjatuh. Janu menatap Faza dan mempertanyakan siapa yang datang.
"Biar saya bukakan pintunya."
"Lo siapa? Kenapa bisa di sini? Tata di mana?"
Rentetan pertanyaan itu meluncur dari mulut Arfa. Ia memilik menerobos masuk daripada masih lama menunggu konfirmasi dari Faza.
"Lo tega bener, sih, bohongin gue. Acara seminar tiga hari kenapa minta seminggu?"
"Fa, saya masih ada keperluan."
"Keperluan apa? Lo nggak mikir itu Nana nangis dua malem nggak bisa tidur. Apalagi semalam dia sampe sakit gara-gara lo nggak cepet balik. Pulang, Ta!"
Janu menggeleng. "Urusan saya belum selesai."
"Balik! Nggak ada penolakan kali ini," bentak Arfa karena terlalu kesal dengan sikap sahabatnya itu. "Kelar seminar bukannya balik, malah ngelayap!"
"Maaf, Mas. Pak Tata semalam masuk rumah sakit jadi belum bisa pulang. Semalam juga demam."
Arfa menoleh pada Janu dan memastikan tentang kebenaran yang diucapkan oleh Faza. Tidak dapat dipungkiri. Lingkar di bawah mata yang lebih gelap, tatapan mata sayu, dan bibir yang pucat rasanya sudah cukup menjadi bukti.
"Sori, gue nggak tahu," suara Arfa menjadi lebih pelan ketika mendapati lelaki yang sudah dianggap seperti adik sendiri itu ternyata sedang tidak baik-baik saja. Ia lantas naik ke kasur dan menyentuh kening Janu.
"Sudah nggak apa-apa."
"Masih sesak? Atau ada yang nggak nyaman?" tanya Arfa berusaha menebak apa yang menjadi keluhan temannya itu.
Diperlakukan dengan lebih halus membuat Janu lekas menggeleng. "Sudah baik, jadi boleh kalau lanjutin urusan saya?"
"Nggak ada, tetap nggak boleh."
"Kamu nggak bisa ngelarang saya. Ini penting bagi saya."
"Nggak boleh, Ta. Lo nggak usah ngurus apa-apa lagi. Gue lebih milih lo lupain masa lalu dan tetap di sini dengan identitas baru. Jadilah Tata yang baru. Nggak apa-apa semisal lo nggak bisa ingat."
"Saya sudah ingat semuanya."
Bohong. Janu berbohong hanya demi sebuah izin yang seharusnya bisa dipustuskan tanpa meminta pertimbangan dari Arfa. Sebuah kesengajaan yang dilakukan demi mendapat hal yang jauh lebih besar.
🍂🍂🍂
WRITORA
Bondowoso, 29 November 2022
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top