~ Sedikit Jelas ~


Isi kepala begitu ramai.
Kenapa datangnya bersamaan?
Sedangkan rumitnya harus diurai perlahan.

🍂🍂🍂

Terkadang manusia banyak berharap kepada sesama, tetapi ketika jalan sudah bisa ditemukan, setidaknya Tuhan tidak lepas tangan untuk tetap membantu umatnya. Janu menemukan jalan untuk mendukung kegiatan "minggat" dari rumah Tarendra.

Berikutnya, ia hanya butuh bantuan dari seorang yang mungkin bisa memberikan penjelasan kepada keluarga Tarendra, terutama kepada si kecil Janardana yang sudah pasti menanyakan keberadaannya.

Dengan cepat Janu menghubungi Arfa—sahabat Tarendra—mungkin ia akan membantu, mungkin justru mempersulit keadaan. Entah mana yang akan terjadi, yang paling penting tidak ada salahnya mencoba terlebih dahulu.

"Fa, aku butuh bantuan kamu, bisa?" ucap Janu setelah mengucap salam dan mendapat balasan dari orang di seberang telepon.

"Lo ke mana? Ini nyokap ngubungin nggak bisa-bisa. Balik, gih! Nana nyariin terus. Masih sakit juga, ngapain pake acara minggat?"

"Fa, please! Dengerin dulu, bisa?"

"Nggak! Lo yang harus dengerin gue. Nyokap sama bokap lo panik pas pagi lo nggak ada di kamar. Bisa nggak, sih, nggak usah pecicilan dulu?"

"Darurat, Fa. Darurat."

"Apa jangan-jangan lo udah ingat semuanya dan pengin nyelesaikan sendiri? Emangnya lo sanggup nelusurin seisi kota buat nyari orang tua kandung? Atau mau nyari panti asuhan tempat asal lo sebelum diadopsi? Gue bisa bantuin, Ta. Jangan jalan sendiri. Halo, Ta? Kok diem? Gue susulin, share lokasi lo sekarang, Ta!"

Janu yang sudah mulai keluar kafe mendadak berhenti ketika mendengar penjelasan dari Arfa. Ia mematung sejenak ketika merasa pijakannya goyah. Beruntung di boulevard tempatnya berdiri saat ini sisi kanan dan kiri disediakan kursi untuk bersantai.

Lelaki dengan ransel di punggung itu menepi dan memilih salah satu kursi serupa kursi taman untuk menetralkan detak jantungnya yang mulai menggila. Ditambah dengan kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Arfa. Ia tidak menyangka jika Tarendra menyimpan rahasia yang begitu besar.

"Aku oke, Fa." Janu berdeham guna melonggarkan tenggorokannya yang seperti tercekat. "Nggak usah susulin. Aku minta tolong saja, ini ada kegiatan seminar untuk anti perundungan secara tatap muka. Acaranya mendadak, dan butuh waktu sekita semingguan. Bisa dimintakan surat perjalanan dinas? Katanya boleh nyusul, kok."

"Lo nggak lagi bohong 'kan?"

"Fa, mau bantu nggak? Ini serius, setelah ini aku kirim email biar kamu percaya. Dan soal orang tua kandung, panti? Aku nggak ngerti, ini maksudnya gimana?"

"Lupakan soal itu. Gue pengin mastiin lo baik-baik saja. Share lokasi tempat seminarnya, gue susulin ke situ sambil bawa SPPD."

Keduanya mencapai kesepakatan. Mau tidak mau, Janu harus hadir dalam seminar. Setidaknya ia mendapat tambahan dua sampai tiga hari karena seminar yang dimaksud hanya dilakukan selama tiga hari saja. Sedangkan surat yang ia minta selama kurang lebih satu minggu.

Demi terlaksananya kegiatan yang terselubung, Janu meminta tolong Arfa untuk mengambil beberapa keperluan sekaligus membantu menjelaskan kepada orang tua Tarendra. Untuk sementara mungkin ia bisa lolos dari cercaan pertanyaan dari Arfa, tetapi entah nanti ketika bertemu, Janu tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Jarak tempat seminar diselenggarakan tidak terlalu jauh dari lokasi perkantoran tempat Janu bekerja dulu. Ia juga bisa dengan mudah menemukan tempat yang dituju. Semua yang ada di sana terasa asing.

Hanya satu dua orang yang menyapa Janu dan memanggilnya dengan nama Tarendra. Ia tidak terlambat untuk cek-in karena batas yang ditentukan adalah pukul empat sore, sedangkan Janu sudah di lokasi sejak pukul dua, lewat tengah hari.

"Taredra!" panggil seseorang dari kejauhan yang membuat Janu menoleh ketika hendak duduk di ruang tunggu.

Tampaklah sosok Arfa melambaikan tangannya dari meja resepsionis.

"Nggak jadi, Mbak. Itu orangnya sudah ketemu, terima kasih."

Arfa bergegas menemui Janu dengan membawa satu koper berukuran delapan belas inch. Ia menyeret dan meletakkan di dekat kaki Janu.

"Banyak amat yang dibawa? Aku nggak pesan segini?"

"Itu nyokap lo yang packing. Gue nggak ikutan. Lo kan emang kebiasaannya gitu. nggak pernah peduli isinya apaan, yang penti dibawain."

Janu menggaruk kepalanya. Ia tidak menyangka jika amunisi yang dibawa dari rumah Tarendra akan lebih dari cukup untuk sekadara bermalam di hotel. Lelaki yang sedang sibuk dengan isi kepalanya itu dikejutkan dengan Arfa yang tiba-tiba menyentuh keningnya.

"Ngapain?" ucap Janu sambil menepis tangan Arfa yang sudah sampai di keningnya.

"Disuruh ngecek sama nyokap, lo masih demam apa nggak. Kenapa bisa tumbang? Mikir apaan lo?"

"Nggak ada. Nggak mikir apa-apa."

"Nggak usah bohong, Ta."

"Hm, isi kepala saya ramai. Tiba-tiba saja keingat ada amarah setelah saya buka laci di kamar. Terus di kepala juga kayak ada yang minta tolong. Pas saya ingat-ingat, itu suara sendiri. Makin pusing kepala."

"Aku, saya, aku, saya, lama-lama gue ikutan pusing sama sikap lo, Ta."

Janu memejamkan matanya ketika suara Tarendra kembali memenuhi kepalanya. Suara yang mengandung amarah dan sedih secara bersamaan. Tangan kanannya terangkat dan memijat kening yang lagi-lagi dilanda pening.

"Dibawain obat sama Mama?" tanya Janu perlahan.

"Kenapa? Sakit?"

Janu mengangguk ketika sakit di kepalanya sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia menutup separuh wajahnya dengan telapak tangan kanan. Sesekali tangannya berpindah ke bagian belakang kepala dan memijat pelan di sana.

"Fa, entah ingatan yang mana yang sudah muncul, tapi saya lihat berkas adopsi di ..., ah, kenapa sakit banget, sih?" Janu memijat kepalanya ketika denyutan seperti yang ia rasakan semalam kembali hadir.

"Udah, jangan dipaksakan buat ingat. Biar balik sendiri, Ta."

Lelah dengan yang Janu rasakan, lelaki itu menyandarkan tubuhnya di sofa yang disediakan di dekat meja resepsionis. Ia menghela napas sejenak berharap yang dirasakan sedikit berkurang. Mungkin kegiatan seharian terlalu menguras tenaganya.

"Jangan bilang sama Mama kalau kayak gini lagi. Ini nggak seburuk yang semalam. Masih bisa ditahan."

"Berani bayar gue berapa untuk tutup mulut?"

"Kamu mintanya berapa? Pinku kamu tahu, semua tentangku kamu tahu. Tinggal ambil seperlunya," tantang Janu kembali.

Arfa terkekeh mendengar ucapan dari Janu. lelaki itu kemudian terdiam kembali karena melihat Janu yang masih memejamkan matanya. Rupanya ia berbicara seperti itu sambil menutup rapat matanya.

"Ta, ke kamar aja, ya? Biar bisa istirahat. Acara dimulai jam berapa?"

"Hm?" Janu membuka mata dan menoleh pada Arfa. "Apa? Di sini saja bentr. Kamarku di lantai paling atas. Bentaran aja, takut mabok pas di lift."

Sekali lagi Arfa menuruti permintaan Janu. Ia menaruh iba pada lelaki dihadapannya. Bisa dibilang keadaan sahabatnya itu tidak baik-baik saja, hanya mencoba untuk bertahan, padahal sudah di ambang batas kesadaran.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 16 Oktober 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top