~ Penat ~
Tidak ada yang namanya kebetulan.
Sebab semua yang terjadi sudah suratan.
Tidak ada yang namanya kesempatan datang dua kali.
Karena yang kedua, lebih sering keajaiban.
🍂🍂🍂
Janu memutar kembali memorinya ketika pulang dari stasiun. Ia mengingat dengan jelas mobil Arfa terjebak macet. Belum lagi penumpang di mobil itu tampak sekarat.
Napas yang tinggal satu-satu, Arfa yang tidak segera menemukan inhaler untuknya, sampai akhirnya nasib baik masih berpihak ketika satu ojek daring berhenti dan menawarkan bantuan untuk membawa klinik yang hanya berjarak seratus meter dari tempat mobil Arfa berhenti.
Janu mengusap wajahnya ketika ia juga mengingat saat berdebat untuk segera pulang setelah mendapat pertolongan pertama untuk asmanya. Serangannya saat itu memang sudah mereda, tetapi dampak dari obat pereda asma yang membuatnya menderita.
"Ta, tunggu bentaran aja kenapa? Nggak usah buru-buru. Bentar lagi nyokap lo juga ke sini."
"Kenapa ngubungi Mama? Ayo pulang, Fa. Nanti mereka semakin khawatir."
Permintaan Janu yang tegas tidak bisa Arfa tolak. Ia justru menurut dan segera mengurus administrasi di klinik untuk segera pulang. Pada akhirnya, mobil Arfa yang sudah terbebas dari kemacetan membawa mereka pulang ke rumah Tata.
Namun, sekali lagi bukti nyata terpampang bahwa Janu dalam tubuh Tarendra itu sangat merepotkan. Tubuhnya yang masih lemas dan pusing bahkan disertai mual nyaris saja menghantam lantai.
Beruntung Arfa sigap dan membantu memapah sampai ke kamarnya. Begitu sampai di kamar, habislah sudah ingatan Janu. Sepertinya ia tertidur atau mungkin malah pingsan.
Dari sekian banyak tubuh yang harus Janu singgahi, satu hal yang masih menjadi tanya di benaknya. Mengapa tubuh Tarendra yang menjadi "rumah" untuk jiwanya. Bahkan pertanyaan tentang mengapa ia terbangun di tempat yang asing masih belum juga terjawab sepenuhnya.
"Nu, jalani aja apa yang sanggup lo jalani. Jangan terlalu lama."
Janu mengernyit, selalu kata-kata jangan terlalu lama yang menjadi pengingat dan mengganggu tidurnya. Lelaki itu mulai tersadar ketika suara anak kecil memanggilnya.
"A' Tata, bangun. Dedek main bobok sini, ya?" ucap si kecil Nana sambil mengguncang lengan sang kakak.
Janu terbangun dan bersandar pada kepala ranjang. Ia menggerakkan kepala untuk mengurangi pening yang masih bersarang di situ. Ia melirik si kecil yang kesusahan untuk menaiki tempat tidur.
"A' Tata, tolong, dedek mau naik," ucap Janu memberikan arahan pada si kecil yang tidak juga mampu menaiki ranjang tempat Janu menyadarkan tubuhnya.
"A' Tata, tolongin."
Meski si kecil memanggil nama Tata, tetapi Janu tidak canggung, sebab ia sadar, si kecil butuh sosok kakaknya saat ini. Ia membantu si bungsu naik ke ranjang, bukannya mengambil posisi di sebelah Janu, si kecil justru melangkahi sang kakak dan duduk di perut Janu.
"Bobok gini," ucapnya sambil bersandar pada dada sang kakak. Bahkan si kecil ini memeluk seolah sang kakak akan menghilang lagi ketika ia melepasnya.
"Na, A' Tata mau kerja, boleh?"
Janu menangkup wajah si kecil dengan nama Janardana. Mata bulatnya berkedip sambil terus bertukar pandang dengan sang kakak. Pipi tembamnya membuat Janu gemas dan ia mengarahkan mulutnya ke pipi bulat di hadapannya.
Dari saking gemasnya, Janu benar-benar menggigit pipi serupa bakpau itu. Sontak si kecil langsung menjerit kesakitan. Lelaki itu segera menyudahi perbuatannya ketika sadar si kecil menangis dengan keras.
"Maaf, maaf. Aa' nggak sengaja. Maaf, Na. Maaf, ya?" ucap Janu sambil mengusap pelan pipi yang sudah digigitnya.
Namun, usaha untuk meminta maaf dan mengusap pelan pipi si kecil tidak membuahkan hasil. Jerit tangisnya sudah mengisi ruangan. Tinggal menunggu waktu sang mama masuk ke kamarnya dan memarahinya.
"A' diapakan adiknya sampai kejer gitu? Bujuk sampai berhenti nangisnya."
Benar dugaan Janu, sang mama masuk ke kamar dan langsung meminta pertanggungjawaban.
"Maaf. Aa' gemas, jadi pipinya tak gigit."
Wanita yang masih tetap cantik meski memasuki usia empat puluh lima tahun itu akhirnya menggendong si kecil dan berusaha keras untuk menenangkannya. Begitu sedikit tenang, ia langsung beranjak meninggalkan kamar si sulung.
"Aa' istirahat dulu Arfa sudah izinin ke sekolah untuk nggak ngajar hari ini. Kalau diminta istirahat itu, beneran istirahat. Jangan macem-macem main sampai jauh seperti kemarin, paham?"
Janu persis seperti tawanan yang mendapat vonis. Ia tidak bisa membantah ataupun berasalan hal lain lagi. Mandat seorang ibu haruslah didengarkan jika tidak ingin mendapat celaka.
Mau tidak mau, Janu mengangguk. Lagi pula, izin sehari juga tidak ada buruknya. Ia bisa menggunakan waktunya untuk memulai mengumpulkan beberapa berita tentang dirinya.
Setelah memastikan kondisi badannya bisa diajak kerja sama, Janu beranjak dan mandi supaya lebih segar. Ia membuka lemari dan mulai memilih baju mana yang akan ia kenakan.
Selera berpakaian Tarendra tidak buruk, bahkan cenderung banyak kesamaan dengan dirinya. Saat mencoba memilih kaos, ia melihat sebuah laci di lemari pakaian. Saat mencoba membukanya, laci tersebut terkunci.
Ia beralih mengangkat tumpukan baju dan akhinrnya menemukan kunci yang dirasa cocok dengan laci di hadapannya. Begitu terbuka, hanya beberapa lembar kertas saja yang Janu lihat.
Merasa tidak begitu penting, Janu mengunci kembali dan meletakkan kunci di tempat semua. Ia memilih melanjutkan kegiatannya di pagi hari ini.
Sebuah laman berita beberapa hari yang lalu menjadi sasaran Janu untuk mengumpulkan data. Ia menggulir beberapa berita yang saling berkaitan. Beberapa informasi juga sudah mulai terkumpul.
Seorang tewas setelah menenggak miras di salah satu diskotik terkenal.
Diduga miras oplosan menjadi penyebab meninggalnya seorang pemuda.
Kesadaran diri atau dicekoki? Ada apa dengan pemuda kita?
Tiga headline news yang Janu baca sudah sangat cukup untuk membuat kepala pening. Apalagi ketika membaca yang terakhir. Tajuk berita itu seolah menggiring opini masyarakat dan menganggap semua pemuda itu menjadikan miras sebagai pelarian.
Janu memijat keningnya lagi. Ia merasa permasalahannya menemui jalan buntu. Bukan hanya minim informasi, tetapi berita yang ada semakin menyudutkannya.
Pertama dan terakhir, beneran nih. Ke diskotik untuk pertama dan terakhir. Datang masih bernapas, pulang udah tinggal nama. Sial!
Ponsel serta laptop yang ia gunakan untuk menggali informasi akhirnya ditutup. Janu memilih untuk merenung sejenak sebelum melangkah lebih jauh lagi.
"Seharusnya dengerin Faza buat nggak ikut. Seharusnya aku mempersiapkan biaya untuk Anggi. Seharusnya juga aku ngikutin kata hati yang memang ragu."
Janu bermonolog sambil menatap langit-langit kamar tidurnya. Sepertinya da banyak penyesalan di benak lelaki ini. Menyesal yang bagaimana lagi yang harus dilalui? Semua sudah terjadi dan tidak bisa terulang lagi.
Meski begitu, setidaknya ada perbaikan yang harus ia lakukan jika memang ingin terus dan menyelesaikan masalah pada kehidupannya dalam tubuh Tarendra.
"Hah. Manusia diberi otak untuk berpikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar. Yuk, bisa, yuk manfaatkan semuanya dan menemukan jalan untuk pulang."
🍂🍂🍂
WRITORA
Bondowoso, 10 Oktober 2022
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top