~ Mencoba Menyelesaikan ~


Ujung benang sudah di tangan.
Namun, gumpalan yang terjatuh masih banyak.
Banyak waktu yang dibutukan untuk mengurai.
Apa masih sempat?

🍂🍂🍂

Menjalankan rencana yang sudah dibuat ternyata tidak semudah itu. Padahal Janu sangat berharap jika acara keguruan yang dijadikan alasan itu bisa memberi celah untuknya. Namun, kenyataan tidak berpihak padanya.

Ia telanjur bergumul dengan segala tugas yang diberikan. Ternyata seperti ini menggeluti dunia keguruan yang dulu paling tidak diminatinya. Seminar anti perundungan yang diikuti itu memiliki jadwal yang padat merayap. Hanya diberi jatah istirahat untuk makan dan salat.

Menyesal? Tentu tidak. Sebab setidaknya ia memperoleh ilmu baru untuk disebarkan ketika bertemu dengan anak didik Tarendra nanti. Selama tiga hari penuh kegiatannya hanya seputar kamar, ruang pertemuan, tugas, istirahat, dan berulang terus seperti itu.

"Adakah yang bisa memberikan kesimpulan dari pertemuan terakhir kita malam ini?"

Untaian kata seperti itu yang paling dinanti oleh setiap peserta seminar. Meski mereka bahagia mendapat kawan baru, rasa jenuh juga pasti ada.

"Pak Tata bisa membantu memberi kesimpulan? Beliau adalah salah satu guru muda berbakat yang kita miliki."

Dengan gugup Janu berdiri. Mau tidak mau ia harus mempertahankan citra baik sosok Tarendra dihadapan rekan-rekan yang sebenarnya tidak Janu kenal. Mereka kenal Tarendra, tetapi tidak dengan jiwa yang tengah bersemayam di tubuhnya.

"Saya rasa perundungan bisa teratasi dengan memutus mata rantai dan memperbaiki apa yang sudah telanjut rusak. Setidaknya mereka bisa dihentikan untuk tidak membangun citra buruk dan memberi kenangan yang buruk juga. Pelaku perundungan memang biasanya ada karena pernah menjadi objek. Dari situ mereka bisa memilih, menjadi pelaku, atau menjadi pelindung."

"Mari kita berikan tepuk tangan untuk kesimpulan yang benar-benar singkat, padat, tapi jelas. Demikian acara ini kami sampaikan. Selamat beristirahat Bapak dan Ibu guru terbaik."

Lepas dari kegiatan, beberapa dari peserta memilih untuk langsung kembali ke kamar. Namun, tidak dengan Janu. Ia memilih mengunjungi diskotik tempat ia meregang nyawa dulu.

Hanya sekitar sepuluh menit berjalan dari hotel, Janu sudah sampai. Ia langsung masuk dan mencari wanita yang pernah menemani atasannya ketika bertemu klien. Beberapa pegawai yang ada mengaku tidak kenal.

Sebagian lainnya mengarahkannya ke ruang belakang tempat biasanya para wanita malam menemani pelanggan. Begitu satu pintu dibuka, aroma rokok langsung menyengat dan menusuk hidung Janu.

Ia melebarkan padangannya hingga matanya melihat sosok wanita dengan pakaian yang kurang bahan duduk di atas meja dan memunggunginya.

"Mbak, permisi. Bisa kita bicara sebentar?"

"Eh, ada tamu. Ada keperluan apa? Mau pakai saya?" ujar wanita itu dengan suara yang mendayu-dayu.

Janu langsung menggeleng, "Ada yang ingin saya tanyakan, Mbak. Ini masalah serius. Bisakah?"

"Saya per jam itu 200 ribu, kamu berani bayar berapa?"

"Mbak mintanya berapa?"

"Wah, nantangin nih bocah. Dompetmu tebal? Hayuk. Kita ngobrol di mana?"

"Di luar saja, saya nggak tahan sama asap rokok," jawab Janu sambil sesekali terbatuk.

Sungguh tantangan besar ia berada di dalam tubuh Tarendra. Ada terlalu banyak pantangan yang harus dihindari supaya asmanya tidak kambuh. Termasuk menjauh dari segala jenis asap. Belum sampai lima menit di dalam ruangan itu, napas Janu sudah memberat.

Ia yang sudah mempelajari semua tentang Tarendra akhirnya mencoba untuk berdamai dan memperlakukan tubuh itu dengan baik. Setidaknya ia tidak semakin tersiksa.

Janu keluar menuju parkiran. Tubuhnya membungkuk, tangan kanannya memegang inhaler yang baru saja dihirupnya. Sensasi tidak nyaman langsung meraba indera pengecapnya.

"Se-bentar, Mbak. Sa-saya mau napas dulu. Minta waktunya."

Perempuan yang ikut keluar diskotik itu mendekati Janu dengan wajah yang sedikit panik karena melihat pengunjung dihadapannya itu bernapas dengan terenga-engah.

"Butuh bantuan? Atau mau ke rumah sakit saja?"

Janu langsung menggeleng dan menegakkan tubuhnya. Ia memindai area parkir untuk mencari lokasi yang sekiranya bisa digunakan untuk berbincang. Ia melihat satu pohon di sudut area parkir dengan sebuah bangku yang lumayan panjang. Setidaknya mereka ada tempat untuk duduk dan tidak lesehan.

"Kita duduk di sana, mau?"

"Ya udah, boleh. Yakin nggak perlu ke rumah sakit? Kalau nanti kenapa-kenapa jangan libatkan saya, ya? Saya capek urusan sama polisi."

Setelah mendapat persetujuan, keduanya langsung berjalan menuju sudut area parkir. Di bawah pohon yang rindang dengan sinar lampu yang cukup terang. Perempuan itu langsung bergidik ketika dingin menyapa kulitnya.

"Dipakai, Mbak. Di sini telalu dingin."

Janu mengeluarkan jaket dari tas ranselnya dan menyodorkan pada perempuan dengan pakaian pendek dan riasan yang cukup tebal itu.

"Mbak, maaf sebelumnya. Apa Mbak ingat dengan kejadian sekitar sebulan yang lalu? Pertemuan orang kantoran dan salah satunya meninggal karena keracunan?"

"Saya bilang saya capek berurusan dengan itu. Jangan bawa-bawa saya lagi. Apa keterangan saya waktu itu masih kurang? Apa mengubah jawaban itu juga salah?"

"Me-mengubah jawaban? Maksudnya?"

"Kalau sekiranya uang itu mau diambil lagi, silakan. Siniin nomer rekeningnya biar saja transfer balik."

Janu menarik benang merah dari kata-kata perempuan di sampingnya. Seperti yang ia sangkakan, ada sebuah permainan di balik itu semua. Apalagi ia paham betul atasannya itu termasuk orang yang berada.

"Mbak, saya belum selesai. Jangan pergi dulu," pinta Janu ketika si perempuan hendak pergi meninggalkannya.

"Apa lagi?" tanyanya ketus.

Janu mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah dan meletakkannya di atas bangku. Si perempuan langsung menoleh, kemudian kembali duduk di samping Janu.

"Itu yang Mbak mau."

"Apa yang harus saya lakukan?"

"Cukup duduk, diam, dan mendengarkan cerita saya. Nggak lebih dari tiga puluh menit."

Setelah mencapai kata sepakat, Janu memulai kisahnya. Berbekal dengan foto keluarganya yang ia dapatkan dari Faza tempo hati ketika bertemu di kafe. Ia memulai dengan statusnya sebagai anak sulung dan sedang membiayai seorang adik.

"Dia penopang keluarga, Mbak. Namun, hidupnya harus berakhir tragis. Kasian. Apalagi pas saya ke sana, orang-orang yang takziah bilang kalau dia meninggalnya karena miras oplosan."

"Cih, miras oplosan apaan? Lah wong dicekokin sama bosnya. Dia itu sudah nggak mau, tapi dipaksa. Sampai gitu dah kejadiannya."

"Mbak masih ingat dengan detail kejadiannya? Ayolah, tolong teman saya ini. Adiknya nangis terus karena kakaknya difitnah begini, Mbak."

"Nggak mau. Saya ogah berurusan sama Om-om gila itu," jawab perempuan itu sambil berdiri dan berjalan meninggalkan Janu.

Jaket yang sebelumnya tersampir di bahu perempuan itu akhirnya terjatuh. Jika sebelumnya mata dengan riasan gelap itu berbinar melihat lembaran merah, kini mata itu justru menampakkan ketakutannya.

Janu memasukkan di atas bangku ke sakunya dengan tergesa-gesa. Ia mengambil jaketnya di tanah dan berlari mengejar perempuan itu. Meski menggunakan sepatu berhak tinggi, begitulah seorang perempuan, masih tetap lihat berjalan walaupun jalannya tidak rata.

"Mbak, tu-tunggu. Jangan lari, tunggu sebentar. Ini uangnya belum diambil," teriak Janu yang juga ikut berlari.

"Sudah, saya nggak butuh. Jangan cari saya lagi."

Janu berhenti sejenak, ia berusaha menormalkan napasnya yang sisa sedikit. Inhaler yang ia hirup kini tidak lagi memberikan efek yang berguna. Udara di sekitarnya seperti hilang entah ke mana.

Suara mengi mulai terdengar ketika ia menarik napasnya. Lututnya pun mulai bergetar dan tidak kuat menopang tubuhnya. Sementara itu, sosok di hadapannya tiba-tiba saja berhenti dan berbalik ketika mendengar suara orang terbatuk di belakangnya. Ia berbalik tepat saat tubuh Janu sudah tersungkur dan mencium tanah.

"Eh, eh, jangan pingsan di situ!"

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 27 November 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top