~ Lepas Pengawasan ~


Bolehkah aku egois?
Masalahku sama sekali belum tersentuh.
Lantas, haruskah aku mengalah?
Aku ingin berdamai, selesai, dan tenang, itu saja.

🍂🍂🍂

Waktu yang digunakan untuk menunggu sangatlah membosankan. Apalagi tidak ada yang bisa dilakukan selain duduk dan diam. Setelah bel masuk berbunyi, Arfa pamit untuk mengisi kelas sesuai dengan jadwal yang ada.

"Jadwal ngajarku kapan, Fa?"

"Lihat di situ, Ta."

Arfa menunjuk ke arah permukaan meja kayu berlapis kaca yang bisa dibongkar pasang. Di bawah kaca terdapat beberapa lembar catatan termasuk juga jadwal yang ia maksud.

Janu menunduk dan menemukan tabel berisikan kombinasi angka dan hurus. Selanjutnya ia mencari nama Tarendra, begitu dapat kode huruf dan mapel, Janu menelusuri isi tabel pada hari Selasa.

Nihil. Lelaki dengan mata berwarna cokelat tua itu tidak menemukan adanya jam mengajar di hari itu. Janu mendongak hendak protes, tetapi temannya itu sudah menghilang dari hadapannya.

Sial! Udah tahu nggak ada jam ngajar ngapain juga diajak ke sini?

Janu beralih menatap ponsel di hadapannya. Ia memainkannya dengan cara memutar dan mencoba pola yang Arfa ajarkan sebelum pergi ke kelas. Setelah yakin, Janu mengangguk kemudian mulai membuka ponsel itu dan menelusuri seluruh isi yang ada.

Sori, Ta. Ini penting buat aku. Maaf karena harus mengambil alih privasimu, batin Janu.

Dengan cekatan Janu membuka beberapa aplikasi yang terdapat pada ponsel tersebut. Ia memeriksa kira-kira berapa saldo yang ada pada rekening dan dompet digital milik Tarendra.

"Untuk nomor PIN yang biasa dipakai itu ada dua, Ta. Kalau nggak 123123, ya 112233. Lo sesimpel itu kalau buat PIN. Katanya biar mudah diingat."

"Kok kamu bisa ingat dengan PIN yang biasa aku pakai?"

"Lo pelupa, ceroboh, panikan. Apa-apa minta diingetin terus."

"Ternyata saya nyusahin, ya?"

"Nah, ini. setelah kejadian kemarin nambah lagi kebiasaan lo. Nggak konsisten. Kadang saya, kadang aku, pakai gue-lo aja, gimana?"

"Sori, agak canggung."

Janu teringat pada percakapan dengan Arfa sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Meski begitu, percakapan singkat tadi rupanya sangat membantu. Kini tinggal sebuah perencanaan matang supaya Janu bisa keluar dari sekolah tanpa dicurigai.

Akhirnya, ia membuka satu aplikasi layanan gojek daring. Ia memesan untuk satu perjalanan menuju stasiun kereta. Jarak utara dan selatan antara rumahnya dan rumah Tarendra akan lebih cepat ditempuh dengan kereta.

Awalnya Janu berjalan perlahan menuju area parkir. Sejauh ini ia tidak menarik perhatian karena sebagian besar penghuninya sedang menjalani kegiatan belajar-mengajar. Sampai pada pos satpam, barulah Janu diberhentikan.

"Mau ke mana, Pak? Ambil pesanan atau mau keluar?"

"Mau keluar, Pak. Sebentar saja."

"Oh, iya, silakan."

Isi kepala Janu sudah mempersiapkan berbagai alasan seandainya memang benar si satpam bertanya banyak hal. Namun, keberuntungan sedang berpihak kepadanya.

Janu bergegas menggunakan helm dan langsung menaiki motor setelah memastikan itu gojek yang ia pesan atas nama Tarendra. Ia melakukannya secepat kilat supaya tidak menarik perhatian.

Tidak ada hambatan apa pun ketika Janu menggunakan ponsel milik Tarendra. Tidak terlalu sulit beradaptasi dengan ponsel pintar yang berada di genggamannya itu. Hanya satu yang belum terbiasa untuk Janu yaitu ketika bercermin.

Ia masih merasa asing ketika menatap pantulan wajahnya pada layar ponsel. Janu tersenyum tipis, hidupnya seperti sinetron. Mungkin terlalu mengada-ada, tetapi ini nyata. Ia tengah menjalani kehidupan yang luar biasa memusingkan.

Setelah menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit, Janu memesan satu gojek lagi untuk mengantarkannya ke rumah yang sudah sangat ia rindukan. Sekali lagi ia menempuh perjalanan.

Motor yang ia tumpangi itu membawanya ke salah satu komplek perumahan yang sangat dikenalinya. Janu menepuk bahu di depannya dan meminta untuk berhenti di tempat yang lumayan agak jauh dari titik tujuan.

"Sampai di sini saja, Mas. Saya masih ada keperluan. Terima kasih."

Janu menyelesaikan pembayarannya kemudian menepi. Ia berjalan sambil melihat-lihat pajangan yang berjajar di kanan dan kiri jalan. Rupanya banyak rangkaian bunga dengan ucapan belasungkawa terpampang di sana.

Lelaki itu mengambil sebuah topi berwarna abu-abu dan mengenakannya karena panas matahari. Ia menatap dan melewati rangkaian bunga itu secara perlahan. Setetes air mata akhirnya lolos membasahi pipi.

🍀🍀🍀

Turut berduka cita atas wafatnya Ekata Janu Haridra
kakak dari Dwi Hanggita
dari kami SMA Harapan Bangsa
🍀🍀🍀

Sebuah karangan bunga menarik perhatian Janu. Ia berhenti dan menatapnya sedikit lebih lama dari yang lainnya. Lagi-lagi lelaki itu tersenyum disertai dengan tetesan bening.

"Dunia ini benar-benar sempit. Aku sampai melupakan sekolah adikku sendiri. Dari saking sibuknya kerja sampai lupa adikku sudah SMA," ucap janu perlahan sambil mengusap karangan bunga tersebut.

Janu menghela napas. Dunianya memang benar-benar sempit. Setelah ia sempat mampir ke tempat kerja Tarendra, ia baru menyadari ternyata itu adalah sekolah sang adik. Apakah ini termasuk adil?

Sekali lagi napas lelaki itu tercekat. Ia seperti bermimpi, melihat rumah dipenuhi karangan bunga dengan namanya sendiri adalah hal yang teramat menyakitkan. Ia ada, tetapi keluarganya tidak mungkin bisa mengenalinya.

Pemilik rahang tegas dan hidung mancung itu meraba tas yang melingkar di tubuhnya. Ia merasakan getaran ponsel yang tidak berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Janu mengeluarkannya dan melihat nama Arfa terpajang di sana.

Dengan penuh pertimbangan, Janu mengangkat teleponnya.

"Lo ke mana? Jangan ngadi-ngadi, dah! Nyokap nitipin lo ke gue, dan sekarang lo ngilang gitu aja, Ta."

Rentetan suara tegas dan terdengar cemas langsung menyapa telinga Janu. Ia menghela napas mendengar suara Arfa dari seberang telepon.

"Aku sumpek di sekolah. Aku keluar sebentar. Jangan khawatir, aku sudah nyimpen alamat sekolah, tunggu saja di sekolah. Dua jam lagi balik."

Belum selesai Arfa menjawab, Janu sudah memutus sambungan teleponnya. Ia melakukan itu setelah melihat seseorang berjalan gontai keluar dari arah rumahnya. Dengan perlahan Janu mengikuti langkah gadis di hadapannya.

Seorang gadis dengan piyama dan kerudung berwarna hitam berjalan dengan sangat pelan. Di tangan kirinya ia menenteng keresek transparan berisikan bunga mawar. Sementara tangan kanannya tetap terangkat seperti memeluk sesuatu.

Setelah beberapa jauh berjalan, keduanya memasuki sebuah area pemakaman umum. Gadis bertubuh mungil itu langsung menuju sebuah makan dengan tanah yang sedikt basah.

Janu berhenti ketika gadis itu berjongkok membersihkan bunga-bunga yang mulai kering dan menguning. Ia berdiri di belakang si gadis dan bersembunyi di balik pohon.

Kegiatan di bawah terpaan sinar matahari itu tidak membuat si gadis merasa lelah. Ia mengganti bunga layu dengan bunga segar dari kantong kresek itu. Setelah selesai, si gadis mulai melantunkan doa untuk si penghuni kubur.

Lelaki yang bersembunyi di balik pohon itu kembali tertampar. Ia pikir melihat namanya di karangan bunga adalah yang paling menyakitkan. Ternyata melihat namanya terpampang di batu nisan jauh lebih menyakitkan.

Isakan mulai terdengar dari mulut si gadis. Ia tidak mampu menyelesaikan lantunan ayat suci Al-Quran karena tangisnya. Akhrinya, air mata Janu tak tertahankan. Ia turut menangis dalam diamnya.

"Gi, jangan nangis terus," ucap Janu sambil berjalan menuju si gadis yang tengah memeluk nisan di hadapannya.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 07 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top