~ Cerita Baru ~

Ini lembar baruku.
Halaman pertama bukan sebagai aku.
Namun, bagaimana dengan kisahku yang lalu?
Haruskah aku sudahi, lalu lupakan?
Tidak mungkin 'kan?

🍂🍂🍂

Urusannya dengan rumah sakit sudah beres. Janu dengan tubuh barunya sudah diizinkan untuk pulang. Tubuhnya sudah bisa dikatakan sehat dan memenuhi syarat untuk pulang. Namun, untuk psikisnya, ia diminta untuk sering-sering berkonsultasi.

Janu memilih untuk diam selama perjalanan pulang. Ia duduk di kursi belakang bersama dengan bocah kecil yang duduk di tempat khusus dan menghadap ke belakang.

Posisi ini membuat si bocah beberapa kali mencuri pandang pada sang kakak yang selalu saja terdiam. Janu bukannya tidak menyadari hal itu, ia juga beberapa kali melirik kemudian membuang muka melihat ke luar jendela.

"A' Tata, napa?"

Suara bocah lelaki itu membuat Janu menoleh dan meraih tangan mungil yang sedari tadi berusaha menyentuhnya. Lelaki dengan kaos berwarna abu-abu itu hanya tersenyum sambil terus mengusap tangan kecil dalam genggamannya, sampai si kecil terlelap.

Janu mulai paham. Ia mulai menarik benang merah dari kejadian-kejadian yang sudah dilaluinya. Termasuk juga kejadian di dalam mimpinya yang bertemu dengan Tarendra.

Jiwanya terdampar dalam tubuh Tarendra, sementara jiwa Tarendra masih mengambang entah di mana. Mungkin ketika semua urusan yang dimaksud Tarendra itu selesai, barulah mereka bisa kembali lagi dengan menempuh jalan masing-masing.

"Kita sudah sampai di rumah, sayang," ucap wanita paruh baya dengan penampilan yang bisa dikatakan modis.

"Biar Ayah yang bawa Nana ke kamarnya, ya? Ini sudah malam, kamu lekas istirahat saja." pinta lelaki paruh baya itu sambil menjulurkan tangan untuk mengambil alih bocah kecil dalam gendongan Janu.

"Saya saja. Tolong ditunjukkan saja kamarnya."

Percakapan ini terkesan sangat kaku jika dilakukan dalam sebuah keluarga. Mau bagaimana lagi? Jika terus-terusan bungkam, ini juga tidak baik. Jika banyak bertanya dan berceloteh, bisa menjadi ancaman untuk Janu sendiri.

"Ikuti Mama, ya?"

Janu mengekor di belakang wanita cantik dengan wajah yang super ramah itu. Sebisa mungkin mereka tidak menampakkan khawatir meski sang putra bertingkah di luar kewajaran.

Meski begitu, Janu sudah dua kali melihat wanita yang menyebut dirinya mama itu menengadah seperti menghalau supaya air matanya tidak jatuh.

"Tadi Arfa jagain kamu sampai Mama datang. Dia banyak cerita soal kejadian semalam. Tata jangan terlalu keras untuk mengingat semuanya, ya, Nak. Nggak apa-apa kalau memang butuh proses."

Wanita yang tadinya berjalan di depan Janu itu menghentikan langkahnya, berbalik, lalu merangkul lengan Janu dan mengajaknya berjalan beriringan. Dari ucapan sang mama, Janu mendapat satu nama tentang teman yang menungguinya pagi tadi.

"Ini kamar Nana," tunjuk sang mama sambil membuka pintu dengan ukiran nama Janardana. "Kalau yang itu, kamar kamu. Ingat?" Wanita itu menunjuk pada pintu kamar dengan ukiran nama Tarendra.

Janu menggeleng. Jelas saja, ia sama sekali tidak memiliki ingatan apapun tentang rumah keluarga Tarendra. Ini adalah dunianya yang baru. Bisa jadi selama beberapa waktu ke depan lembaran baru akan dijalaninya.

"Sini biar Mama yang taruh Nana ke kamarnya." Wanita itu mengambil si kecil dan masuk ke kamar dengan pintu bercat biru langit.

Lembaran baru seorang Janu dengan identitas Tarendra. Bukannya ia tidak mampu untuk mengatakan bahwa ia bukanlah putra sulung keluarga ini. Janu bisa saja mengatakannya secara gamblang, ini tubuh Tarendra, tetapi dengan jiwa yang bukan Tarendra.

Namun, ketika hal itu disampaikan, apakah mungkin mereka akan percaya? Yang ada ia akan dianggap gila. Bagaimana tidak? Hampir semua orang yang ditemui di tepi hutan mengenalinya sebagai Tarendra. Identitas yang ada juga milik Tarendra.

"Istirahat, Nak. Kalau butuh apa-apa, kamu cari Mama saja di kamar bawah. Atau nggak, telepon saja dari kamarmu, ya?"

Janu yang sedari tadi hanya berdiri sambil menatap pintu bertuliskan nama Tarendra menoleh lalu tersenyum. "Mama istirahat saja. Saya sudah baik-baik saja."

"Cepat sehat, sayang. Mama rindu sama Tata."

Jantung Janu seperti menciut ketika mendengar ucapan yang disertai dengan pelukan hangat. Sangat terasa jika wanita di hadapannya ini rindu pada Tarendra yang sebenarnya.

"Ta-Tata akan berusaha, Ma." Janu menelan ludah, tenggorokannya mendadak terasa sangat kering seperti tidak diairi dalam jangka waktu yang lama.

Kini berganti sebuah tangan menyentuh dan mengusapnya dengan sangat lembut.

"Yang ini masih terasa sakit?"

Janu mengangguk ketika wanita itu meraba bagian kepalanya yang benjol. "Sedikit, tapi nggak apa-apa."

"Kata dokter ada kemungkinan ini penyebab kamu lupa. Amnesia sebagian katanya, tapi itu bukan masalah besar. Nanti bisa balik lagi ingatannya."

Aku nggak lupa ingatan, kok. Cuma emang penghuni badan ini udah beda, Bu. Maaf, ya, spinjam badan anaknya dulu sampai urusanku selesai nanti, batin Janu

"Boleh Tata istirahat, Ma?"

Sang Mama mengangguk dan membukakan pintu kamarnya. Janu mulai membiasakan diri memanggil dirinya dengan sebutan Tata. Dan ya, tentunya mulai besok ia juga harus mulai mengenal kebiasaan keluarga barunya ini.

Begitu saklar lampu dinyalakan oleh sang mama, Janu langsung disuguhi pemandangan yang luar biasa. Hampir seluruh perabot dan pajangan didominasi wana abu-abu. Dari yang abu muda sampai abu tua.

"Ini kamar kamu, jadi nggak usah canggung. Istirahat, ya? Besok libur dulu nggak usah ke sekolah."

Wanita itu langsung keluar dan menutup pintu kamar. Tinggallah Janu termenung sendiri menatap setiap sudut kamar yang terbilang cukup rapi.

"Ta, maaf, aku mau acak-acak kamar kamu dulu. Nggak mungkin aku pakai badanmu, tapi nggak tau semua tentangmu. Dikira amnesia aja udah bikin canggung, Ta."

Janu bermonolog sambil berjalan mengelilingi isi kamar. Ia membuka dua pintu, satu pintu menuju balkon dan satu pintu lagi yang ternyata kamar mandi. Desain kamar yang ini tergolong minimalis, tetapi nyaman untuk ditinggali.

Tidak berhenti sampai di situ. Janu membuka setialp laci yang ada di meja. Di meja tempat lampu tidur berada, ia menemukan beberapa stok inhaler. Pada laci di bagian bawah, ia menemukan beberapa kertas dan buku harian.

"Ternyata kamu orangnya rapi dan bersih banget, Ta."

Lelaki dua puluh empat tahun itu beralih pada meja belajar yang tertata rapi. Di sana ada beberapa berkas pribadi dan sebuah foto terpajang di sana. Itu adalah sosok Tarendra dengan seorang bayi kecil dalam gendongannya.

Janu tersenyum melihat foto itu. Mendadak ia teringat pada keluarganya sendiri. Sosok adik perempuan yang sudah menginjak usia remaja. Ia juga teringat pada sang ayah dan ibu yang selalu mendukungnya selama ini.

Didikan keduanya memang keras, tetapi itulah yang membuahkan hasil sampai ia mendapat posisi dan gaji yang sangat membantu perekonomian keluarganya.

Sabar dulu, ya, semoga semua ini selesai. Maafin Janu yang belum bisa kasih bahagia. Maafin Janu yang belum bisa jadi kebanggaan. Janu janji akan selesaikan semuanya ini.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 05 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top