~ Asing ~


Aku seolah menghadapi semu.
Tidak berkutik ketika semua menjadi asing.
Ini diriku, tetapi bukan yang seperti biasanya.
Ini aku, tetapi bukan aku.

🍂🍂🍂

Bunyi rintik hujan yang menyapa dedaunan mulai terdengar. Suara berisik jutaan air yang menetes dari langit dan jatuh ke tanah mulai mengganggu pendengaran. Apalagi aroma tanah yang bercampur air mulai terasa menusuk hidung.

Nyanyian kodok dan beberapa serangga malam mulai bersahut-sahutan. Hal itu membuat manik mata yang terpejam mulai bergerak. Ia terusik, tetapi tidak juga sanggup membuka matanya dengan lebar.

Sosok yang tadinya telentang itu mencoba memiringkan tubuhnya. Terasa ada yang akar yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman. Sebagian tubuhnya dirasa sakit dan terasa nyeri jika digerakkan.

Setelah merasa kesadarannya kembali, ia membuka mata. Pemandangan redup khas sore hari disertai dengan tetesan air yang menerpa wajahnya membuat ia terbelalak dan langsung terbangun. Pergerakan secara mendadak itu langsung disesalinya.

"Shit!" umpatnya dengan keras.

Punggungnya terasa seperti habis dihantam balok. Ia lantas memundurkan tubuhnya dan bersandar pada batang pohon yang tinggi menjulang. Aroma batang pohon pinus langsung menyapa indera penciumannya.

Lelaki dengan celana jin dan kaos turtle neck berwarna abu-abu itu memejamkan matanya. Ia merasa dunia sedang berputar lebih keras. Mual dan pening langsung menghajarnya.

Kepalanya semakin pening ketika ingatannya mulai kembali. Ia ingat betul siapa yang terakhir kali dilihatnya. Ia juga ingat tempat apa yang dikunjungi semalam. Lalu, kenapa sekarang malah terdampar di tempat ini?

Tempat luas dengan pepohonan rindang yang didominasi pohon pinus. Intensitas hujan yang turun pun semakin deras. Belum lagi langit juga sudah mulai semakin gelap.

Bisa mati kedinginan kalau tetap di sini. Lagian kenapa juga bisa nyasar di sini, sih? Si Faza masa bawa aku ke sini? Kerjaan banget tuh anak, batin Janu sambil tak hentinya menghujat teman baiknya itu

Dengan susah payah lelaki dua puluh empat tahun itu mencoba berdiri dengan berpegang pada batang pohon. Meski kakinya yang berbalut sepatu gunung berwarna hitam terasa nyeri, ia tetap memaksa untuk menegakkan tubuhnya.

Beberapa kali Janu bergidik merasakan dingin yang menusuk di kulitnya. Otaknya masih berusaha untuk berbaik sangka dengan keadaanya kali ini. Meski berjuta tanya masih bergelayut.

Janu mulai pesimis ia bisa keluar dari hutan dengan keadaan baik-baik saja. Kakinya sudah mulai terasa lemas. Belum lagi tarikan napasnya yang lagi-lagi memberat, mengingatkannya pada kejadian semalam di diskotik.

Di antara rasa putus asa yang dominan, di kejauhan ia melihat titik putih bermunculan. Bersamaan dengan itu, terdengar orang berteriak menyebut satu nama yang tidak ia kenal.

"Tarendra!"

Suara teriakan yang dominan terdengar di telinga Janu sejak beberapa menit lalu itu seperti memberikan harapan untuknya.

"Pak Tata di mana?"

"Pak Tarendra!"

"Pak Tata, Bapak di mana?"

Suara-suara itu terasa semakin dekat dan semakin keras. Hal ini membuat Janu semakin bersemangat menuju ke arah kerumunan itu. Meski dengan langkah kaki yang diseret ia tetap berusaha untuk lebih cepat.

Salah satu sorot senter langsung mengenai wajahnya dan membuat ia berpaling karena cahaya itu langsung mengenai matanya. Kejadian yang tiba-tiba itu membuatnya sangat terkejut.

"Dari mana saja, Ta? Kita sudah cari ke mana-mana. Lo baik-baik saja 'kan? Ada yang luka? Ada yang sakit?"

Seseorang dengan jaket berbahan parasit dan sepatu gunung itu langsung memeluk dan memberondong beberapa pertanyaan sekaligus. Janu terdiam. Rasa kaget masih melingkupi dirinya.

Belum selesai rasa kagetnya, tiba-tiba segerombolan remaja juga langsung mendekat dan memeluknya dengan erat sambil menangis. Mendapat perlakuan seperti itu seketika membuat napas Janu tercekat.

"Se-sak," ujar Janu sambil berusaha untuk keluar dari pelukan para remaja seusia sang adik.

"Ta!" panggil seseorang berkumis tipis yang memeluk Janu tadi. "Minggir, minggir, lepasin dulu, ya? Nanti bisa ngobrol lagi. Pak Tata lagi butuh istirahat."

Situasi ini sangat tidak mengenakkan untuk Janu. Belum juga terselesaikan masalahnya, sudah ada masalah baru. Sejak tadi, orang-orang memanggilnya dengan nama orang lain.

Tata, siape? Aku Janu, bukan Tata, batinnya.

Namun, apalah daya. Janu hanya sanggup menggoyang-goyangkan tangannya dengan maksud menolak panggilan itu. Ia ingin berbicara, tetapi kerongkongannya seperti menyempit. Udara yang masuk ke paru-parunya juga terasa sangat sulit.

Bukannya bisa berbicara, ia malah menunduk karena sesaknya semakin menyiksa. Kerumunan akhirnya dibubarkan secara paksa. Mereka memberi jarak untuk Janu supaya bisa duduk terlebih dahulu.

"Ta, ikutin gue, ya? Tarik napas, buang. Tarik napas lagi, buang," ujar laki-laki yang menjadikan badannya sebagai sandaran untuk Janu.

"Nggak bi-sa. Su-sah ...," balas Janu dengan terbata-bata.

Terbiasa menghirup udara dengan lega, ketika sesak seperti ini Janu akhirnya tersadar bahwa bisa bernapas normal itu juga anugerah. Dari saking sakitnya, bahkan sudut mata Janu kini mulai basah.

"Woi! Inhaler, inhaler! Udah ada belum? Tadi siapa yang bawain?" teriak seseorang yang berjongkok di sebelah Janu.

"Sa-kit," ujar Janu sekali lagi dengan suara yang semakin pelan.

"Tahan dikit lagi. Mereka sudah datang, Ta. Tetap sadar Tarendra!"

Terdengar nada khawatir dari orang yang berbicara barusan. Hal ini membuat Janu semakin heran. Kenapa mereka semua terasa asing, bahkan tempatnya berada saat ini juga tidak ia kenali.

Dari kejauhan tampak seorang remaja laki-laki berlari bersama beberapa orang yang membawa tandu dan tas besar berwarna merah tua. Tanpa diperintah, mereka langsung memberikan jalan untuk memberikan pertolongan pada Janu.

"Lama banget. Inhaler-nya dulu sini."

Entah siapa yang berbicara kali ini Janu sudah tidak peduli lagi. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia memilih untuk menurut saja saat tubuhnya ditopang supaya bisa duduk dengan tegak. Kemudian, ketika diperintah untuk menghirup inhaler dan mengatupkan mulutnya ia melakukan dengan baik.

Janu ingin bertanya, tetapi ia masih terpaku pada isi kepalanya sendiri. Bahkan ingatan semalam menjadi kabur seperti mimpi untuknya. Belum lagi dengan tatapan orang-orang yang berdiri di sekilingnya.

Sorot mata yang khawatir dengan linangan air mata. Gestur badan yang menunjukkan kelegaan ketika ia membalas satu persatu mata yang menatapnya. Tepukan menenangkan yang menyapa punggung. Semua itu terasa asing, tetapi terasa hangat di waktu yang bersamaan.

"Sudah enakan?"

Pertanyaan lelaki yang menopang tubuhnya itu dibalas dengan anggukan oleh Janu. Ia mengusap wajahnya perlahan dan kembali menatap orang-orang yang mengelilinya. Mungkin ada satu atau dua wajah yang ia kenali.

Nihil. Tidak ada satu pun orang yang ia kenali.

"Kalian boleh kembali ke vila, biarkan kami yang urus sisanya. Beristirahatlah untuk malam ini karena besok kita akan kembali ke rumah."

"Pak, tandunya mau dipakai?" tanya salah satu tim kesehatan.

"Nggak usah, lagian dia nggak suka ditandu. Silakan kembali bersama anak-anak."

Setelah suasana sedikit sepi hanya tersisa tiga orang yaitu Janu bersama dua orang lelaki yang tidak ia kenal itu. Dengan wajah yang masih kebingungan, Janu dibantu berdiri oleh keduanya.

Janu berjalan diapit oleh kedua lelaki itu. Mereka memapah dan berjalan dengan sangat pelan. Bahkan belum beberapa langkah, salah seorang dari lelaki itu membuka jaket dan memakaikannya kepada Janu.

"Makasih, tapi kalian siapa?"

Suara Janu yang pelan itu sukses membuat kedua lelaki di sebelahnya menoleh dan saling beradu pandang penuh tanya.

"Nggak usah bercanda, Ta!"

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 03 Oktober 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top