Waktu Berpisah

Kini kaki ku telah berpijak pada hari yang indah. Mentari bersinar begitu terang. Tiada mendung di langit yang menghalanginya. Udara di komplek yang pernah aku tinggali ini pun rasanya tidak berubah. Tetap damai dan menenangkan.

Namun, peristiwa hari ini membuatku takut.

Hari ini dimana aku melepas seseorang yang berarti ku. Padahal aku sekarang sudah jarang bertemu dengannya.

Hari ini, dimana aku harus melupakan rasa indah kebersamaan dengan seseorang itu. Bila tidak dilupakan, aku akan menderita sendiri.

Hari ini, dimana aku tidak boleh terlambat karena dia sangat menunggu kehadiran ku. Padahal dia sudah tidak membutuhkan ku lagi. Dia akan pergi.

Hari ini, hari pernikahan adikku.

Duh, aku jadi tambah sebal karena lantai porselen koridor gedung favorit ku tidak sebersih dulu. Oh iya, dulu aku yang membersihkannya.

Hmm.

Benar juga. Yang dulu tidak akan sama dengan sekarang. Kecuali kau ingin semuanya tetap dan terhambat. Jika aku masih di sini, mungkin adikku tidak menikah. Dan mungkin dia tidak akan bahagia.

Langkah kaki ku terhenti. Mata ku tidak berkedip. Nafasku menjadi berat. Kini aku berada di depan ruang aula tempat adikku sah menjadi istri orang.

Aku menyerahkan undangan kepada penerima tamu. Dan memasuki ruangan yang sudah penuh akan manusia. Adikku yang sudah duduk di sisi calon suaminya menatapku lega. Sepertinya prosesi ijab kabul ini membutuhkan aku. Padahal aku bukan wali untuk adikku.

Aku tegang melihat calon suami adikku mengucapkan ijab kabul. Fyuh , syukurlah ia lancar melafalkannya. Ku lihat adikku menangis haru. Ia balas menatapku sambil tersenyum.

Setelah berdoa dan berfoto dengan buku nikah, kedua sejoli itu pun bersalam-salaman dengan para tamu. Aku sengaja mengambil barisan terakhir agar bisa berbincang dengan adikku. Rupanya kami sepemikiran, ia pindah ke deretan terakhir dan suaminya mengizinkannya.

"Hei teman lama," sapa suami adikku saat aku menyalaminya.

"Jaga adikku ya" kata ku.

Kemudian aku menyalami mertua adikku dan ayah tiriku. Ku genggam tangannya dengan erat. Ada perasaan tidak enak bagi ku untuknya.

Dan akhirnya, giliran adikku. Ia mencium tangan ku dan memelukku. Aku melihat air matanya mengalir deras.

"Can you stop the rain?" Aku mengeluarkan sapu tangan dan menghapus air matanya perlahan-lahan. "I miss the sunshine".

"Kau itu mentari penyemangat hidupku. Jangan menangis," aku mengecup keningnya.

"Ini hari pernikahan mu. Berbahagialah," kata ku.

"Nanti malam kau datang kan?" tanyanya.

"Tentu saja."

Aku pun pamit pergi bersama dengan tamu undangan yang lain.

***

Aku mengemas pakaian ku kembali dan merapikan kamar yang telah ku pakai selama dua hari ini. Setelah itu aku mandi kemudian memakai pakaian. Ku masukkan tiket kereta ke dalam saku tuxedo ku.

Aku menghela nafas sebelum mengunci pintu kamar losmen. "Selamat malam, nona" sapaku pada resepsionis.

"Hai! Cepat sekali kau pergi. Mudah-mudahan kau menikmati waktu mu, ya" katanya sambil menerima kunci yang ku beri.

Tas yang ku bawa tidak terlalu berat. Tapi tubuh ku yang lemas sehingga seakan malas untuk pergi.

Kerlap-kerlip cahaya di kebun bunga menghiasi mataku. Aku ingat tempat ini adalah labirin. Mungkin pemegang kunci labirin ini membuka semua dindingnya agar bisa di pakai sebagai tempat menggelar pesta.

Berbeda sekali. Kini ada air mancur marmer di tengah-tengah labirin yang menjelma menjadi kebun ini.

Adikku belum datang. Padahal kami berjanji akan berdansa di pesta ini. Aku yakin dia sedang bersiap. Sembari menunggu, aku menyantap hidangan yang sudah disediakan. Toh mereka sudah mempersilahkan.

Sup labu dan roti bawang menjadi sasaran ku. Aku butuh kehangatan di perut. Setelah habis hidanganku, barulah sepasang pengantin baru itu datang. Mereka sudah bak raja dan ratu. Adikku memakai gaun terusan berwarna krem yang mewah. Aku menyadari bahwa adikku tidak memakai banyak make-up. Dia memang cantik dan pantas menjadi ratu.

Aku bahagia melihatnya. Dulu aku tidak bisa membelikan pakaian sebagus itu. Auranya sangat terpancar sekarang. Dulu ia minder, takut hanya menjadi bayangan ku. Padahal aku tidak pernah ingin menghalanginya.

Pembawa acara mempersilahkan pasangan itu berdansa. Raja dan ratu itu pun mulai melangkah ke lantai dansa. Diikuti dengan para undangan.

Ku lihat adikku begitu bahagia. Gerakannya anggun dan energik. Sangat serasi dengan suaminya. Ah, tidak salah aku merestui mereka.

Tak berapa lama, alunan musik berubah. Sepertinya slow dance akan di mulai. Adikku kini sendirian di lantai dansa. Tanpa menunggu lagi, aku mendekatinya. Rupanya ia memang menunggu ku.

Kami pun berdansa. Adikku menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku juga menyandar padanya. Sesekali mencium keningnya.

"Selamat," kataku pelan.

"Jangan bilang begitu," balasnya. "Aku sedih atas perpisahan kita."

"Aku hanya kakak tiri mu. Dan dia suami mu."

"Jangan pernah bilang begitu" katanya. Ia mengangkat kepalanya. Ia menangis.

Aku menghapus air matanya. "Dengar, aku tidak ingin kau menangis. Apalagi karena aku. Ini hari bahagia mu. "

"Ayo kita kembali" . Aku membawanya ke tepi. Adik ipar ku sudah menunggu kami. "Aku harus pergi ke stasiun sekarang."

"Tidak perlu diantar?" tanya adik ipar ku.

Aku menggeleng. "Kalian harus tetap disini. Toh aku sudah pesan taksi.

Setelah berpamitan dengan seluruh anggota keluarga, aku pun melangkahkan kaki keluar dari kebun.

Aku tidak kuat.

Air mataku meleleh. Ini hari bahagianya. Mengapa dia terus menangis di dekat ku? Apakah aku pembawa sial?

Aku melakukan semua yang ku bisa selama ini. Membawanya pergi dari rumah terbengkalai itu ke sekolah asrama adalah ide ku. Dia bersinar saat itu. Tapi redup lagi karena aku.

Ah, aku ini memang menyebalkan.

Dari jendela kereta disel ini aku dapat melihat malam yang cerah. Waktunya berpisah dengan masa lalu. Kini masa depan adalah milik masing-masing.

Tuhan, jangan Engkau biarkan kabut menghantui dia lagi. Dimalam yang cerah ini, semoga ia bisa terus bersinar seperti dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top