18 • Menunggu Mukzizat

🍬🍬 ------------------------------
𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒅𝒐𝒆𝒔𝒏❜𝒕 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒏 𝒂𝒏𝒅 𝒆𝒏𝒅 𝒕𝒉𝒆 𝒘𝒂𝒚 𝒘𝒆 𝒔𝒆𝒆𝒎 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒊𝒏𝒌 𝒊𝒕 𝒅𝒐𝒆𝒔. 𝑳𝒐𝒗𝒆 𝒊𝒔 𝒂 𝒃𝒂𝒕𝒕𝒍𝒆, 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒊𝒔 𝒂 𝒘𝒂𝒓, 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒊𝒔 𝒂 𝒈𝒓𝒐𝒘𝒊𝒏𝒈 𝒖𝒑
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --

مرنتىن نىاكار

KALIMAT istigfar tercipta di bibir Hafizh setelah Hanif menceritakan semua kondisi terakhir adik bungsu mereka. Berulang kali Hafizh terlihat mengusap muka dan menjauh dari keluarganya yang sedang berbahagia atas pernikahan Ayya dan Aftab yang telah diresmikan di KJRI Perth. Dia begitu menjaga jangan sampai Ibnu dan Qiyya tahu akan hal itu.

"Kalau menurutku, biar kita dulu yang tahu, Mas. Kamu tahu sendiri bagaimana Daddy. Beliau pasti nggak akan tinggal diam. Bisa jadi Daddy dan Bunda langsung berangkat ke London sekarang. Padahal masih harus mengurus Mbak Ayya di sini," kata Hafizh.

"Ya sudah, aku hanya ingin memberitahu itu. Tolong bantu doa untuk kesembuhan adik kita, jaga baik-baik Daddy dan Bunda," kata Hanif.

"Mas Hanif harus sehat, kalau ada apa-apa tolong kabari aku segera," pinta Hafizh.

"Ya, aku kirimkan nomer telepon Revan, sahabat Dik Hawwaiz yang bisa kamu hubungi juga. Dia yang menemaniku di sini." Tutup Hanif sebelum sambungan telepon mereka terputus.

Hanif harus bisa menyelesaikan semua urusannya di London juga merawat adiknya yang kini sedang terbaring koma di ICU. Dokter telah memastikan bahwa Hawwaiz menderita Steven Jhonson Syndrome yang akan berdampak pada saraf sensorik ke otak yang akan mempengaruhi kekebalan tubuh selanjutnya.

Bukan hal yang sulit bagi Hanif untuk mempelajari hal baru yang akan menjungjang pekerjaannya sebagai ahli bedah. Namun, ketika pikirannya bercabang tentu saja dia tidak bisa sepenuhnya fokus di dalam kelas. Hingga sejawat dari Indonesia menegurnya saat Hanif terlihat melamun ketika pelajaran sedang berlangsung.

"Nif, kamu ngapain sih, aku perhatikan dari awal kelas kita, nggak nyaman di kelas. Lagi ada masalah?" kata Irish.

"Entahlah, Rish. Rasanya aku ingin menjadi amuba agar bisa membelah diri. Jadi satu sisi tetap berada di kelas, satu sisi aku bisa menemani Hawwaiz," jawab Hanif lirih.

Irish mengerutkan keningnya. Dia masih berusaha mencerna pernyataan yang baru saja Hanif ucapkan.

"Hawwaiz memangnya kenapa?" Irish kembali berbisik.

Helaan napas frustrasi diembuskan Hanif sebagai ungkapan perasaannya. Dia menuliskan sesuatu di kertas kosong yang bisa dibaca Irish untuk menjelaskan bagaimana kondisi Hawwaiz sekarang.

"Astagfirullah, Hanif—" Irish tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena dia sangat paham seperti apa yang kini sedang dirasakan sahabatnya itu.

"Kamu nggak sendiri, Nif. Ada aku, dua hari lagi Mas Zian sampai di London. Kami juga keluarga kalian, kita akan lewati semua ini bersama-sama," kata Irish.

Hanif mengangguk dan mencoba kembali fokus dengan apa yang ada di hadapannya, meski sangat sulit dilakukan. Pikirannya masih terpaku pada Hawwaiz di ICU.

Di tempat yang berbeda, kekhawatiran Revan pun tidak jauh berbeda dengan Hanif. Meskipun dia bisa menunggu di dekat ruang ICU, tapi tetap saja dokter belum memberikan informasi tentang perbaikan kondisi sahabatnya. Sampai dengan Hanif menyelesaikan kelasnya dan berjalan menghampiri Revan bersama Irish, Revan masih duduk termenung sampai tidak menyadari keduanya telah berdiri di sebelahnya.

"Kamu sudah boleh masuk ke ruangan, Van?" tanya Hanif.

Revan berjingkat karena kaget. Baru saja dia akan menjawabnya, Dokter Asher medekat untuk bicara dengan Hanif.

"Kamu mau ikut, Rish?" tanya Hanif.

Anggukan kepala Irish akhirnya menjadi keputusan ke mana langkah keduanya. Revan pun kemudian memilih mengikuti langkah Hanif dan Irish yang telah lebih dulu bersama Dokter Asher ke ruangannya.

Ketiga pasang telinga itu mendengarkan penjelasan Dokter Asher dengan sangat teliti. Beberapa pertanyaan disampaikan Hanif dan Irish secara bergantian agar mereka mendapatkan kejelasan seperti apa Hawwaiz berjuang melawan penyakitnya.

Dokter Asher menyampaikan bahwa kondisi Hawwaiz benar-benar sangat buruk. Dia bahkan begitu khawatir calon dokter itu tidak bisa melewati masa kritisnya.

"We have tried well, Doctor Hanif, but the power is not in our hands," kata Dokter Asher.

"Does it mean you are giving up, Doctor?" tanya Hanif.

"Is there an alternative hospital that is more representative of this hospital?" tambah Irish.

Hanif menatap Irish sesaat kemudian menggelengkan kepalanya. Rasanya Ormond Hospital sudah sangat representatif sebagai tempat menyembuhkan Hawwaiz dari sakitnya.

"Tapi Nif, aku nggak yakin—" tutur Irish lirih.

"Masalahnya kalaupun kita bisa pindahkan, lalu siapa yang bisa mengawasi. Semua kegiatan kita ada di Ormond Hospital. So ...?" Hanif menggelengkan kepala.

Irish mengerti, dia juga setuju jika ujung dari keputusan yang diambil Hanif adalah memudahkan menjalankan tugasnya dan merawat Hawwaiz dengan baik. Akhirnya mereka kembali fokus pada percakapan mereka dengan Dokter Asher.

"Then what should we do, Doctor?" kata Irish.

"We, the team of doctors treating Hawwaiz, will continue to do our best. However, apart from that, we really hope that the family can accept it if something bad happens to Hawwaiz. Let's leave it all to God's miracle."

Kalimat panjang yang merenggut hampir seluruh tenaga Hanif untuk bisa berdiri tegak setelah itu. Kenyataannya, hal paling berat dilakukan adalah ikhlas untuk sebuah kehilangan yang sebenarnya atas orang-orang yang dicintai dan saling menyayangi.

☼☼

Di lain sisi, Vira masih berdebat dengan Arfan tentang rencana lamaran resmi keluarga Heffry untuknya ketika Arfan menginap di flatnya.

"Untuk apa sih, Pi? Adik sudah bilang ke Mas Heffry kalau kami nggak mungkin bersama," kata Vira.

"Apalagi yang membuatmu ragu untuk menerimanya? Hawwaiz?" Arfan tersenyum miring.

"Pi, please. Adik belum bisa berkomunikasi dengan Bilal. Kenapa sih Pipi maksa banget supaya Adik nikah dengan Mas Heffry?" Vira menghela napas panjang.

Arfan terlihat tertawa lebar mendengar pengakuan putrinya. Ketiadaan komunikasi antara Vira dan Hawwaiz justru semakin membuatnya lebih mudah memprovokasi hati putrinya untuk bersedia menerima Heffry sebagai suaminya.

"Kalau dia benar-benar mencintaimu, harusnya dia tetap berjuang dong. Membuktikan pada Pipi dan Mimi bahwa kamu berhak diperjuangkan."

"Oh, Pipi lupa, kalau Pipi sendiri yang meminta Bilal untuk menjaga sikapnya dan nggak menghubungi Adik lagi?" protes Vira.

"Lah itu kamu tahu sendiri, kenapa masih protes kalau sekarang Hawwaiz nggak menghubungi kamu?" tanya Arfan.

Vira berdeceh. Susah bicara dengan nada rendah dengan pipinya sekarang. Semua keinginan Vira selalu bertolak belakang dengan kemauan Arfan.

"Pipi memang egois," desis Vira.

"Lalu apa julukan yang pas ketika Pipi harus menyerahkan putri kesayangan Pipi pada pria yang mencoba menodai putrinya?" tanya Arfan geram.

Vira memilih tidak memberikan jawaban. Karena seperti biasa, jika dia berkata satu kalimat, Arfan akan menentangnya dengan dua atau tiga kalimat yang akan menyudutkan Hawwaiz.

"Bukankah itu telah kita anggap selesai, Pi? Bilal juga telah meminta maaf pada Pipi. Allah saja maha pemaaf mengapa manusia begitu sombongnya—"

"Jangan mengajari orang tua tentang kehidupan dan bagaimana harus bersikap, putriku. Pipi akan tetap memaafkannya, tapi dengan syarat."

Vira memutar bola matanya. Terlalu banyak syarat yang diajukan Arfan untuk Hawwaiz agar kejadian itu tidak diungkit ke permukaan lagi.

"Menikahlah dengan Heffry, maka Pipi akan melupakan dan memaafkan Hawwaiz," mohon Arfan.

Persyaratan konyol yang menurut Vira hanya akan memberatkan salah satu pihak.

"Kalau Hawwaiz mencintaimu, dia pasti akan mengerti. Karena titik tertinggi mencintai itu adalah mengikhlaskan orang yang dicintai bahagia dengan pilihannya."

"Tapi maaf. Adik nggak akan bisa bahagia hidup dengan Mas Heffry, karena Adik nggak mencintainya."

"Pilihan ada di tanganmu. Pipi juga nggak akan memaksa, tapi selamanya Pipi nggak akan pernah setuju kalau kamu dan Hawwaiz menikah," pungkas Arfan.

Frustrasi, kata pertama yang membuat Vira ingin berteriak saat itu juga. Namun, dia masih cukup waras. Sebagai anak tidak boleh berkata lebih kasar dari yang telah mereka perdebatkan sebelumnya. Jika api dibalas dengan api maka kobarannya akan semakin membara.

Vira menangis dalam diamnya. Hanya air mata yang menjadi saksi bagaimana remuknya perasaan Vira saat ini.

Bi, demi Allah aku butuh kamu untuk menguatkan hati. Kamu di mana sekarang? Mengapa semua pesan dan teleponku nggak pernah kamu balas satu pun? Apakah sudah tidak ada kemungkinan janji kita itu dipersatukan? Vira meratap dalam hatinya.

Otaknya masih terus berputar bagaimana Vira tetap setia pada janji tanpa harus menyakiti hati orang tuanya. Namun, gadis itu hafal sekali bagaimana Arfan. Pipinya itu akan sulit sekali berubah haluan jika telah memiliki keputusan apalagi unuk orang yang berada di pihak yang salah.

Tak pantang menyerah jika tidak berhasil bernegosiasi dengan pipinya, Vira memilih jalur langit untuk mengakui dosa dan menyerahkan semua inginnya pada yang mahakuasa. Vira menggelar kembali sajadahnya. Kepada siapa lagi dia harus mengadukan kegundahan hatinya?

"Allah, hamba tahu, hamba adalah salah satu manusia naif yang masih terus meminta pertolongan-Mu setelah berbuat salah. Tunjukkan kuasa-Mu yang bisa hamba jadikan sebagai pegangan hidup dan menentukan pilihan." Vira bermunajat dengan bersimbah air mata dalam hajatnya.

Entah apa yang telah Allah tulis sebagai jalan takdirnya. Namun, satu keyakinan Vira bahwa yang terlihat baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah dan ketentuan Allah adalah takdir terbaik yang harus dijalaninya.

"Hamba pasrahkan semuanya di tangan-Mu, Ya Rabb." Vira mengusapkan kedua telapak tangan utuk mengakhirkan doa setelah kata amin terucap.

Sementara itu, Hanif termangu membaca beberapa pesan yang sengaja dia buka di gawai adiknya. Ada puluhan pesan belum terbaca termasuk dari Daddy mereka. Sambil bergumam mengucapkan kata maaf, Hanif membalas pesan Ibnu melalui gawai adiknya supaya tidak membuatnya khawatir. Dengan bahasa yang biasa digunakan Hawwaiz untuk berbincang dengan Daddy mereka, Hanif menempatkan dirinya sebagai si bungsu dan memberikan alasan mengapa mengabaikan panggilannya tanpa memberitahukan bahwa dia adalah Hanif.

Setelahnya, Hanif pun membuka puluhan pesan yang dikirimkan Vira pada sang adik. Tampak beberapa kali kening Hanif mengkerut lalu menatap adiknya yang masih terbaring lemah dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya.

"Allah, jika ini cara-Mu untuk mengangkat derajat adikku, maka kami ikhlas menerima cobaan ini. Namun, jika ini adalah saatnya Hawwaiz kami harus kembali kepada-Mu, maka jangan membuatnya tersiksa di akhir hayatnya, Ya Rabb."

Hanif mengucek kembali matanya. Air mata yang sedari tadi ditahan kini jatuh juga. Terlalu berat jika harus berterus terang, tapi hidup pasti akan sampai pada ujungnya. Dan jika waktu telah meminta Hawwaiz mendekat kepada Tuhan mereka saat itu maka manusia tidak akan bisa menolah kuasa-Nya.

"Dik, Mas tahu kamu orang yang kuat. Mas juga tahu kamu nggak ingin menyusahkan orang lain. Namun, kali ini Mas minta, bagilah sedikit rasa sakitmu pada kami supaya kamu nggak merasa sendiri." Hanif menatap Hawwaiz dengan deraian air mata.

Sang adik masih bergeming. Hawwaiz masihmenutup matanya dengan rapat. Sesekali Hanif melihat pada layar monitor yang menunjukkan beberapa indikator yang masih belum menunjukkan Hawwaiz melewati masa kritisnya.

"Mas Hanif, Mas Hanif istirahat saja. Biar aku yang nunggu Hawwaiz. Nanti kalau ada dokter atau perlu apa-apa aku akan bangunkan Mas Hanif." Revan mengulurkan tangannya menyentuh lengan Hanif.

Sejak Dokter Asher mengatakan bahwa kondisi Hawwaiz tidak kunjung stabil, dia mengizinkan keluarga pasien untuk menemani di ICU secara bergantian. Hanif mengangguk lemah, dia memang butuh istirahat setelah hampir dua puluh jam terjaga.

Hanif lalu menatap Revan dalam-dalam. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap pundak Revan perlahan.

"Titip Dik Hawwaiz sebentar, Revan. Kalau butuh apa-apa telepon saja," kata Hanif dengan suara berat.

Revan mengangguk perlahan. Entah rencana apa yang telah disiapkan Allah untuk sahabatnya. Pemuda itu memilih menyuarakan khalam-khalam Allah di samping Hawwaiz seperti biasanya. Sampai satu surah panjang terselesaikan, Hawwaiz masih tetap diam menutup mata.

"Aku tahu Allah sangat menyayangimu, Iz. Itu sebabnya Dia memintamu bertakwa dengan memberi ujian kesabaran yang luar biasa," kata Revan.

Sepertinya menunggu keajaiban adalah hal paling mutlak yang bisa dilakukan. Seiring dengan kekuatan doa yang akan selalu terlantunkan, berharap Hawwaiz segera mendapatkan kesembuhan. Revan membisikkan doa-doa penjagaan dan keselamatan di dekat telinga kanan dan kiri Hawwaiz sebelum seorang perawat datang untuk mengganti infusnya.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 30 Agustus 2021
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top