17 • Mencoba Bicara

🍬🍬 ------------------------------
𝓫𝓮𝓬𝓪𝓾𝓼𝓮 𝓱𝓸𝓵𝓭𝓲𝓷𝓰 𝓸𝓷, 𝓯𝓲𝓰𝓱𝓽𝓲𝓷𝓰 𝓯𝓸𝓻, 𝓪𝓷𝓭 𝓴𝓮𝓮𝓹 𝔀𝓪𝓲𝓽𝓲𝓷𝓰 𝓪𝓻𝓮 𝓮𝓿𝓲𝓭𝓮𝓷𝓬𝓮 𝓸𝓯 𝓼𝓸𝓶𝓮𝓸𝓷𝓮 𝔀𝓱𝓸 𝓲𝓼 𝓼𝓮𝓻𝓲𝓸𝓾𝓼 𝓪𝓫𝓸𝓾𝓽 𝓻𝓮𝓵𝓪𝓽𝓲𝓸𝓷𝓼𝓱𝓲𝓹, 𝔀𝓲𝓽𝓱 𝓽𝓱𝓮 𝓹𝓮𝓻𝓼𝓸𝓷 𝓱𝓮 𝓸𝓻 𝓼𝓱𝓮 𝓵𝓸𝓿𝓮𝓼
------------------------------ 🍬🍬

Bintang-bintang-bintang 🙄🥴

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

AMARAH yang menguasai hati Vira masih meletup dengan sempurna. Dia masih tidak menyangka bahwa sponsor utama terjadinya lamaran Heffry di depan Hawwaiz adalah sang pipi. Bibir Vira masih melayangkan protesnya ketika wajah Arfan muncul di samping Kania.

Ibu dua anak itu sedang menasihati putrinya, tapi Arfan memilih mengambil alih gawai sehingga komando beralih darinya. Namun, Vira justru ingin memutuskan sambungan video mereka. Sayangnya Arfan berhasil menghalaunya.

"Mengapa menghindari Pipi kalau kamu tidak merasa bersalah?" tanya Arfan.

"Ini bukan masalah salah atau benar, Pi, tapi kenapa Pipi harus memaksakan sesuatu yang sudah bisa dipastikan nggak bisa dilakukan?" jawab Vira.

"Sudah dipastikan?" Arfan menatap wajah putrinya tajam. "Ingat, Dik. Kita ini hanya manusia, bukan Tuhan yang bisa memastikan segala sesuatu bahkan sebelum kita dilahirkan ke dunia."

"Pi, please, Adik nggak suka dengan sikap Pipi yang ini," tolak Vira.

"Apa yang membuat kamu nggak suka? Apa Heffry bersikap nggak sopan sama kamu? Apa Heffry pernah merendahkan martabatmu sebagai wanita?" cecer Arfan.

"Stop it, Pi!" bantah Vira.

"Apa Heffry pernah mengambil sesuatu darimu sebelum menjadi haknya, Vira?!" Jika Arfan telah memanggil nama pada putrinya, itu artinya kemarahannya telah meletup.

Jika sudah seperti ini, kesalahan terbesar pasti akan bertumpu pada kecelakaan malam itu bersama Hawwaiz. Dan di mata Arfan tidak ada orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu kecuali Hawwaiz. Padahal Vira telah berulang kali mengakui dialah sebagai penyebab Hawwaiz melakukan itu padanya.

"Kamu tahu pasti apa yang membuat Pipi tidak respect lagi pada sikap Hawwaiz. Om Ibnu dan Tante Qiyya akan selamanya menjadi besan Pipi dan Mimi karena Kak Aftab dan Ayya telah menikah, tapi kalian?" Arfan mendesah kasar.

Bibir Vira yang semula ingin menyangkal kini hanya menganga tanpa suara. Dia enggan berdebat dengan pipinya yang pasti akan berujung pada pertengkaran tanpa adanya solusi.

"Adik tetap mencintai Bilal, Pi."

Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada kesempurnaan di dunia ini, jika mungkin itu ada cintanya pada Hawwaiz yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Vira tidak ingin menggantikannya dengan lelaki mana pun andai orang tuanya tetap tidak memberikan restu.

"Cinta? Adik, cinta tidak selamanya indah," ejek Arfan layaknya sound viral di beberapa aplikasi media sosial.

"Pi, come on. Adik serius ini." Vira memilih menantang tatapan tajam pipinya.

Dehaman Arfan mengembalikan suasana serius kembali.

"Sebenarnya hal menarik apa yang membuatmu tetap menatap pria yang hampir merenggut mahkota yang selalu Pipi jaga dengan tatapan memuja seperti itu?" tanya Arfan.

"Pi, demi Allah itu bukan salah Bilal. Adik yang memulainya. Tolong Pipi jangan memutarbalikkan fakta," bela Vira.

"Dan Pipi harus percaya pada wanita yang memuja cinta sebelum halal?" Arfan tersenyum masam.

Pertanyaan retorik yang seketika membuat Vira bungkam. Bukan hanya sekali atau dua kali. Perdebatan tentang kecelakaan yang sesungguhnya membuat Vira menjadi malu itu tidak akan berakhir sampai di situ jika dia tidak berusaha menyudahinya.

"Sudahlah, Pi. Nggak akan ada habisnya kalau bahas itu." Vira mencoba untuk menghindarinya, tapi Arfan justru tersenyum jumawa karena putrinya sudah terlihat frustrasi menghadapinya.

"Bagus, kalau kamu ingin cepat selesai maka Pipi akan menyiapkan semuanya. Kamu dan Heffry hanya tinggal datang, duduk lalu kalian sah menjadi suami istri," jawab Arfan.

Vira berdeceh. Dia sudah tidak mau lagi berdebat dengan pipinya tentang lamaran dan pernikahan yang sama sekali tidak pernah ada dalam wishlist hidupnya bersama dengan Altezar Heffry. Sejauh ini Vira hanya kagum dan menghormati pria itu sebagai atasannya di kantor, tidak pernah lebih.

"Kalau tidak salah Hawwaiz juga masih harus menyelesaikan kuliahnya, kan?" tanya Arfan.

Vira mendesah. Dia juga tidak terburu-buru ingin menikah. Lalu masalahnya di mana?

"Usiamu juga tidak bergerak mundur tapi selalu maju menggilas usia. Wanita itu ada masa produktifnya, meski semua terjadi atas izin Allah, tapi bukankah lebih baik menyegerakan sesuatu yang memang sudah ada di depan mata?" Arfan kembali memberikan nasihat.

Melihat semua teman-teman Vira sudah mulai membina rumah tangga, dia pun juga berharap putrinya segera mendapatkan pendamping. Bukan masalah tidak bisa menahan, tapi sebagai seorang ayah dia justru semakin takut membiarkan putrinya sendiri hidup jauh dari jangkauannya. Bayangan ketakutan itu muncul manakala Arfan tahu sekarang Hawwaiz berada di kota yang sama untuk melaksanakan program clerkshipnya. Jika Arfan tidak segera mengambil tindakan, bukan tidak mungkin kejadian kemarin yang menimpa putrinya akan terulang lagi.

"Yang jelas kalaupun ada pernikahan, itu hanya akan terjadi jika Adik menikah dengan Hawwaiz. Tidak dengan yang lain," tolak Vira mentah-mentah.

"Tapi hak untuk menjadi wali nikahmu tetap sama Pipi, anak cantik. Jangan lupakan itu."

Semakin kesal dengan kalimat yang diucapkan Arfan, Vira memilih menutup panggilan video itu tanpa salam. Dia ingin menjerit dan menangis di waktu yang bersamaan.

Kembali mengabaikan janji, Vira mencoba menghubungi Hawwaiz. Namun, yang ada panggilan suara itu hanya terdengar nada sambung tanpa ada suara dari pria yang kini sangat dirindukannya.

"Kamu ke mana, Bi. Dari kemarin aku mencoba menghubungimu, tapi nggak sekalipun kamu mengangkat telepon dariku. Kamu jangan salah sangka. Aku ingin menjelaskan semuanya—" Vira menggigit bibir bawahnya. Air matanya menggenang, tapi tak lama kemudian dia memilih untuk menumpahkan semuanya.

Di meja kerjanya, Vira menatap kembali foto Hawwaiz. Senyuman yang selalu membangkitkan semangatnya haruskah menghilang hanya karena kesalahpahaman yang harusnya tidak perlu terjadi?

"Vir, gue mo balik Indo nih. Dapat tugas dadakan ke Jakarta, lu ada nitip nggak buat keluarga?" Regita tiba-tiba menyapa Vira yang masih basah air mata di pipinya.

"Lho, Vir?" Regita menarik sebuah kursi lalu duduk di samping Vira.

Jika dalam tangan Vira masih ada figura foto Hawwaiz, Regita yakin bahwa air mata yang ada di pipi teman sekantornya ini mengalir atas nama Hawwaiz.

"Ada sesuatu dengan Hawwaiz?" tanya Regita.

Vira langsung mengusap air mata yang masih tertinggal di pipinya dengan kasar. Keningnya berkerut. Selama ini dia tidak pernah sekalipun menceritakan perihal Hawwaiz kepada teman-temannya. Bahkan Vira tidak pernah menyebutkan namanya. Namun, Regita dengan jelas melafazkan nama itu seolah-olah dia mengenal Hawwaiz dengan baik.

"Kamu mengenal Hawwaiz, Git?" tanya Vira menyelidik.

Senyuman Regita bersamaan dengan gerakan tangannya yang menepuk pundak Vira dengan lembut.

"Satu hal yang harus lu tahu, Vir. Hawwaiz mencintai lu dengan caranya. Melindungi lu dan memastikan lu baik-baik saja di sini tanpa perlu lu tahu." Bibir Regita bergerak ringan.

"Sejauh apa kamu mengenalnya?" Tatapan mata Vira mulai berubah.

Nada tidak suka dan sulutan api cemburu terlihat nyata, tapi Regita menanggapinya dengan biasa.

"Gue nggak terlalu kenal sih, kami hanya sekali ketemu di Oxford. Namun, dari sana gue tahu kalau dia benar-benar ingin yang terbaik buat lu." Regita berdiri. Dia tidak ingin Vira semakin menginterogasinya.

Tiba-tiba Vira mengingat bayangan Clara. Entahlah, kini dia mulai menyadari bahwa dari segi tampilan Clara yang serupa dengan Regita, rasanya mustahil bagi Hawwaiz untuk menyukainya. Karena dia paham sekali wanita seperti apa yang pria itu inginkan.

"Sori, Git, tunggu." Vira meraih lengan Gita dengan cepat untuk menghentikan langkahnya.

"Sori kalau aku terkesan lancang dan nggak sopan. Apa kamu yang memberitahukan tentang Sam's Riverside Resto pada Hawwaiz?"

Regita mendesah kasar. Teman kantornya ini memang terlalu lugu untuk membaca keinginan seseorang. Tanpa perlu diceritakan, satu kantor juga tahu jika pimpinan mereka memberikan perhatian yang lebih pada Vira. Namun, sepertinya gadis itu seolah tutup mata dan enggan memberikan batas yang tegas bahwa dia telah menyimpan nama orang lain di hatinya.

"Hawwaiz berhak tahu tentang itu, kan?" kata Regita tanpa perlu menjawab pertanyaan Vira sebelumnya.

"Berarti benar kamu orangnya. Apakah kamu juga tahu sekarang Hawwaiz di mana?"

Regita kini yang justru memicing tak percaya. Harusnya Vira yang lebih tahu tentang Hawwaiz mengapa justru dia yang bertanya.

"Lu tanya pada orang yang salah, Vir," jawab Regita.

"Please, aku sudah menghubunginya untuk menjelaskan semuanya. Namun, Hawwaiz nggak mau mengangkat telepon dariku. Dia juga nggak balas pesanku."

Puppy eyes yang ditampakkan Vira membuat hati Regita terenyuh. Tangannya kemudian tergerak untuk menekan nomor telepon Revan dan menanyakan keberadaan Hawwaiz, tapi sama seperti yang Vira alami. Revan pun tidak bersedia menerima panggilannya.

Regita menunjukkan gawainya pada Vira setelah dia gagal mencoba telepon Revan berkali-kali.

"Revan juga nggak angkat telepon gue," kata Regita.

Dari sana Vira tahu, Regita mengenal Hawwaiz dari Revan. Ada rasa sedikit lega meski rasa penasaran tentang Hawwaiz tidak pernah hilang.

"Sori, Vir, kalau gue ngomong gini, tapi buat hati lu nggak nyaman. Kalau lu emang cinta ama Hawwaiz, mending lu nggak deket-deket dengan Pak Heffry. Dia emang baik sih, tapi gue ngerasa itu nggak baik buat hubungan lu dan Hawwaiz."

Vira mengangguk setuju. Dia juga sangat tahu akan hal itu. Namun, ada sisi lain yang tidak mungkin dia ceritakan pada orang lain yaitu tentang Arfan Aldebaran yang kini justru berpihak pada Heffry untuk semakin mendekatinya.

Sementara di rumah sakit, Hawwaiz masih belum ada perubahan yang signifikan. Hanya Revan yang selalu ada di sisinya karena Hanif juga harus belajar sesuai dengan penugasannya.

"Kamu ingin apa?" tanya Revan ketika jam besuk membolehkannya bisa langsung bersinggungan dengan Hawwaiz.

"Kata Mas Hanif, kamu harus semangat untuk sembuh." Revan mengusap tangan Hawwaiz yang masih aman untuk dipegang.

"Kuncinya memang harus sabar, cobaan dari-Nya yang insyaAllah akan menghapus dosa-dosa kita."

Kalimat bijaksana yang keluar dari bibir Revan justru membuat air mata Hawwaiz mengalir. Mengingat semua dosa yang pernah dilakukan, rasanya memang sangat pantas jika Allah mencubitnya sedikit keras dengan penyakit yang kini dia derita.

Aku pasrah dengan apa yang akan Allah tulis, Rev. Jika Allah memanggilku sekarang pun harusnya aku siap dan sebisa mungkin aku mempertanggungjawabkan apa yang pernah aku perbuat kepada Daddy, Bunda dan tentunya pada Vira. Hawwaiz hanya bisa menjawabnya dalam hati. Bibirnya masih sulit bergerak untuk bersuara. Panas dan nyeri di sekujur tubuhnya juga sangat mempengaruhi emosi.

Revan pun berusaha memahami hanya melalui isyarat mata yang ditunjukkan oleh Hawwaiz. Setelah menghapus lelehan air mata sahabatnya, Revan memilih menceritakan hal yang bisa membuat Hawwaiz tersenyum kembali. Demikian sampai jam besuk berakhir dan Revan harus kembali meninggalkan sahabatnya supaya bisa beristirahat dengan tenang bersama perawat dan paramedis yang bertugas.

"Hawwaiz's consciousness has improved, although not completely. When do you think he can be transferred to a regular ward?" Revan menemui Dokter Asher setelah dia keluar dari ICU.

"Not yet, we are still evaluating it, the ICU is the best place for patients at this time."

"Sorry, Doctor, I think Hawwaiz needs someone to talk to even though he still can't do it at the moment. At least we are, his family can always be by his side."

"Be patient, that time will come."

Dokter Asher menepuk pundak Revan. Dia tidak ingin salah mengambil keputusan. Hawwaiz menderita penyakit langka dan dia harus benar-benar memastikan keadaannya untuk bisa mengobati dengan baik.

Tak lama dari itu, Hanif tiba-tiba muncul di hadapan Revan yang sedang frustrasi memikirkan sahabatnya. Melihat wajah semrawut yang ditunjukkan oleh Revan, Hanif mencoba untuk membaca sekilas yang akhirnya membuatnya bertanya.

"Ada masalah dengan Hawwaiz, Rev?"

Revan hanya menggeleng lemah. Tidak tahu harus berkata apa. Dia yakin kakak sahabatnya ini mengerti karena Dokter Asher pasti sudah menceritakan kondisi Hawwaiz secara mendetail.

"Aku baru bertemu dengan Dokter Asher," kata Revan.

Hanif bergeming. Hari ini dia pun telah menerima laporan tentang kesehatan Hawwaiz. Rasanya masih terlalu dini berbicara tentang pemulihannya. Kondisi Hawwaiz semakin melemah, meski terlihat mata menampakkan perbaikan, tapi secara medis tidaklah seperti itu.

Dokter Asher bahkan menceritakan bahwa antibodinya menolak memberikan reaksi saat diberikan obat anti nyeri. Sehingga yang harusnya menjadi musuh tapi justru bersekutu untuk semakin melemahkan tubuh Hawwaiz.

Hanif memejamkan matanya. Dia masih berpikir untuk mengajak kedua orang tuanya bicara tentang penyakit adiknya. Namun, mengetahui bagaimana Ibnu berjuang untuk tetap sehat agar bisa menengok Ayya dan menemani pengobatan putrinya, dia tidak sampai hati jika harus menambah beban daddynya.

"Apa kita perlu memberitahu Vira, Mas. Mungkin dengan itu bisa memberikan stimulus agar Hawwaiz—" Kalimat Revan menggantung saat suara Hanif dengan tegas menolaknya.

"Jangan, aku nggak ingin melibatkan siapa pun lagi." Hanif menatap Revan yang masih bingung dengan pernyataannya.

"Hawwaiz butuh privasi, Rev. Aku yakin dia pasti juga nggak ingin Vira tahu. Semoga perkiraanku ini nggak meleset. Cukup kamu saja yang kami repotkan." Hanif mencoba untuk tersenyum walau pikirannya sedang kalut.

"Merepotkan apaan sih, Mas." Revan berdeceh.

Hanif mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kita doakan saja yang terbaik untuk Hawwaiz."

"Tapi aku pun yakin, Hawwaiz merindukan Vira, Mas," gumam Revan lirih.

Hanif tertegun sesaat tapi dia langsung menggelengkan kepalanya. Dia mengenal Hawwaiz bukan satu atau dua hari.

"Kita tunggu saja sampai dia bisa bicara, aku justru takut kalau adanya Vira akan memperburuk keadaan. Hawwaiz bukan orang yang suka membagi rasa sakitnya pada orang lain."

Kalimat terakhir Hanif telak membuat ingatan Revan berkejaran untuk menyapanya kembali. Tepat seperti yang dikatakan Hanif, Revan belum pernah sekalipun mendengar Hawwaiz mengeluh apa yang menimpa dirinya. Sejauh ini dia hanya bisa melihat bagaimana Hawwaiz selalu berusaha untuk membuat orang lain bahagia.

Belum sampai Revan membenarkan ucapan Hanif dengan kata-kata. Tiba-tiba Dokter Asher dan beberapa paramedis berjalan cepat menuju ICU. Dan ketika melihat Hanif berdiri tidak jauh dari pintu yang menghubungkan mereka dengan ruangan tempat Hawwaiz dirawat, dokter senior itu menampakkan wajah sedih yang tersimpan dalam keoptimisan sikapnya.

"Hawwaiz dropped again. Wish him the best."

Allah pemilik semesta, rasanya kedua kaki Hanif tak lagi sanggup untuk menopang berat tubuhnya. Dia harus bicara pada keluarganya, tapi tentu saja bukan kedua orang tua mereka.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top