16 • Emergency Unit

🍬🍬 ------------------------------
whereas the life of the world is but matter of illusion
------------------------------ 🍬🍬

Baik kan aku yah, belum 600 ⭐ sudah aku next, makanya jangan pelit-pelit 😂🤭🤣

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

GELENGAN kepala yang diberikan Vira sekaligus ucapan kata maaf adalah jawabannya. Dia tidak bisa membohongi hati, meski orang yang paling dia hormati memberi jalan tol untuk mendapatkan dirinya, tapi Vira masih ingin mendapatkan penjelasan dari Hawwaiz terlebih dulu. Dia bukan wanita yang bisa dengan mudah berpindah hati.

"Saya bersedia menunggu, Vir," kata Heffry keesokan harinya.

"Maaf, Mas. Tapi sepertinya saya memang tidak bisa." Vira mengembalikan kotak cincin bersama isinya yang diberikan Heffry semalam.

"Mengapa kita tidak mencobanya? Saya tahu ini tidak mudah, tapi saya akan berusaha." Heffry menolaknya. Dia tetap bersikukuh Vira mau menyimpan cincin itu.

"Tapi—"

"Kamu tetap diam di tempatmu saja, biar saya yang berusaha mendekat." Heffry masih berdiri dengan senyum yang sama.

Menghindari perdebatan di kantor, Vira memilih untuk keluar dari ruangan Heffry. Di tangannya masih tergenggam kotak cincin bertahta berlian itu. Sampai di tempat duduknya, angannya kembali mengingat goddie bag milik Hawwaiz yang tertinggal di restoran semalam.

"Apa yang tersimpan di sana dan untuk siapa goddie bag itu sebenarnya?" Vira menghela napasnya perlahan.

Sepertinya hari ini dia harus pergi ke Ormond Hospital untuk bertemu dengan Hawwaiz. Semalam Heffry memintanya untuk menyimpan dan barang itu ada di dalam tasnya sekarang.

Mengapa tidak kamu buka saja untuk memastikannya, Vira? Kalau barang itu Hawwaiz siapkan untuk orang lain kamu bisa mempertanyakannya nanti pada waktu mengembalikannya. Suara hati Vira tiba-tiba mempengaruhi otak warasnya. Dan secepat kilat, tangan Vira meraih tas lalu mengeluarkan goddie bag milik Hawwaiz dan sejenak melupakan etika bahwa dia terlarang membuka barang milik orang lain.

Kedua matanya langsung membulat ketika melihat barang-barang mewah itu tertata rapi di tempatnya. Mulai dari cincin, kalung, liontin, anting-anting, gelang bahkan lengkap dengan gelang kaki. Hati Vira semakin memanas saat dia juga menemukan satu buah jam tangan dengan merk sama yang berharga puluhan juta.

"Untuk siapa sebenarnya semua hadiah ini?" Vira bergumam lirih. Tangannya lancang mengambil sebuah gelang yang lebih menarik di matanya dibandingkan dengan perhiasan yang lain.

'B & E'

Perhiasan ini jelas keluaran Swarovski, tapi mengapa di dalam gelang itu justru ada inisial merk perhiasan mahal lainnya?

Tidak, Vira tidak bisa tinggal diam. Dia harus mengonfirmasi langsung pada Hawwaiz dan menjelaskan apa yang terjadi semalam tidaklah seperti apa yang mungkin dia pikirkan. Selepas jam kerjanya berakhir, Vira harus pergi ke Ormond Hospital untuk menemuinya. Tidak bisa di tunda lagi dia harus mendapatkan jawaban secepatnya.

Sementara itu, di flat Hawwaiz. Hanif yang semula ingin segera mengistirahatkan tubuhnya setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 18 jam di udara harus mengubur impiannya sesaat. Semalam setelah bertemu dengan adiknya di flat, tiba-tiba Hawwaiz muntah-muntah. Suhu badannya juga merangkak naik. Sehingga semalaman Hanif harus menjaga dan tak berhenti mengompres badan Hawwaiz yang tak kunjung turun panasnya.

Pagi harinya, bukannya membaik kondisi Hawwaiz justru semakin melemah. Beberapa ruam merah mulai terlihat hampir di seluruh tubuhnya. Sebagai seorang dokter tentu saja Hanif memiliki sebuah kecurigaan. Itu sebabnya dia segera membawa sang adik ke rumah sakit. Tidak ada pilihan, Hanif membawa Hawwaiz ke Ormond Hospital.

Berbicara langsung dengan dokter spesialis penyakit dalam yang direkomendasikan adiknya, Hanif meminta tanpa melalui emergency unit, Hawwaiz langsung diberikan kamar rawat inap. Hanif yang sedianya datang lebih awal dari penugasannya ke London untuk mempelajari sistem pembedahan terbaru melalui terapan AI di ibukota Inggris itu harus kembali ke rumah sakit. Namun, kali ini dia bukan memainkan perannya sebagai seorang dokter melainkan keluarga pasien yang harus melawan rasa takutnya ketika dokter penyakit dalam itu menyebutkan kondisi Hawwaiz kritis setelah adiknya diketahui tidak sadarkan diri.

"What really happened?" tanya Dokter Asher.

Hanif menggelengkan kepala karena dia sama sekali tidak mengetahui apa yang sebelumnya terjadi pada adiknya. Dia hanya menceritakan sedikit yang dia ketahui dari semalam karena dia juga baru tiba dari Indonesia.

Tak hanya diam sampai di situ, Dokter Asher mencoba mengumpulkan teman clerkship Hawwaiz satu tim. Dia mencoba bertanya dan mencari korelasi antara jawaban mereka dengan penyakit yang diderita Hawwaiz. Dia kemudian kembali ke kamar Hawwaiz setelah seorang suster memberitahukan bahwa seluruk hasil pemeriksaan Hawwaiz sudah keluar.

"There is bleeding in the patient's digestive tract." Dokter Asher membaca hasil rontgen Hawwaiz dan mencocokkannya dengan hasil laboratorium yang diambil sebelum Hawwaiz tak sadarkan diri.

Hanif yang mencoba mengartikannya perlahan. Apakah adiknya mengalami peradangan saluran cerna? Apakah selama ini Hawwaiz seringkali melewatkan jam makannya atau memang ada hal lain yang membuat sang adik sakit?

Hanif masih terus berpikir ketika tiba-tiba Qiyya meneleponnya dan menanyakan apakah dia sudah bertemu dengan Hawwaiz.

"Astagfirullah, Bunda, saking excitednya Mas bertemu dengan bungsu kesayangan Bunda sampai lupa harus mengabari. Ya, semalam kami sudah banyak bercerita. Hari ini Hawwaiz juga harus ke rumah sakit untuk clerkship. Bunda jangan khawatir, everything gonna be okay," jawab Hanif.

"Hawwaiz tidak tinggal satu flat dengan Vira kan, Mas?"

Hanif berdeceh. Dia percaya adiknya tidak seburuk itu meski Qiyya pernah bercerita Hawwaiz pernah melakukan khilaf di flat Vira.

"Selama ada Mas di sini, Hawwaiz akan baik-baik saja. Bunda jangan khawatir. Hawwaiz tinggal sendiri di flat, Mas bisa pastikan itu." Hanif segera memutuskan panggilan telepon ketika Dokter Asher mengisyaratkan ingin bicara dengannya.

"Looking at all the symptoms that occurred in the patient along with the results of the examination, we began to conclude that your brother suffers from Steven Johnson Syndrome."

Hanif mengusap wajahnya dengan kasar. Nama penyakit yang dia dengar itu cukup membuatnya harus menghela napas panjang. Mengapa harus adik kesayangannya yang menderita penyakit langka itu?

"The patient should be transferred to the ICU."

Hanif mengangguk pasrah dengan saran Dokter Asher. Dia ingin yang terbaik untuk Hawwaiz.

Sore harinya, Vira benar-benar datang ke Ormond Hospital untuk menemui Hawwaiz. Namun, setelah dia sampai di sana. Dia tidak lagi menemui pria itu di emergency unit. Setiap petugas yang dia tanya hanya menjawab Hawwaiz telah berganti stase dan mereka tidak tahu stase apa yang kini sedang ditempuh oleh calon dokter tampan itu.

"And Doctor Clara, where can I see her?" tanya Vira tidak menyerah.

Jawaban yang sama diterima Vira selanjutnya. Akhirnya dia menyerah setelah berulang kali menelepon Hawwaiz, tapi panggilannya justru tidak tersambung. Karena sepertinya gawai Hawwaiz mati karena sedari siang Vira menghubungi hanya jawaban operator yang bisa dia dengarkan.

"Then, can I leave this? This is Doctor Hawwaiz's item which he left at the restaurant yesterday." Vira menyerahkan goddie bag yang telah terbuka itu pada salah seorang petugas.

Semula petugas itu menerima, tapi setelah melihat isinya, dia justru mengembalikan pada Vira.

"Sorry, I don't dare to accept luxury goods like this. You should contact Doctor Hawwaiz." Petugas itu menolak dengan sopan.

Vira mengembuskan napasnya dengan kecewa. Entah apa yang kini ada dalam pikirannya, sepertinya Hawwaiz memang sengaja menghindar darinya.

☼☼

RUAM merah yang ada di tubuh Hawwaiz akhirnya berubah menjadi lepuhan bula yang siap menyobek lapisan kulit terluar miliknya. Tak terbayangkan seberapa perih dan panasnya di kulit. Meski telah sadarkan diri di hari keempat dia dirawat, bibir Hawwaiz justru tidak bisa dipergunakan untuk menelan makanan. Semua luka di tubuhnya berair. Hanif mulai berpikir untuk menyewa seseorang yang bisa membatu mengawasi Hawwaiz selama dia harus belajar nantinya.

"Please put a feeding tube in my brother," Hanif meminta seorang perawat, tetapi Hawwaiz menggelengkan kepalanya.

Sampai detik ini Hawwaiz masih belum begitu jelas dengan apa yang menimpa dirinya. Beberapa selang harus terpasang di tubuhnya, dia ingin bertanya tapi suaranya tercekat dan tak bisa keluar. Tubuhnya benar-benar sangat lemah.

Dengan air mata yang meleleh, Hawwaiz hanya sanggup bicara dalam hatinya. Apakah ini balasan dari Allah atas semua dosa yang pernah dilakukan? Ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, harus merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan dia tidak lagi bisa bicara seperti sebelumnya. Atau Allah memang memintanya secara khusus untuk lebih mendekatkan diri.

Rabbi ilahi, jika hamba salah melabuhkan hati kepada orang yang tidak Engkau tulis namanya untuk bisa hamba miliki. Izinkanlah hati ini tetap bisa menyimpan nama tanpa berniat untuk merusak sesuatu yang memang telah Engkau tetapkan. Hawwaiz mengatupkan kedua matanya. Bahkan saat dia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya hanya Vira yang selalu dia ingat setelah Allahnya.

Hamba ikhlas bahkan jika harus menghadap-Mu sekarang, ya Rabb. Menghilangkan kesakitan hati tanpa perlu meraung atau menyakiti hati orang lain, desah Hawwaiz dalam hati.

Hanif kemudian mendekati adiknya. Dengan wajah sendunya dia berbisik lirih pada Hawwaiz.

"Kamu harus sehat, kamu harus kuat. Mas janji akan melakukan apa pun untuk kesehatanmu, tapi tolong jangan menolak tindakan yang dilakukan dokter. Kami ingin yang terbaik untukmu, Dik." Hanif lalu mencium kening Hawwaiz dengan sayang.

Tidak tega rasanya melihat adiknya yang selalu ceria harus tergolek lemah tak berdaya di ruang ICU. Tanpa terasa air matanya menetes di kedua belah pipinya. Hanif ingin menyembunyikannya, tapi Hawwaiz terlanjur melihatnya.

Tangan Hawwaiz yang justru bergerak ke arah wajahnya untuk menghapus lelehan air mata itu. Bukannya berhenti Hanif justru menumpahkannya di depan Hawwaiz.

"Kamu, Dik, yang harusnya membuat Mas Hanif tersenyum dan tertawa. Karena kamu satu-satunya orang yang bisa melakukan itu, bahkan saat Mas merasa sedih dan sendiri. Kamu yang selalu ada untuk menghibur Mas." Hanif berucap parau.

Bibir Hawwaiz bergerak tanpa suara, tapi dari gerakan lemah itu Hanif tahu adiknya mengucapkan kata cinta padanya.

"I love you too." Hanif kemudian menelangkupkan tubuhnya untuk mendekap Hawwaiz.

"Don't scare me anymore after Mbak Ayya succeeded in making me very afraid of losing her after she had a terrible accident that almost took away both of her legs." Hanif tidak lagi bisa membendung air matanya.

"I'm not as strong as you think. I'm really scared now." Hanif memilih berkata jujur.

Akhirnya Hawwaiz pun hanya diam saat perawat dan dokter memasangkan sonde di tubuhnya. Dia tidak ingin membebani Hanif setelah apa yang terjadi.

Hanif kembali menemui Dokter Asher, meski dikenal sebagai dokter bedah di Indonesia, tapi dia juga paham jika penyakit Hawwaiz itu nantinya akan menimbulkan dampak dan dia ingin membicarakan semuanya dengan Dokter Asher.

"In this early phase, we can't estimate what impact this disease will have. The patient's immune system will quickly be affected if he does too much work or thinks too hard," kata Dokter Asher.

"The most important thing now is the patient have to recover from Steven Johnson Syndrome," lanjut Dokter Asher.

"I know, Doctor. The experience that led me to meet you to discuss this. Because of the many cases of Steven Johnson Syndrome that I know of, it has had a very complex impact," kata Hanif.

Dokter Asher mengangkat kedua tangannya terbuka. Dia sangat mengerti apa yang diresahkan oleh Hanif. Namun, tugasnya sebagai dokter hanyalah membantu kesembuhan setiap pasien. Dia tidak bisa menjamin kesembuhan pasiennya 100%, karena campur tangan Tuhan lebih dia percaya sebagai penentu hasil akhirnya.

"We leave everything to God. We will continue to do our best for Hawwaiz," janji Dokter Asher.

"I beg you, Doctor. He is my sweet little brother. I can't bear to see him tortured like now." Hanif menundukkan kepalanya sejenak. Tangannya tergerak untuk mengusap air mata yang akan keluar dari pelupuk matanya. Kemudian menatap ke arah Dokter Asher lagi.

"Trust it, he will still be your very sweet little brother. As ever," Dokter Asher berdiri kemudian membuka kedua lengannya.

Hanif tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia pun berdiri dari tempat duduknya dan menerima pelukan hangat dokter yang kini sedang merawat adiknya.

"Thank you, Doctor," kata Hanif sebelum dia pergi dari ruangan Dokter Asher.

Sekeluar dari ruangan itu tiba-tiba dia melihat seseorang yang tergopoh berjalan menuju ICU. Di depan pintu jaga, dia mengatakan ingin menemui Hawwaiz, tapi petugas menghalau dan tidak mengizinkannya masuk. Sampai melihat Hanif berjalan mendekati mereka.

"Mas Hanif, aku Revan, Mas." Revan mengulurkan tangannya menyalami Hanif.

"Revan, kamu sampai juga akhirnya. Maaf kalau aku harus merepotkanmu. Aku nggak tahu lagi harus menghubungi siapa di sini. Daddy bilang, kamu adalah sahabat Hawwaiz di Oxford." Hanif mengajak Revan duduk di kursi yang tersedia di lorong rumah sakit untuk membicarakan semua hal tentang penyakit Hawwaiz padanya.

"Tolong rahasiakan ini, jangan sampai keluarga kami tahu. Aku nggak bisa membayangkan jika Daddy drop lagi di Indonesia seperti saat beliau menerima kabar kecelakaan Ayya. Sementara aku harus stay di London selama enam bulan untuk melaksanakan dinas belajar di sini," jelas Hanif.

"Jadi Mas Hanif ke sini karena memang harus belajar?"

Allah memang telah mengatur semuanya. Dan lagi-lagi semesta meminta bukti kepadanya, seberapa sayang dia kepada keluarganya. Menjadi orang yang harus kuat untuk melindungi mereka. Atau inilah caranya Allah mempersiapkan dia sebagai pengganti Ibnu yang sangat mencintai keluarganya.

Revan masuk ke ICU setelah Hanif memberikan penjelasan kepada petugas bahwa pria ini yang nantinya menggantikan dia selama Hanif tidak ada di tempat. Beruntunglah mulai semester ini Revan sudah tidak ada kuliah. Dia hanya fokus untuk menyelesaikan tesisnya dan itu bisa dia kerjakan di London sambil menemani Hawwaiz di rumah sakit.

"Iz, aku akan di samping kamu, kamu harus kuat dan semangat untuk sembuh. Setiap penyakit pasti ada obatnya."

Hawwaiz mengatupkan kelopak matanya yang terasa perih. Bibirnya bergerak sejenak untuk tersenyum. Selebihnya Hawwaiz memilih untuk kembali diam.

"Apa perlu aku kabari Vira tentang kondisimu?"

Hawwaiz membulatkan matanya lalu menggeleng lemah.

"Ok, tapi kamu harus janji, kamu harus kuat dan kembali sehat. Aku masih ingin jalan-jalan di London bersamamu."

Revan menatap bula-bula di tubuh Hawwaiz yang mulai melepuh dan pecah. Dia lalu menatap Hawwaiz sesaat lalu menunjukkan sebuah Al-Qur'an padanya.

"Kamu ingin mendengarkan aku membacanya?" Revan menahan semua sesak di dalam dada. Tidak tega melihat sahabat terbaiknya terbaring seperti sekarang.

Hawwaiz memejamkan mata dan menikmati setiap alunan suara Revan yang merdu melafazkan kalam Ilahi. Sampai Revan menyudahi, menutup Al-Qur'annya lalu mengusapkan perlahan tangannya ke seluruh tubuh Hawwaiz meski tidak menempel seluruhnya.

Entahlah itu cara yang benar atau salah, tapi bagi Revan itulah caranya untuk memeluk sang sahabat yang sedang sakit dan tak mungkin dipeluk seperti biasanya.

"Ini pasti sangat sakit," gumam Revan.

Hawwaiz mencoba tersenyum walau hanya tipis terlihat. Dalam hatinya menjawab, tidak sesakit dan selama penyakit kulit Nabi Ayyub, Van. Itu sebabnya mulai sekarang aku akan belajar sabar dan ikhlas dari teladan beliau.

Revan kemudian beranjak setelah seorang perawat memberitahu bahwa jam kunjungan telah berakhir dan pasien harus beristirahat total.

Sejak pintu ICU ditutup, pikiran Revan mengembara. Sebelum akhirnya Hawwaiz pindah ke London karena tugas clerkshipnya. Revan adalah saksi bagaimana gigihnya Hawwaiz berjuang untuk kelulusannya. Dan tentang cintanya, Hawwaiz sudah pula membuktikan kesungguhan hatinya.

"Aku tahu kapabilitasmu, Iz. Mungkin kamu teledor di bulan-bulan terakhir. Namun, jika semua ini karena wanita yang kamu perjuangkan tidak bisa menerima atau bahkan mengkhianati perjuanganmu, aku pastikan dia bukan hanya akan menyesal seumur hidupnya, tapi lebih dari sekadar menderita!" Revan mengepalkan tangannya.

Revan berani meyakini, dalam hidup Hawwaiz itu hanya ada dua hal yang paling penting, yaitu keluarga dan Vira. Saat Hanif datang lalu mengatakan Hawwaiz tidak memiliki masalah yang berat dengan keluarganya maka satu-satunya orang yang Revan curigai adalah Vira. Jika benar dugaannya, maka Revan tidak akan segan-segan menghancurkan Vira sama seperti halnya dia yang telah menghancurkan sahabatnya hingga menderita seperti saat ini.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top